x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gaduh Terus, Kapan Partai Ngurus Negara?

Elite partai politik gaduh terus dengan kepentingan masing-masing, kapan mengurus negara?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Politisi itu sama saja di mana-mana. Mereka berjanji membangun jembatan bahkan di tempat yang tidak ada sungai.”

--Nikita Khrushchev, Perdana Menteri Uni Soviet (1958-1964)

 

Kegaduhan internal partai politik ternyata belum juga usai. Dua partai peninggalan era Orde Baru, yakni Golkar dan PPP, belum berhasil menemukan titik islah yang menyenangkan kedua pihak yang berselisih. Menyusul kini para elite Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bertikai sendiri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Rakyat bertanya: “Kalau orang partai ribut sendiri, kapan mereka memikirkan negara?” Tentu saja, pertanyaan ini masih dilandasi oleh keyakinan yang tersisa bahwa partai politik didirikan memang untuk memperjuangkan cita-cita menyejahterakan rakyat. Katakanlah, ini semacam prasangka baik terhadap partai yang masih berusaha dipertahankan.

Namun keyakinan tersebut barangkali akan bertambah tipis bila masing-masing elite partai bersikukuh mempertahankan posisinya tanpa bersedia untuk berkompromi. Contohnya Golkar. Kendati Mahkamah Partai Golkar sudah memutuskan untuk membentuk tim transisi dan kemudian menggelar musyawarah nasional untuk rekonsiliasi, kubu Aburizal Bakrie menolak.

Di manapun, di muka bumi ini, islah hanya mungkin terjadi apabila pihak-pihak yang berselisih mau berkompromi. Kompromi itu berarti mau memberi, bukan hanya meminta; mau mundur selangkah, bukan hanya maju melulu. Baik Golkar, PPP, dan kini PKS, jika masing-masing kubu di dalamnya ngotot bertahan pada sikap masing-masing tanpa mau mencari jalan tengah, kegaduhan tidak akan berhenti.

Mengingat ketiga partai ini memperoleh kursi yang relatif banyak dalam pemilu yang lalu, maka kegaduhan ini akan berpengaruh buruk terhadap kinerja partai maupun orang-orang partai yang duduk di DPR. Pertikaian di tingkat elite terbawa hingga ke tingkat wakil partai di Parlemen. Bayangkan, Golkar punya 91 kursi, PPP punya 39 kursi, dan PKS 40 kursi. Jelas riuh rendah.

Kapan mereka sempat memikirkan kepentingan bangsa jika ribut melulu alias sibuk memikirkan kepentingan masing-masing? Sebagian besar waktu para elite partai boleh jadi habis untuk memikirkan siasat menyingkirkan seteru yang dulu kawan seperjuangan. Bagaimana menggeser si X, bagaimana menaikkan si Y, dst.

Kegaduhan internal partai yang berlarut-larut juga bukan contoh praktik politik yang baik. Para elite politik menunjukkan seakan-akan mereka berhak melakukan apa saja demi politik. Fatsoen berpolitik disingkirkan.

Semua kegaduhan yang berlangsung selama ini jangan dikira tidak berdampak ke eksternal partai. Presiden Jokowi terpaksa menyediakan waktu untuk menerima curhat kubu-kubu yang berselisih. Contohnya, setelah menerima kunjungan kubu Agung, kubu Aburizal pun menemui Presiden dan bahkan menyatakan dukungan kepada pemerintah. Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang notabene pernah menjabat Ketua Umum Golkar, ikut sibuk mengakurkan kedua kubu. Di tengah kesibukan jadi Wapres, Pak Kalla masih juga didapuk jadi ketua tim transisi Golkar.

Bayangkan, berapa banyak sumber daya yang dipakai Presiden dan Wakil Presiden untuk menangani konflik internal partai—meskipun keterlibatan Presiden dan Wapres tentu tak bisa lepas dari kalkulasi politik mereka berdua. Padahal, sumber daya mereka—waktu, tenaga, pikiran, wewenang—akan lebih bermanfaat bila dipakai untuk mengurus kepentingan masyarakat luas yang jauh lebih streategis daripada untuk mengakurkan kubu para elite yang berseteru. (foto: tempo.co)

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler