Pangeran Sambernyowo

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Iklan

Kepahlawanan R.M. Said melawan ketidak-adilan di Keraton Mataram.

Judul: Pangeran Sambernyowo

Penulis: Team Tehnis Sejarah Perjuangan Pangeran Sambernyowo

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun Terbit: 1989 (cetakan III)

Penerbit: Yayasan Mangadeg Surakarta                                                                  

Tebal: 67

ISBN:

 

Belanda memiliki peran yang signifikan dalam perkembangan Kerajaan Mataram di Jawa. Belanda mengambil keuntungan dari perselisihan yang terjadi di dalam keraton, sehingga akhirnya keraton terpecah belah dan kehilangan banyak wilayah. Bukan saja wilayah kekuasaan Belanda di Jawa yang semakin luas, kekuasaan Belanda di bidang ekonomi dan kepemerintahan juga semakin besar. Monopoli terhadap perdangan beras dan kemudian tanaman perkebunan adalah bentuk keuntungan Belanda di bidang ekonomi di Jawa. Belanda juga campur tangan dalam hal suksesi kepemimpinan di keraton-keraton Jawa.

Sultan Agung Mataram secara jelas melawan Belanda. Bahkan beliau dua kali berupaya menyerang Belanda di Batavia. Namun anaknya, Pangeran Amangkurat I justru mendukung Belanda. Amangkurat II harus menyerahkan Karawang, sebagian Priangan dan Semarang serta pelabuhan-pelabuhan di Pantai Utara Jawa sebagai imbalan kepada Belanda yang membantu menghadapi pemberontakan Trunojoyo. Pada pemerintahan Pakubuwono (PB) I, kembali Mataram kehilangan seluruh wilayah Priangan, Cirebon dan Madura Timur.

Keterlibatan Belanda dalam kehidupan keraton tersebut telah menimbulkan ketidak-senangan beberapa anggota kerabat. Akibatnya sering terjadi pemberontakan-pemberontakan oleh para zpangeran di keraton. Salah satu pangeran yang tidak puas dengan campur tangan Belanda tersebut adalah Pangeran Sambernyowo. Pemberontakan Sambernyowo bersamaan dengan pemberontakan orang Cina di Batavia. Mula-mula PB II mendukung perlawanan kepada Belanda, namun karena khawatir Belanda akan menang, maka PB II beralih mendukung Belanda. Sikap ini menyebabkan pemberontak kecewa dan mengangkan Mas Garendi sebagai Raja Mataram saat mereka berhasil masuk ke Keraton Surakarta. Meski akhirnya Mas Garendi menyerah, namun R. M. Said alias Pangeran Sambernyowo terus berjuang melawan Belanda. Pemberontakan ini berakhir dengan perjanjian Giyanti dimana Kerajaan Mataram dibagi dua: Surakarta dan Yogyakarta.

R.M. Said adalah putra dari Pangeran Mangkunegoro yang diasingkan ke Sri Lanka karena dianggap telah berselingkuh dengan selir PB II. R.M. Said hidup sederhana saat kecilnya, meski masih berada di lingkungan keraton. Pada umur 16 tahun ia menggabungkan diri dengan laskar rakyat yang bersama dengan laskar Cina menyerang Belanda. Khawatir ditangkap Belanda, R.M. Said meninggalkan keraton dan tinggal di Nglaroh. Di Nglaroh R.M. Said membangun pasukan untuk berjuang melawan Belanda. Setelah merasa memiliki pasukan yang kuat R.M. Said bergabung dengan Pangeran Mas Garendi melawan Belanda.

Saat Mas Garendi sudah menyerah, R.M Said tetap berjuang. Perjuangan periode keduanya adalah bersama dengan mertuanya, yaitu Pangeran Mangkubumi. Setelah perjanjian Giyanti, dan Pangeran Mangkubumi bertahta di Jogja, R.M. Said masih tetap melanjutkan perjuangannya. Periode ke tiga perjuangannya adalah melawan Belanda, Hamengkubuwono I dan Pakubuwono III.

Keberhasilan perjuangan R.M. Said selama 16 tahun adalah karena tak-tik perangnya yang hebat dan dukungan dari rakyat. Meski pasukannya kecil, namun strategi perang gerilya yang menyerang secara tiba-tiba membuat R.M. Said ditakuti oleh musuhnya. Dukungan logistik dari rakyat juga sangat berperan dalam perjuangan yang berbasis di desa-desa tersebut.

Pemberontakan R.M. Said berakhir saat diadakan Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757. R.M. Said diangkat menjadi adipati dan bergelar Pangeran Adipati Aria Mangkunegoro.

Setelah menjadi Adipati di Mangkunegaran, Mangkunegoro I membangun kepemerintahan dan ketentaraan. Pasukan inilah yang akhirnya menjadi Legiun Mangkunegaran pada Jaman Deandeles, sebuah korps tentara professional pertama di Nusantara.

Buku ini mula-mula disusun sebagai syarat pengajuan R.M. Said sebagai Pahlawan Nasional. Upaya untuk menjadikan R.M. Said menjadi Pahlawan nasional berhasil. Pada tanggal  17 Agustus 1988, beliau diangkat oleh Presiden Suharto menjadi Pahlawan Nasional.

Melalui buku yang disusun oleh Tim yang dikonsultani oleh sejarahwan hebat Kartono Kartodirjo ini kita disuguhi bahwa sebenarnya politik devide et impera bisa berhasil di Jawa karena pertikaian keluarga kerajaan yang terus-menerus. Pertikaian ini kemudian membuka kesempatan kepada Belanda yang saat itu memiliki pasukan perang yang persenjataannya lebih kuat. Belanda menggunakan kekuatan perangnya untuk membantu salah satu pihak dengan imbalan wilayah, penguasaan ekonomi dan kemudian penguasaan atas politik keraton. Jadi, tenpa adanya pertikaian di dalam keraton, politik devide et impera jelas tidak akan bisa mengadu domba para pemimpin.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler