x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dunia Kehilangan Harper Lee dan Umberto Eco

Dua penulis mashur, Harper Lee dan Umberto Eco, berpulang dengan meninggalkan warisan berharga bagi pembaca.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Anda tidak pernah benar-benar bisa memahami seseorang sampai Anda mempertimbangkan hal-hal dari sudut pandangnya...”

--Harper Lee (dalam To Kill a Mockingbird)

 

Jumat kemarin (19 Februari), dunia kepenulisan dan kepengarangan kehilangan dua orang yang telah mengukir nama dengan cemerlang: Harper Lee dan Umberto Eco. Tahun lalu, 2015, Lee dan Eco menerbitkan dua karya terakhir yang dipublikasikan semasa hidup. Lee dengan novel Go Set a Watchman dan Eco dengan Numero Zero. Keduanya berpulang di usia lanjut: Lee 89 tahun dan Eco lima tahun lebih muda.

Lee, yang karyanya To Kill a Mockingbird begitu mashur dan laris, meninggal dalam dalam tidurnya. Ketika Juli 2015, Go Set a Watchman terbit, Lee memecahkan rekornya untuk hanya menerbitkan satu novel seumur hidup. Tapi ternyata dunia menanti publikasi Go Set a Watchman yang sebenarnya sudah selesai ditulis Lee sebelum To Kill a Mockingbird, tapi baru terbit lebih dari 50 tahun sesudah itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pembaca yang menyukai tema perjuangan kaum berkulit hitam di AS niscaya tidak akan lupa pada novel pertama Lee yang terbit pada Juli 1960. Meski hanya ini karya Lee dalam jangka waktu yang lama, perempuan ini memperoleh penghargaan Presidential Medal of Freedom dari pemerintah AS. Ia dinilai telah memberi kontribusi bagi perjuangan kaum berkulit hitam dari perbudakan—yang ketika To Kill a Mockingbird terbit masih mewarnai banyak negara bagian di AS.

To Kill a Mockingbird terbit di tengah-tengah berlangsungnya perjuangan masyarakat kulit hitam untuk memperoleh hak-hak mereka sebagai manusia dan sebagai warga AS. Malcolm-X dan Martin Luther King, Jr. berada di barisan depan perjuangan ini, sedangkan Lee—perempuan berkulit putih—mengambil risiko dengan ikut menentang politik ‘apartheid’ yang dijalankan di sejumlah negara bagianAS.

Dunia kepengarangan dan para pembacanya juga kehilangan Umberto Eco, penulis dan intelektual berdarah Italia, pada hari yang sama dengan kematian Harper Lee. Eco, yang sangat mashur berkat novelnya The Name of the Rose (1980), menderita kanker. Ia juga sangat dikenal sebagai empu semiotika dan pernah menjadi profesor di Harvard University maupun Bologna University, Itali.

Meski novel-novelnya memukau dan memiliki pembaca tersendiri karena kerumitannya, Eco mengaku: “Saya filosof. Saya menulis novel hanya di akhir pekan.” Eco memang punya gaya tersendiri dalam mendongeng. Tahun lalu, dalam wawancara di acara Guardian Live, ia berkata: “Saya pikir Barbara Cartland menulis apa yang diharapkan pembaca. Tapi menurutku, seorang penulis seharusnya menulis apa yang tidak diduga oleh pembacanya. Masalahnya bukan bertanya apa yang mereka perlukan, tapi mengubah mereka... menghasilkan sejenis pembaca yang kamu inginkan untuk masing-masing cerita.”

Novel terbarunya, Numero Zero, terbit tahun lalu, meramu isu-isu politik media, konspirasi, korupsi, dan pembunuhan berlatar kota mode Milan. Eco berkisah tentang seorang editor yang menciptakan suratkabar bohongan untuk meraih masa depan dengan mudah. Peristiwanya terjadi pada tahun 1992 sebelum orang disibukkan oleh Internet maupun media sosial.

Dalam beberapa dongengnya, Eco mengajak kita memasuki kekaburan antara yang benar-benar nyata dan yang dianggap nyata. Foucault’s Pendulum, misalnya, berkisah perihal tiga karyawan penerbitan yang senang bercanda. Setelah membaca terlampau banyak manuskrip tentang teori-teori yang gila, mereka memutuskan untuk membuat teori konspirasi versi mereka sendiri.

Ketiga orang itu mengaitkan Knights Templar dengan setiap bentuk kultus dalam sejarah dan menyatakan bahwa kelompok Templar berniat mengambil alih dunia. Ketiganya dicekam ketakutan ketika hidup mereka terancam oleh ‘kelompok rahasia’ yang memperlakukan gurauan mereka dengan sangat serius.

Tahun lalu, dalam satu wawancara, Eco mengaku tetap menulis meskipun tidak setiap tahun ia melahirkan karya. “Biasanya saya menulis buku enam tahun setelah buku yang lalu diterbitkan,” kata Eco. Ini berarti, Numero Zero menjadi novel terakhir Umberto Eco yang diterbitkan saat ia hidup—dan kita tidak mendapati novel baru enam tahun lagi. Eco, seperti halnya Harper Lee, sudah berpulang. Mereka meninggalkan jejak yang sukar dihapus dengan pilihan tema dan gaya mendongeng masing-masing. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler