x

Iklan

Supriyadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Lebaran dan Quote Spirit

Terlepas dari konteks epik, realisme, fiksi maupun non fiksi. Peristiwa Saeni tidak bisa disebut pembawa pesan sebagai quote spirit dalam kehidupan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebentar lagi lebaran 1 Syawal 1437 H (jika tidak ada perubahan jatuh pada, Rabu, 6 Juli 2016 M). Seluruh umat Islam di Indonesia menyambut momentum satu ini. Lebaran seperti halnya umat beragama dunia lain, disambut dengan suka-cita. Tak peduli kaya maupun miskin, momentum lebaran bagian dari kenangan hidup; mudik dan silaturahmi, tradisi lebaran Indonesia yang tak pernah terlewatkan.

Peringatan lebaran itu sendiri terjadi, setelah umat Islam menjalani puasa, selama satu bulan penuh di bulan Ramadlan. Meski dimaknai bulan penuh ketenangan dan kedamaian, berbagai peristiwa pun muncul di tengah kompleksitas; keberagaman dan kebhinekaan kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini. Terutama pentingnya menjaga toleransi; siapa menghormati siapa!  

Tahun ini telah tercatat peristiwa di warung Saeni di Serang, Banten. Peristiwa yang bisa juga disebut menghebohkan. Perempuan tersebut dianggap melanggar Surat Edaran Wali Kota Nomor 451.13/555-Kesra/2016. Karena tetap membuka warungnya berjualan di siang hari, ketika umat Islam tengah berpuasa. Oleh Satpol PP Serang, barang dagangan Saeni dirampas, Jumat (10/6/2016). Berita pun bergulir pro dan kontra. Aksi penggalangan dana untuk Saeni dibuka, terkumpul Rp 265.534.758,30.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menurut kitabisa.com/busaeni, situs pelaporan penggalangan dana. Saeni hanya menerima Rp170.844.166,80. Inisiatif penggalang dana, uang berjumlah Rp 92.690.591,50, disalurkan kepada warung lainnya yang juga kena razia.

 Tak ayal peristiwa tersebut juga mengundang perhatian Presiden Jokowi dengan “turun tangan” membawa segepok uang Rp. 10 juta. Bukan membuat pro dan kontra berhenti begitu saja. Justru yang terjadi, potret-potret kemiskinan diposting dan bertebaran foto orang tua miskin juga bertebaran di beranda facebook.   

Peristiwa Saeni tersebut mengingatkan peristiwa yang terjadi di tahun 1959. Tersebutlah di sebuah Desa Lansquenet di Perancis. Desa yang dikenal cukup tenang dan damai. Warganya yang tinggal saling berdampingan dan tingkat toleransinya cukup tinggi. Semua itu berkat kepemimpinan Kepala Desa Lansquenet, Comte de bersama Pastur Henri, pemimpin gereja setempat.

Namun desa tersebut tiba-tiba berubah. Warganya terusik dengan kedatangan seorang perempuan bernama Vianne, bersama anak perempuannya, Anouk. Untuk menetap tinggal di Desa Lansquenet, ia menyewa rumah milik seorang nenek, bernama Armande, untuk dijadikan kedai coklat.

Di tengah beroprasinya usaha coklat. Vianne menghadapi tekanan dari kepala desa. Karena ia dianggap melanggar kekhusukan warga desa yang tengah menjalankan Lent, tradisi Katolik, 40 hari pra-paskah menuju Kamis Putih.

Merasa tidak ada surat edaran pimpinan desa; baik kepala desa maupun pastur. Vianne tetap bergeming membuka usahanya. Sikap Vianne direspon Comte dengan menyebar berbagai hasutan kepada warga desa; Anouk adalah anak hasil dari hubungan gelap dan Vianne adalah seorang atheis; yang dibuat ukuran Comte setelah datang ke tempat Vianne, menanyakan kenapa tidak pernah pergi ke gereja. Vianne menjawab, saya lebih suka menikmati lonceng gereja dari pada pergi ke gereja.

Baik Saeni maupun Vianne. Keduanya terjadi dari “alam” berbeda. Peristiwa Saeni terjadi di alam nyata. Ia benar-benar seorang pemeran sungguhan. Di tengah kepemimpinan negeri ini butuh kepercayaan dari rakyat. Sementara Vianne, pemeran yang diarahkan oleh sutadara Lasse Hallström dalam sebuah film berjudul Chocolat, yang dirilis tahun 2000.

Terlepas dari konteks epik, realisme, fiksi maupun non fiksi. Peristiwa Saeni tidak bisa disebut pembawa pesan sebagai quote spirit dalam kehidupan. Secara konsep waktu, peristiwa itu kini sudah hilang dan terlupakan publik. Kecuali jika seorang Saeni membawa peristiwa tersebut masuk dalam suasana beda; menarik perhatian publik secara gramatika maupun psikologis. Uang dari penggalangan dana dan pemberian presiden ia tolak.  

Cukup berkata, “Saya rela dan iklas dengan semuanya ini. Saya masih bisa bekerja untuk menghidupi diri sendiri. Masih ada jalan saya untuk mendapatkan uang. Tolong berikan kepada yang membutuhkan, “.

Bahkan akan mengharukan lagi, jika tangisan Saeni yang terekam di televisi maupun youtube mengucapkan, “Terima kasih semuanya. Masih ada orang di bawah saya. Mereka butuh uang, butuh biaya hidup. Berikan kepada mereka, “.

Berbeda dengan peristiwa yang dialami Vianne. Menghadapi tekanan, justru ia menonjolkan keramahan. Ia pembawa pesan, lewat coklat sebagai bentuk visualisasi, telah mampu membawa warga desa yang mengalami masalah dengan cinta; melindungi Josephine yang diperlakukan buruk suaminya, mendekatkan Francoise dengan suaminya, menyatukan Blerot dengan janda Audel, dan mendekatkan kembali Luc dengan neneknya, Armande. (*)

Ikuti tulisan menarik Supriyadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler