Tiga Pemicu Ahok Bakal Kompromi dengan Partai
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBAhok sendiri juga mengisyaratkan akan menggandeng lagi Djarot dalam pemilihan mendatang.
Bukan politik namanya jika tidak mudah berubah. Mendadak, hari hari ini mulai bertebaran spanduk aneh di beberapa sudut Ibu Kota. Di sana terpampang foto Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama Ahok bersama wakilnya, Djarot Saiful Hidayat, lengkap dengan tulisan “Sudah Terbukti dan Teruji”.
Spanduk yang muncul di tengah persiapan pemilihan gubernur DKI 2017 itu seakan sebagai sinyal bahwa Basuki alias Ahok akan berpasangan lagi dengan Djarot. Makna lain, Ahok kemungkinan besar akan disokong oleh PDI Perjuangan karena Djarot merupakan kader partai ini. Pengurus PDIP Jakarta menyatakan tidak berkeberatan dengan spanduk yang mengatasnamakan relawan Ahok-Djarot itu.
Ahok sendiri beberapa hari sebelumnya juga mengisyaratkan kemungkinan akan menggandeng lagi Djarot dalam pilkada DKI Jakarta mendatang. Ia mengibaratkan hubungannya dengan Djarot seperti pasangan suami-istri. "Di mana-mana suami-istri rujukan itu ada peluang. Kan, bukan talak tiga," kata Ahok di Balai Kota, Rabu, 1 Juni 2016.
Angin politik terasa cepat berubah arah karena jauh hari Ahok sebetulnya telah memilih jalur non-partai untuk merebut kursi DKI-1. Dia akan berpasangan dengan Heru Budi Hartono, yang saat ini menjabat sebagai Ketua Badan Pengelola Aset Daerah. Bahkan pengumpulan kartu tanda penduduk sebagai syarat dukungan calon independen sedang dikebut oleh relawan Teman Ahok.
Setidaknya, ada tiga alasan kenapa isyarat Ahok untuk maju dari jalur partai dengan mengandalkan PDIP, bukan lagi lewat jalur independen menjadi masuk akal pada situasi saat ini:
1. Repotnya verifikasi KTP di jalur independen
Revisi Undang-Undang No.8/ 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah telah menentukan syarat dukungan pasangan calon dari partai politik atau gabungan partai politik. Besarnya tetap 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu. Adapun syarat dukungan pasangan calon dari jalur independen minimal 6,5 persen daftar pemilih tetap.
Buat Ahok, maju dari jalur partai politik tentu jauh lebih simpel asalkan tidak ada syarat yang aneh-aneh atau menyulitkan dari para petinggi partai. Dengan dukungan dari PDIP saja--memiliki 28 kursi dari total 106 kursi DPRD DKI Jakarta atau sekitar 26 persen-- sudah cukup bekal bagi pasangan Ahok dan Djarot untuk mencalonkan diri.
Bandingkan dengan mengumpulkan sekitar 1 juta KTP sebagai syarat dukungan bagi Ahok dari jalur independen yang selama ini dilakukan oleh gerakan Teman Ahok. Kalaupun jumlah KTP yang dikumpulkan telah memenuhi 6,5 persen dari jumlah pemilih tetap, masalah lain yang muncul adalah proses verifikasi faktual yang rumit.
Lewat metode sensus, verifikasi dengan cara bertemu langsung setiap pendukung calon itu dilakukan hanya dalam waktu dua pekan. Apabila pendukung tidak bisa ditemui, maka pasangan calon wajib mendatangkan mereka paling lambat tiga hari. Hanya, Ahok perlu mempertimbangkan kekuatan Teman Ahok yang sudah telanjur bekerja keras untuk mengumpulkan KTP. Keinginan mereka harus tetap diakomodasi jika Ahok ingin berpindah jalur pencalonan dalam pilkada.
2. Ahok butuh sokongan partai di DPRD
Sehebat apapun kepemimpinan Ahok, ia tetap memerlukan sokongan DPRD dalam menjalankan roda pemerintahan. Tanpa dukungan partai, Ahok akan terus-menerus bernegoisasi dengan kalangan anggota DPRD setiap saat. Sokongan permanen dari gabungan partai akan memudahkan Ahok untuk mengegolkan setiap kebijakan yang memerlukan persetujuan Dewan, walaupun ada juga efek negatifnya. Dukungan bisa saja membuat Ahok tersendera apabila partai terlalu banyak menuntut semacam kompensasi politik.
Di atas kertas, PDIP bersama partai politik yang berada dalam koalisi pemerintah pusat seperti Partai Hanura ( memiliki 10 kursi DPRD DKI Jakarta), Nasdem ( 5 kursi), dan Partai Kebangkitan Bangsa ( 6 kursi), sudah mengumpulkan 49 kursi atau sekitar 46 persen kursi di DPRD DKI. Jika ditambah dengan Partai Amanat Nasional (2 kursi) dan Partai Golkar (10 kursi) yang belakangan mendukung kepemimpinan Jokowi, koalisi itu sudah menjadi mayoritas di Dewan.
3. Faktor Jokowi dan Megawati
Seburuk-buruknya hubungan Ahok dengan PDIP Jakarta bukan berarti tidak ada jalan keluar. Nyatanya, mulai muncul spanduk dukungan terhadap Ahok-Djarot, dan kalangan PDI Jakarta terkesan merestuinya.
Kunci penentu dukungan PDIP terhadap Ahok kelak adalah Megawati, ketua umum partai ini. Hubungan Ahok dan Megawati selama ini cukup baik. Puteri Bung Karno itu satu-satunya ketua umum partai yang hadir saat Ahok dilantik sebagai Gubernur di Istana Negara, Jakarta pada Oktober 2014.
Figur lain yang diperkirakan cukup menentukan hubungan Ahok dan PDIP adalah Presiden Joko Widodo yang juga kader penting partai ini. Ahok amat dekat dengan Jokowi karena pernah mendampingi saat menjadi Gubernur DKI. Ketika Ahok tertekan menghadapi manuver hak angket di DPRD pada 2014, ia pun lari ke Jokowi. [*]
Artikel lain:
Keterpilihan Ahok Merosot: Inilah 3 Hal Menarik & Mengejutkan
Awas, Tiga Jebakan Ini Bisa Sebabkan Ahok Keok di Pilkada!
Tiga Pemicu Ahok Bakal Kompromi dengan Partai
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
74 Tahun Merdeka: Peran TNI di Era Presiden Jokowi Kebablasan?
Senin, 12 Agustus 2019 12:49 WIBTiga Penyebab Ide Densus Antikorupsi Bikin Gaduh
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler