x

Iklan

Senja Saga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kedok Bobrok Industri Rokok

Industri rokok melakukan praktek oligopoli dalam bisnis tembakau di Indonesia. Mereka mengeruk keuntungan yang dahsyat, Petani dan buruh sebagai kedok

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Agaknya tak ada tanaman di Indonesia ini yang lebih hebat dari tembakau. Tanaman ini dikultuskan sedemikian rupa, bak dewa. Gelar yang disematkan pada tanaman ini juga berlebihan; ’emas hijau’. Tanaman tembakau dianggap ’juru selamat’ dari ancaman krisis global. Ketika komoditas lain mengalami paceklik, toh industri rokok – sebagai penyedot utama daun tembakau – tetap menangguk keuntungan. Bahkan pemilik pabrik rokok tetap berkelindan dengan harta, sebagai orang terkaya di Indonesia.

Tak hanya oleh masyarakat, produk tembakau (baca: rokok) rupanya disembah juga oleh Pemerintah dan para pembuat kebijakan negeri ini. Munculnya rancangan undang-undang (RUU) Pertembakaun di Program Legislasi Nasional (Prolegnas) secara tidak wajar, menjadi bukti konkrit pengkultusan itu. Sedemikian pentingkah tembakau sehingga perlu dibuatkan UU khusus? Lebih penting mana tembakau dengan padi yang menjadi kebutuhan dasar mayoritas perut masyarakat Indonesia? Mengapa tidak dibuat saja UU tentang Perpadian?.

Munculnya RUU Pertembakauan seolah mengesankan keberpihakan industri rokok pada para petani tembakau. Alhasil, gerakan pengendalian tembakau kerap dituding atas isu bangkrutnya industri rokok yang mengakibatkan PHK massal, serta menghancurkan eksistensi petani tembakau.

Telunjuk jari yang diarahkan pada gerakan pengendalian tembakau jelas tuduhan yang didramatisasi dan kental nuansa politisnya. Secara faktual tak ada negara yang gulung tikar perekonomiannya hanya gara-gara kebijakan pengendalian tembakau. Sebaliknya, benarkah para petani tembakau mendapat keuntungan berlimpah dari komoditas yang disembah-sembah ini? Atau selama ini hanya menjadi kedok industri rokok untuk menutupi taringnya? Mari dibuktikan;

Menjalani profesi sebagai petani di Indonesia, sepertinya belum memberikan kesejahteraan secara ekonomi – tak terkecuali petani tembakau. Berdasarkan hasil kajian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (2008) dan Badan Pusat Statisitik (BPS) menguak bahwa upah rata-rata petani tembakau sekitar 47% dari rata-rata upah nasional yang berjumlah Rp 413.374 per bulan. Selain itu, petani tembakau nyaris tidak mempunyai posisi tawar saat berhadapan dengan industri rokok, sebagai pembeli tunggal produk daun tembakau.

Harga dan kualitas daun tembakau sepenuhnya ditentukan oleh pihak industri rokok. Mereka mempunyai grader yang bertugas menentukan grade daun tembakau, yaitu ditera sesuai dengan penilaian masing-masing grader dari perusahaaan rokok. Menurut pengakuan petani tembakau di Lombok Timur, grade daun tembakau mencapai 40 tingkatan dengan harga mulai dari Rp 500 sampai Rp 25.000 per kilogramnya.

Ironisnya, impor daun tembakau terus meningkat dari 23.219 ton pada tahun 1998 hingga 48.142 (2005). Wajar jika industri rokoklah yang paling diuntungkan, bukan petaninya.

Lembaga Demografi FEUI dan BPS, juga membeberkan penyerapan jumlah tenaga kerja. Sektor pertanian tembakau hanya menyerap 1,7 persen (684.000) dari jumlah tenaga kerja sektor pertanian secara keseluruhan atau hanya berkontribusi 0,7 persen dari seluruh tenaga kerja di Indonesia. Jadi, jika ada yang mengklaim bahwa jumlah petani tembakau mencapai 23 juta orang, patut dipertanyakan.

Masih menurut LDFEUI dan BPS, industri pengolahan tembakau bukan penyerap tenaga kerja besar di tingkat nasional. Bahkan, industri ini hanya menduduki peringkat 48 dari 66 sektor yang berkontribusi pada penyerapan tenaga kerja. Fakta juga menunjukkan, industri rokok berkontribusi kurang dari 1 persen terhadap total tenaga kerja nasional sejak tahun 1970-an, hingga kini. Bandingkan dengan sektor jasa konstruksi yang berkontribusi 5,4%, atau dengan sektor pertambangan yang berkontribusi 4,6 persen.

Jumlah pekerja dalam industri rokok mengalami penurunan sejak tahun 2002. Dan kecenderungan penyerapan tenaga kerja akan terus terjadi, sebab saat ini industri rokok mulai menggunakan mesin (mekanisasi). Ribuan buruh, yang mayoritas perempuan, secara perlahan akan diganti dengan mesin-mesin canggih.

Jadi, jika selama ini petani dan buruh pabrik rokok menganggap gerakan pengendalian tembakau sebagai ’musuh’ mereka, adalah salah kaprah. Justru sebaliknya industri rokok lah – khususnya industri rokok besar – yang sejatinya melakukan praktek oligopoli dalam bisnis tembakau di Indonesia. Industri rokok sepenuhnya menentukan harga dan kualitas daun tembakau dari petani melalui gradernya.

Industri rokok juga tidak sepenuhnya mengambil hasil produksi petani tembakau, sebab mereka mengimpor daun tembakau dari Zimbabwe. Artinya, petani tembakau tak pernah memiliki posisi tawar apapun ketika berhadapan dengan industri.

Dari konfigurasi diatas, makin kentara bahwa saat ini Indonesia terlena dengan buaian industri rokok. Mereka juga menjadikan para petani sebagai tameng belaka dan membenturkan dengan gerakan pengendalian tembakau. Jadi, siapa musuh sejatinya?

Ikuti tulisan menarik Senja Saga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler