x

Iklan

Choirul Huda

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Resensi Buku Fenomenologi Wanita Ber-High Heels

Membaca Fenomenologi Wanita Ber-high heels ini tidak hanya membuat saya paham mengenai perkembangan sepatu hak yang kali pertama dipopulerkan pria.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

SAYA termasuk -mungkin- segelintir orang yang tidak percaya dengan pepatah, "Jangan lihat buku dari sampulnya". Sebab, ketika saya ingin membeli buku, yang pertama kali membuat saya tertarik tentu melihat cover-nya.

Ibaratnya, kenyamanan dari suatu rumah terlihat pada halamannya. Itu mengapa, mayoritas pria -termasuk saya- adakalanya menyukai wanita yang berawal dari kecantikannya. Bisa jadi, banyak yang membantah dan tidak setuju. Tapi, faktanya seperi itu.

Oke, kembali soal buku. Selain sampul, faktor yang membuat saya tergiur ada pada kedalaman isi, bukan dari tebalnya buku tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

* * *

PAGI itu, langit ibu kota tampak mendung. Matahari di atas sana terlihat malu-malu untuk memancarkan sinarnya. Ketika asyik berselancar di teras, datang kurir ekspedisi yang mengantarkan buku pesanan saya. Wow... Akhirnya tiba juga yang ditunggu-tunggu.

Saya yang saat itu sedang menikmati suasana santai, langsung membuka bungkusan yang menutupi buku tersebut. Upz, tampak dua model kembar berbusana hitam yang sangat memesona dengan di sisinya terdapat tulisan mencolok: Fenomenologi Wanita Ber-high heels. Sementara, di posisi paling bawah terdapat nama penulisnya, Ika Noorharini.

Kesan pertama saya melihat halaman depan buku tersebut mengerucut pada satu kata: Seksi! Wajar saja mengingat pria merupakan makhluk visual. Seketika, teringat akan iklan zaman baheula, "Kesan pertama begitu menggoda. Selanjutnya, terserah Anda..."

Tanpa butuh waktu lama, saya langsung melahap buku setebal 112 halaman ini ditemani secangkir kopi ginseng yang hangat. Sejak menatap cover -yang akhirnya saya tahu kakak adik- Rinni dan Rinna Suri sampai pada halaman terakhir Fenomenologi Wanita Ber-high heels, saya mendapat pengalaman baru mengenai sepatu hak dan sejarahnya.

Sayangnya, meski sudah membacanya hingga selesai dalam waktu kurang lima jam, masih ada yang mengganjal. Maklum, saya merupakan cowok yang tentu saja belum pernah memakai sepatu hak. Untuk itu, dalam beberapa hari selanjutnya, saya pun coba menanyakan kepada tiga rekan blogger wanita tentang pengalamannya bersama high heels.

"Ngga enak," jawab rekan blogger dengan singkat melalui aplikasi whatsapp. Bisa dipahami mengingat sepengamatan saya, sosok yang berprofesi sebagai jurnalis tv ini kerap memakai sneakers dalam kesehariannya.

Selanjutnya, dari rekan blogger yang enggan disebut namanya saat bertemu di suatu acara. "Gue dari kecil sampe udah punya anak kecil lagi, paling demen pake high heels. Tapi, tergantung kebutuhan juga, rul. Kalo lagi nganter bocah ke sekolah, ga mungkin pake hak tinggi. Secara, susah buat nginjek pedal gas atau rem," tutur wanita berusia 30-an ini sambil terkekeh dan sempat heran karena saya bertanya mengenai sepatu hak yang menurutnya tak lazim bagi pria.

Terakhir, komentar dari Roosvansia yang merupakan salah satu beauty blogger kondang. Pemilik blog di alamat www.roosvansia.com ini, sangat antusias menjawab pertanyaan saya mengenai pengalamannya bersama sepatu hak.

Bahkan, Roosvansia turut memperlihatkan beberapa koleksi high heels-nya, "Selalu ada penderitaan dibalik heels, but it's oke kalau sakit dipake yg penting cantik dilihat. Oh ya, pake heels itu bisa bikin bokong (kelihatan) lebih naik dan paha juga betis lebih kenceng. Jadi yg ga sexy jadi sexy, nah yg udah sexy jadi makin sexy deh."

* * *

TIGA komentar itu sukses menjawab penasaran saya seusai membaca Fenomenologi Wanita Ber-high heels. Yang menarik, dalam bukunya, Ika membeberkan rahasia mengenai sepatu hak yang membuat saya terkejut. Sebab, dalam sejarahnya justru pria yang ternyata kali pertama mempopulerkan high heels.

Itu terdapat pada halaman 30 ketika saya yang memang menyukai sejarah membaca tentang imperium Persia. Bahkan, wanita yang akrab disapa "Non" ini memberikan fakta lain. Bahwa, bangsawan Eropa pada abad pertengahan juga memakai sepatu hak sebagai simbol eksklusif dalam kalangan mereka.

Khususnya, sejak Raja Prancis Louis XIV membuat larangan tegas penggunaan high heels untuk rakyat jelata pada abad 17. Nah, uniknya lagi, Ika menulis, saat itu, banyak bangsawan yang memakai sepatu bertumit dengan tinggi lebih dari 10 cm demi menunjang penampilannya. Saya sulit membayangkan gimana caranya mereka berjalan dengan hak setinggi itu.

Lalu, sejak kapan wanita mulai mengenakan high heels? Menurut riset yang dilakukan Ika selama tiga tahun untuk buku perdananya ini, ternyata kaum hawa belum lama mengenakan sepatu hak. Tepatnya baru pada dekade 1950-an yang dipopulerkan Christian Dior.

Meski, Ika juga menyebut, penggunaan sepatu hak tinggi untuk wanita sudah ada sejak 3500 sebelum masehi yang ditandai dengan mural di berbagai dinding gua di Mesir. Hanya, wanita yang kini tinggal di London, Inggris, ini menilai, saat itu, perkembangan high heels belum semasif sekarang. Saya setuju dengan Ika mengingat perkembangan zaman memang menuntut suatu mode untuk lebih menyesuaikan diri.

 

Membaca Fenomenologi Wanita Ber-high heels ini tidak hanya membuat saya paham mengenai perkembangan sepatu hak yang kali pertama dipopulerkan pria. Melainkan juga menambah wawasan saya mengenai dunia wanita. Yaitu, tentang bagaimana mereka berkorban untuk terlihat anggun di hadapan pasangannya.

Dan, buku ini menjelaskannya secara lugas serta mendalam agar pria bisa lebih memahami wanita.

Judul: Fenomenologi Wanita Ber-High Heels

Penulis: Ika Noorharini

Penerbit: PT Artha Kencana Mandiri

Rilis: September 2015

Halaman: 112

ISBN: 978-602-73069-0-5

* * *

Jakarta, 20 Maret 2016

Ikuti tulisan menarik Choirul Huda lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu