x

Maskot Jambore Nasional Pramuka 2016. Pramuka

Iklan

Johan Suwignjo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Agus Salim, Pandu, dan PKI: Indonesia Raya Kehilangan Makna

Haji Agus Salim sudah tepat memilih kata PANDU sebagai kata Indonesia untuk Scout dalam pendidikan pembentukan karakter di Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku. Di sanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku. Kata-kata awal dari lagu kebangsaan kita itu mempunyai makna yang sangat dalam sehingga pasti akan menggetarkan setiap putra Indonesia yang menyanyikannya dan yang bisa menghayatinya. Apa sesungguhnya makna dari kata-kata awal tersebut? Ketika aku dilahirkan dari rahim ibu maka darah tertumpah di tubuh ibuku dan di bumi Indonesia sehingga Indonesia, tempat aku dilahirkan ini merupakan tanah air dan tanah tempat tertumpahnya darahku yang juga bisa aku ibaratkan sebagai ibuku. Dan di Indonesia atau di ibuku inilah karakter atau pribadiku dibentuk sehingga dengan bangga aku bisa berkata bahwa di sanalah yaitu di Indonesia, aku berdiri menjadi pandu ibuku. Lalu apa hubungan pandu dengan pribadi atau karakter?

Personality is to man what perfume is to a flower. Demikian kata Charles Michael Schwab (1862 – 1939), seorang industrialis Amerika Serikat. Jadi pribadi (personality) atau karakter bagi seorang manusia bisa kita ibaratkan sebagai bau harum bagi sekuntum bunga. Keharuman disebarkan oleh sekuntum bunga ke tempat sekitarnya secara cuma-cuma sehingga manusia yang memiliki pribadi atau karakter adalah seorang manusia yang menyebarkan keharuman ke sesamanya tanpa pamrih ibarat seorang pandu yang siap menjadi penunjuk jalan bagi siapa saja yang tersesat. Jadi pandu adalah gambaran dari seseorang yang memiliki pribadi atau karakter yaitu orang yang tanpa pamrih senantiasa menolong Negara dan sesama manusia. Dan pribadi atau karakterlah yang harus menjadi kebanggaan seseorang. Bukan wajahnya, bukan suku, etnis atau kelompoknya, bukan agama, keyakinan atau ideologinya, bukan titel, prestasi atau kepandaiannya, bukan kekayaan atau harta miliknya, bukan pangkat atau jabatannya, melainkan pribadi, karakter atau keharuman yang disebarkannya. Maka menjadi pandu ibukulah harus menjadi kebanggaan setiap manusia Indonesia.

Pada tahun 1908, Baden Powell melahirkan di Inggris sebuah gerakan yang bertujuan mendidik anak-anak/pemuda agar memiliki suatu pribadi atau karakter dengan nama Scout Movement. Gerakan ini menggunakan permainan di alam bebas sebagai metode dan memakai kata Scout sebagai kiasan dasar atau semacam action figure agar anak-anak dan pemuda terbentuk karakternya meneladani seorang “Scout.” Gerakan ini dibawa masuk ke Indonesia oleh seorang Belanda bernama Joh. P. Smits pada tahun 1912 dengan nama Padvinder dan segera berkembang di kalangan para pemuda Indonesia dengan jiwa dan semangat nasional sehingga mendorong seorang tokoh Sarikat Islam bernama Haji Agus Salim yang juga menjadi padvinder dari Sarikat Islam Afdeling Padvinderij (SIAP) untuk mencari kata Indonesia dari PADVINDER. Maka dipilihnya kata PANDU dari dunia pewayangan, sosok yang merupakan bapak para Pendawa (Mahabarata) sebagai gambaran teladan para Ksatria. Semenjak saat itu PADVINDER (SCOUT) resmi menjadi PANDU dan PADVINDERIJ (SCOUT MOVEMENT) menjadi GERAKAN KEPANDUAN. Karena PADVINDER (SCOUT) berarti PENUNJUK JALAN maka kata “PANDU” otomatis menjadi suatu istilah Indonesia yang baru untuk “PENUNJUK JALAN.” 

Seorang pandu dan juga komponis bernama Wage Rudolp Supratman menciptakan lagu Indonesia Raya yang dialunkannya untuk pertama kali pada saat berlangsungnya konggres Pemuda di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1928. Sekalipun Indonesia belum merdeka, sebagai seorang pemuda berkarakter hasil didikan Gerakan Kepanduan, Supratman sudah berani mencantumkan kata-kata yang berjiwakan nasionalisme dalam lagu ciptaannya itu. Maka digambarkannya kebanggaan menjadi manusia Indonesia yang berkarakter di dalam kata-kata awal lagu ciptaannya itu yang di kemudian hari dijadikan lagu kebangsaan kita. Ia pun menyadari bahwa pribadi atau karakternya itu dibentuk akibat Gerakan Kepanduan yang dimasukinya sehingga di bait ke-3 ia juga memasukkan kata-kata: Majulah Negrinya, Majulah Pandunya, Untuk Indonesia Raya.

Sesuai dengan harapan Supratman, MAJULAH PANDUNYA, Gerakan Kepanduan ternyata berkembang dengan baik di Indonesia dan menghasilkan banyak pandu yang berkarakter dan berjasa bagi tanah air seperti Bung Tomo, Jendral Sudirman dan lain-lain yang tak mungkin disebutkan satu per satu. Namun faham komunis yang memandang manusia bukan sebagai seorang pribadi melainkan sebagai anggota unit dari masyarakat menganggap Gerakan Kepanduan yang bertujuan mendidik anak-anak/ pemuda menjadi manusia yang berpribadi atau berkarakter ini sebagai suatu kendala. Komunisme atau Materialisme tidak akan bisa hidup di suatu negara apabila para warga negaranya sudah dididik menjadi manusia berpribadi atau berkarakter. Faham tersebut hanya bisa hidup apabila para warga negaranya dididik menjadi anggota unit masyarakat. Sehingga dengan jalan fitnahan, golongan komunis di Indonesia telah berhasil memaksa Bung Karno pada tanggal 9 Maret 1961 membubarkan Gerakan Kepanduan dan menggantinya dengan suatu gerakan mirip Gerakan Pionir seperti yang terdapat di RRC dan Korea Utara bernama Gerakan Pramuka. Kata “PRAMUKA” yang diusulkan oleh golongan komunis memang identik dengan kata “PIONIR” sehingga cocok untuk menjadi action figure anak-anak menuju masyarakat komunis.

Untuk menyusun gerakan pengganti ini Bung Karno membentuk suatu tim terdiri dari beberapa tokoh pandu yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Brigjen Dr. Azis Saleh, Husen Mutahar dan tokoh-tokoh dari golongan komunis. Namun tanpa sepengetahuan tokoh-tokoh komunis, dengan lihaynya para tokoh pandu segera menyusun pembentukan Gerakan Pramuka sebagai suatu gerakan yang pada dasarnya tetap merupakan suatu Gerakan Kepanduan sementara kata PRAMUKA (action figure komunisme) dipandang sebagai suatu singkatan dan bukan sebagai suatu kata utuh yang mempunyai arti seperti PIONIR. Husen Mutahar yang adalah seorang budayawan mencari kepanjangannya dari kata PRAMUKA dalam bahasa Sansekerta dan berhasil menemukannya yaitu PRAja MUda KArana yang berarti rakyat muda yang berkarya atau berinsiatif. Suatu kiasan yang sebenarnya tidak berbeda dengan penunjuk jalan atau pandu. Husen Mutahar sudah menyadari bahwa apabila kata Pramuka sebagai kata utuh yang berarti Pionir sampai mengganti kata Pandu dalam proses pendidikan maka usaha pembentukan pribadi akan mengalami kegagalan. Demi pembentukan pribadi atau karakter, action figure anak harus PANDU (seorang pribadi penunjuk jalan) dan bukan PRAMUKA (seorang anggota unit tentara di garis depan). Maka Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 238 Tahun 1961 Tentang Gerakan Pramuka berisi suatu ketentuan bahwa pendidikan kepanduan di Indonesia ditugaskan kepada Gerakan Pendidikan Kepanduan Praja Muda Karana, disingkat Gerakan Pramuka. Surat Keputusan yang bertolak belakang dengan keinginan golongan komunis ini segera ditanda tangani pada tanggal 20 Mei 1961 oleh Ir. H. Juanda, pejabat presiden RI di waktu itu yang notabene adalah juga seorang tokoh pandu dan segera dimasukkan ke dalam Lembaran Negara.

Namun sayangnya, dalam praktek pelaksanaan semenjak tahun 1961, nama Gerakan Pramuka yang diusulkan oleh golongan komunis itu ternyata terlanjur menjadi semakin populer. Istilah PANDU seolah-olah telah diganti menjadi istilah PRAMUKA sehingga sekalipun Gerakan Pramuka tetap menjalankan metode kepanduan, kiasan dasar atau action figure bagi anak-anak bukan lagi PANDU melainkan PRAMUKA dalam artian PIONIR sehingga mengakibatkan tokoh yang menjadi idola anak bukanlah suatu tokoh PRIBADI melainkan tokoh anggota UNIT. Maka yang terjadi bukanlah kebanggaan PRIBADI melainkan kebanggaan UNIT. Dan ini pasti tidak akan menghasilkan suatu pembentukan pribadi atau karakter.

Di zaman reformasi ini, di zaman yang seharusnya kita lebih peduli akan usaha pembentukan karakter dalam diri setiap anak Indonesia, setelah kita menyadari bahwa metode kepanduan ciptaan Baden Powell dengan nama PANDU ternyata sudah menghasilkan manusia manusia berkarakter yang menunjukkan jasanya kepada nusa dan bangsa di masa perjuangan kemerdekaan yang lalu dan setelah kita melihat lemahnya usaha pembentukan karakter ini sejak kata Pandu menghilang dan diganti dengan kata Pramuka pada tahun 1961 yang berakibat munculnya banyak manusia korup, manusia tak berkarakter yang menjadi pejabat-pejabat kita di masa kini, maka seharusnya kita lanjutkan usaha para tokoh pandu di era tahun 1961 yang sudah berusaha menyamarkan kata Pramuka dengan menganggapnya sebagai singkatan dari PRAJA MUDA KARANA. Seharusnya kini kita secara resmi berani menghilangkan kata PRAMUKA dan kembali menghidupkan kata PANDU. 

Maka bisa saja kita ganti lagi nama Gerakan Pendidikan Kepanduan Praja Muda Karana disingkat Gerakan Pramuka untuk kembali menjadi Gerakan Kepanduan Nasional Indonesia tanpa perlu ada lagi kata Pramuka. Demi terlaksananya pembentukan pribadi, kita bisa saja Back to Scout atau Kembali ke Pandu dan mengsosialisasikan bahwa kata PRAMUKA sudah resmi diubah lagi menjadi kata PANDU karena betapapun juga kata Indonesia dari Scout adalah Pandu. Namun yang justru sangat ironis dan menyedihkan adalah bahwa berdasarkan Keputusan Musyawarah Nasional Gerakan Pramuka Tahun 2013, di dalam AD Gerakan Pramuka disebutkan bahwa sistem yang dipakai ialah sistem kepramukaan dan terdapat banyak kata “kepramukaan” sehingga dengan demikian memberi gambaran yang jelas bahwa kata PANDU malahan sudah semakin resmi diganti menjadi kata PRAMUKA.

Baden Powell sudah tepat memilih kata SCOUT menjadi action figure atau kiasan dasar dalam metode pendidikan pembentukan karakter yang diciptakannya. Haji Agus Salim sudah tepat memilih kata PANDU sebagai kata Indonesia untuk Scout dalam pendidikan pembentukan karakter di Indonesia. WR Supratman sudah tepat memakai kata PANDU atau manusia berkarakter sebagai kata kebanggaan manusia Indonesia dalam lagu ciptaannya yang telah menjadi lagu kebangsaan kita. Sekalipun di dalam perjalanan sejarah, PKI kemudian telah berhasil mengganti kata PANDU menjadi kata PRAMUKA, namun Husen Mutahar sudah berhasil menyamarkan dan menganggap PRAMUKA hanya singkatan dari PRAJA MUDA KARANA. Mereka telah berjuang agar meskipun Pandu pernah sempat dilarang, sekali pandu, tetap pandu. Pandu ibuku tidak boleh lenyap dari bumi pertiwi. Tetapi ironisnya di zaman kini, di saat para pembela Pandu itu banyak yang sudah tiada, justru di saat PKI sesungguhnya sudah tidak lagi berkuasa, para tokoh pendidik kita yang mungkin karena kurang menyadari dan kurang memahaminya, justru membiarkan kata PRAMUKA ciptaan Komunis itu semakin hidup subur sehingga akan menyebabkan generasi yang akan datang tidak akan lagi ada kebanggaan dalam menyanyikan lagu kebangsaannya karena mereka tidak akan mengerti lagi makna dari kalimat: Di sanalah aku berdiri, jadi PANDU IBUKU. Dan mereka juga tidak akan mengerti mengapa Pandunya harus maju.

Generasi Indonesia yang akan datang tidak akan tahu apa artinya menjadi PANDU atau penunjuk jalan yaitu manusia berpribadi atau berkarakter. Yang mereka tahu adalah menjadi PRAMUKA atau tentara-tentara kecil yaitu manusia anggota unit masyarakat yang tidak memiliki pribadi. Dengan action figure PRAMUKA, melalui Gerakan Pramuka, bangsa Indonesia mendatang justru akan dibentuk menjadi bangsa yang tidak berpribadi dan tidak berkarakter. Lagu Indonesia Raya, sebuah lagu yang begitu bermakna, akan dinyanyikan oleh pemuda bangsa kita kelak sebagai lagu kebangsaan yang kehilangan makna. Suatu keindahan yang telah dijadikan fondasi oleh generasi pendahulu kita, telah kita bikin rusak untuk diwariskan kepada generasi penerus kita. Betapa menyedihkannya masa depan bangsa Indonesia!

Ikuti tulisan menarik Johan Suwignjo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu