x

Iklan

TEMPO INSTITUTE Indonesia

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sikap Dalam Sebuah Opini

Dalam menulis opini atau esai, bukan hanya ide yang penting. Sikap atau opini penulis juga perlu karena itulah hakekat dari opini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Menulis opini atau esai, ternyata tak sekadar mendapat ide lalu dituangkan. Ada hal penting yang juga perlu dicermati, soal sikap kita terhadap persoalan yang kita tulis.

Nah, Kamis dua pekan lalu, Tempo Institute dan Forum Nulistik, menyelenggarakan obrolan daring, live chat. Redaktur Tempo, Philipus Parera, memberikan pencerahan buat teman-teman peneliti bagaimana menentukan sikap dalam menulis opini. Berikut kami nukilkan ringkasannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

BAGAIMANA MENENTUKAN SIKAP DALAM TULISAN OPINI?

Menulis opini atau esai, tentu harus dimulai dari pemilihan tema,ide atau gagasan. Ide bisa berangkat dari persoalan yang tengah jadi bahan diskusi publik. Atau dari data penelitian, bisa juga datang dari permenungan penulis. Untuk bisa beropini secara baik, kita harus runtut dulu dalam berpikir

Dalam menulis opini atau esai, bukan hanya ide yang penting. Sikap atau opini penulis juga perlu karena itulah hakekat dari opini. Apa pendapat penulis tentang sesuatu hal. Sebelum mulai menulis kita tentukan dulu anglenya, atau masalah yang mau kita bahas dan sikap kita terhadap masalah tersebut.

Secara teknis, menetapkan sikap sebelum mulai menulis akan sangat memudahkan proses penulisan.

Paling tidak ada tiga sikap yang bisa kita pilih dalam berpendapat melalui tulisan..

1. Positif: setuju, lanjutkan, dsb

2. Negatif: bermasalah, hentikan, perbaiki, dsb

3. Tidak pro atau kontra tapi bertujuan menjelaskan persoalan kepada pembaca

Tentu saja, perumusan sikap atau pendapat tidak sesederhana menyatakan setuju atau menentang. Tapi sikap kita juga perlu diperinci untuk kemudian diadopsi dalam tulisan.

Dalam memperinci sikap ini, kita konsisten dengan sikap utama kita. Kalau misal kita mengkritik sebuah kebijakan, maka ketika memperinci sikap tersebut, maka detail sikap itu tersebut harus konsisten dengan kritik utama kita.

Apa saat kita mengkritik, juga harus menawarkan solusi dalam tulisan kita? Sebagai intelektual/peneliti, kadang kita dibutuhkan cuma untuk menunjukkan kepada publik dan stakeholders lain bahwa tengah ada masalah, di titik mana saja, dan karena itu perlu segera dicarikan solusinya.

Apakah dalam melahirkan opini harus didukung oleh narasi besar?

Tidak selalu harus begitu, tapi kalau ada narasi besar di belakangnya, proses perumusan sikap kita jadi lebih mudah. Paling tidak, pilihan sikap hampir semua sudah terbuka, dan kita tinggal menentukan preferensi kita dan membumikannya pada persoalan yang akan kita tulis.

Tak masalah jika opini yang kita bangun tanpa ada prefensi. Secara sederhananya kita cuma mengatakan: ini ada masalah, silakan diselesaikan, atau ini ada hal menarik tolong dicermati.

Penentuan sikap, akan mempermudah kita membangun argumentasi. Jika sikap kita jelas dari awal, seharusnya kita juga sudah punya gambaran yang cukup jelas bagaimana membangun argumentasi untuk sikap tersebut.

Bagaimana jika sikap kita berbeda dengan lembaga tempat kita bernaung?

Untuk membedakan suara pribadi dan suara lembaga, beberapa penulis misalnya menggunakan disclaimer: pendapat pribadi dan tidak menyertakan nama lembaganya. Tapi jika lembaga itu memiliki ketentuan harus memiliki sikap seiring, maka harus selalu mewakili sikap lembaga.

Untuk itulah perlu ada kesepahaman di awal, jika menjadi bagian dari sebuah lembaga, bolehkah kita menulis opini pribadi terkait persoalan yang juga menjadi fokus lembaga tersebut.

Ikuti tulisan menarik TEMPO INSTITUTE Indonesia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

13 jam lalu

Terpopuler