x

Iklan

anton septian

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Game of Thrones S6: Jon Snow dan Kegemilangan Perempuan

SPOILER ALERT: Yang belum menonton Games of Thrones Season 6 jangan menyesal bila baca tulisan ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

GAME of Thrones Season 6 berakhir seperti harapan penonton. Setelah si keji Ramsay Bolton babak belur dalam “perang dua anak haram” dan kemudian tewas dimakan anjingnya sendiri, Jon Snow ditabalkan sebagai “Raja di Utara”. Jon yang dalam sebuah scene pada episode 9 hampir bertungkus lumus seorang diri melawan ratusan anggota pasukan berkuda Ramsay, membuat para lord di Winterfell yang terakhir kali bersatu di bawah Robb Stark, berlutut sembari menancapkan pedang ke ubin. Tak ada yang kuasa membantah keberanian dan kepemimpinan Jon. 

Di benua Essos, layar telah terkembang. Ratusan, bila tidak ribuan, kapal mengarah ke King’s Landing, ibu kota Tujuh Kerajaan. Daenerys Targaryen bersama ribuan tentaranya, yang terdiri dari prajurit budak yang urat takutnya sudah putus dan kaum penghela kuda, Dothraki; bersiap mengobarkan perang terbesar di Westeros untuk mengklaim kembali takhta Tujuh Kerajaan yang dahulu direbut Robert Baratheon dari ayahnya, Aerys II Targaryen. Kepakan sayap tiga naga Daenerys mengiringi penyerbuan itu. Drogon, Viserion, dan Rhaegal kini sudah menjelma naga raksasa. Semburan apinya mampu menghanguskan setiap sudut markas musuh. 

Para tokoh utama Games of Thrones kini di atas angin. Setelah penderitaan bermusim-musim—dan menular ke penonton—mereka kini bisa menarik garis bibirnya. Lihatlah, senyum Sansa Stark mengembang setelah menjadikan Ramsay sebagai makanan bagi anjing-anjingnya sendiri yang telah tujuh hari menahan lapar. Dalam episode yang lalu-lalu, Sansa adalah lambang penderitaan. Dialah perawan di sarang penyamun, yang selalu dikelilingi marabahaya. Lepas dari Raja Jeoffrey yang bengis, dia akhirnya jatuh ke tangan Ramsay. Keengganannya untuk melawan atau meloloskan diri manakala kesempatan itu ada, sampai-sampai membuat penonton gemas. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ancaman terbesar datang dari utara, dari balik The Wall. Salju telah turun dan itu mungkin akan menjadi musim dingin paling panjang. Kegelapaan bakal menyaput seluruh benua. Night’s King atawa Raja Malam bersama pasukan White Walkers bakal menginvasi Westeros. “Pertempuran belum usai,” kata Jon ketika dieluk-elukkan oleh para bangsawan saat penabalannya sebagai “Raja di Utara”. Jon pernah bertarung dengan Night’s King. Dia tahu senjata biasa tak akan membunuh White Walkers. Hanya pedang Valyrian yang ditempa oleh dengus naga dan belati Dragonglass yang bisa menumpas mereka. Tapi kedua senjata itu amat langka. Kalau pun sudah di tangan, seorang kesatria belum tentu menang dalam perkelahian melawan makhluk yang sukar mati itu. 

Namun, dari utara juga harapan untuk memecahkan seluruh misteri berembus. Bran Stark kini bukan hanya seorang warg yang bisa menyusupkan pikirannya kepada binatang atau orang lain, dia pun punya penglihatan ke masa lalu dan masa depan. Penglihatan tersebut masih terpencar-pencar. Namun perlahan-lahan, penonton bisa merangkai kejadian di sekitar pemberontakan Robert Baratheon terhadap Aerys II Targaryen alias si Raja Sinting bertahun-tahun lalu. 

Dari penglihatan Bran, kita akhirnya tahu bahwa Jon Snow bukan anak haram Ned Stark dari perempuan antah-berantah. Jon adalah putra Lyanna Stark, adik Ned. Ayahnya kemungkinan besar adalah Rhaegar Targaryen, putra mahkota Tujuh Kerajaan, anak pertama Aerys II, abang dari Daenerys. 

Terungkapnya asal-usul Jon sekaligus mengkonfirmasi teori R + L = J yang dikemukakan para penggemar film seri yang diadaptasi dari novel karya George R.R. Martin, A Song of Ice and Fire (Game of Thrones adalah judul volume pertama novel tersebut). R + L = J atau Rhaegar + Lyanna = Jon. Dengan demikian, Jon sebenarnya lebih berhak mengklaim Iron Throne, singgasana Tujuh Kerajaan, ketimbang Daenerys, bibinya.

Sampai di sana, Jon belum menyadari bahwa dia berdaging Targaryen. Dia hanya tahu dalam tubuhnya mengalir darah Stark warisan Ned. Bagaimana kemudian Jon tahu bahwa dia seorang Targaryen, tak terlalu penting. Cara yang paling gampang, Bran merasuki pikiran Jon dan mengungkapkan masa lalunya. Bila ingin kisahnya lebih meliuk, Martin dan produser film tersebut bisa mempertemukan Jon dan Daenerys dalam sebuah pertarungan, yang dalam perang itu tiga naga Daenerys mencoba membakar Jon. Saat itulah Daenerys dan juga Jon terenyak. Jon ternyata tak terbakar dan rambutnya menjadi perak—salah satu penanda seorang keturunan Targaryen.  

Sebuah ramalan yang berumur ribuan tahun juga menguatkan tebakan para penggemar. Sebagaimana resep lama, sebuah ramalan tak boleh terlalu blakblakan dan harus multitafsir. Maka, frasa “naga memiliki tiga kepala” bukan semata-mata berarti tiga naga yang dimiliki Daenerys, tapi tiga Targaryen—kaum penjinak naga—muncul menunggang tiga naga secara serempak. Sebab itu, para fan berspekulasi bahwa Tyrion Lannister sebenarnya anak haram Aerys II. Senyampang juga, Tyrion kini menjadi tangan Daenerys.

Mungkinkah Jon adalah “pangeran yang telah dijanjikan” seperti yang dikatakan para peramal? Kesatria yang akan menjadi penyelamat dan pemimpin ras manusia melawan kegelapan yang dibawa Night’s King dan tentaranya. Kesatria titisan Azor Ahai, pahlawan yang ribuan tahun lalu menumpas kegelapan dengan sebilah pedang berjuluk Lightbringer. 

Segala tanda-tanda itu dimiliki Jon, yang pernah bangkit dari kematian. Darahnya adalah manifestasi “es dan api”—seperti judul novel Martin. Es merupakan perlambang keluarga Stark yang tinggal di bagian utara Westeros yang dingin. Leluhur keluarga Stark, Brandon, adalah pembangun The Wall, tembok raksasa yang menghalangi kaum liar dan makhluk-makhluk musuh manusia masuk ke wilayah berperadaban. Sedangkan api adalah ibarat bagi keturunan Targaryen yang tak mempan dibakar. Leluhur mereka berasal dari Valyria, sebuah negeri di Essos, tempat lahar mengalir sepanjang tahun dan naga beterbangan di angkasa. 

Pertanyaan yang mungkin bakal terjawab pada Season 7 atau pada volume terbaru novelnya adalah motivasi Rhaegar menculik Lyanna. Kenapa Rhaegar melarikan Lyanna padahal dia sudah punya anak dan istri? Apakah karena cinta yang tulus belaka? Penculikan Lyanna kemudian memicu huru-hara dan menyebabkan wangsa Targaryen terguling dari singgasana. Kenapa pangeran yang punya hobi membaca dan ahli bermain harpa itu mempertaruhkan singgasana yang sudah di pelupuk mata demi Lyanna, gadis yang sudah bertunangan dengan Robert Baratheon? Agaknya kita mesti bersabar sampai sang pengarang kelar menyusun cerita. 

Di luar bahwa Season 6 merupakan titik balik menjelang kemenangan tokoh-tokoh kesayangan penonton—kecuali terbunuhnya Rickon Stark oleh Ramsay menjelang perang dua anak haram—pada episode musim ini karakter-karakter perempuan bangkit dan menjadi pemenang. Tentu saja minus Ratu Margaery, permasuri Raja Tommen Baratheon, yang tewas bersama pengikut High Sparrow dalam ledakan besar di The Great Sept of Baelor. 

Daenerys, “sang ibunda naga”, berhasil melumpuhkan musuh-musuhnya di Essos dan kini dalam perjalanan menyerbu Tujuh Kerajaan bersama ribuan prajuritnya. Bersamanya ada Yara Greyjoy, perempuan tangguh dari Iron Lands dan penyedia kapal bagi Daenerys dan pasukannya. Di Westeros, dua perempuan yang menaruh dendam kepada keluarga Lannister, Ollena Tyrell dan Ellaria Sand, sepakat bersekutu dengan Daenerys. 

Di Winterfell, Jon mungkin tak akan menjadi raja bila Sansa tak turut campur dalam pertempuran. Jon memang seorang pemberani dan berhati emas, tapi Sansa adalah seorang visioner dan ahli strategi. Adik Sansa, Arya Stark, juga telah lulus dari gojlokan Jaqen H’ghar, pemimpin sekte pembunuh, Manusia tanpa Wajah, di Braavos. Ia lalu menuntaskan kesumatnya terhadap Walder Frey dan kedua putranya yang telah menyembelih ibu, abang, dan seluruh pengikutnya yang setia dalam sebuah pengkhianatan yang kelak disebut Pernikahan Merah—merah karena gelontoran darah. Bahkan, Cercei Lannister, perempuan paling dibenci dalam Game of Thrones, naik takhta di King's Landing, menjadi ratu pertama atas namanya sendiri.

Segala kegilang-gemilangan para perempuan itu membilas tuduhan bahwa Game of Thrones adalah film layar kaca yang mengagungkan dunia lelaki. Selain karena terlalu banyak adegan kekerasan, Game of Thrones memang kerap menampilkan tubuh perempuan tanpa penutup. Seolah-olah, perempuan adalah penduduk kelas dua—ciri peradadaban jahiliyah sebagaimana latar cerita tersebut.

Terlalu banyak puting, darah, dan sumpah serapah, sampai membuat aktris Emilia Clarke yang memerankan Daenerys, berseloroh, “Bebaskan penisnya. Pelorotkan celananya.” Menurut Clarke, tak adil bila hanya perempuan yang terus-terusan telanjang di depan kamera. Pada sebuah episode, sang sutradara lalu men-zoom penis seorang aktor drama di Braavos.***

Ikuti tulisan menarik anton septian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB