x

Iklan

kartina ika sari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ketika Hary Tanoe Ngelmu dengan Para Pakar Ekonomi & Politik

Hary Tanoe mengumpulkan sejumlah pakar politik dan ekonom, salah satunya mantan orang dekat Pak SBY untuk mengalisa kondisi politikan dan ekonomi saat ini

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Siang itu cuaca mendung dan gerimis cukup mengundang orang buat sejenak memejamkan mata. Apalagi dalam ruangan yang ber-AC sepoi-sepoi, bikin kelopak mata ingin mengatup. Eh tapi ini tidak berlaku di ruangan cukup privat di lantai 28, MNC Tower (23/6).

Dalam ruang itu berlangsung diskusi terbatas yang  bikin mata melek, daun telinga terus menjala radar, dan tangan yang tak berhenti menguntai quot-quot dari analis di bidang politik dan ekonomi. Ya, meski diskusi ini terbatas   hanya dihadiri  kalangan tertentu , tetapi isinya  begitu terbuka. Tidak ada yang ditutupi. Audience bisa menyimak live twitt dan live streaming FB di akun Hary Tanoe dan @langkahHT. Sebanyak 10 blogger dan pegiat media sosial “membumikan” diskusi sebanyak-banyaknya dengan hastag #UntukIndonesiaSejahtera. (selama dua jam, hastag ini pun berhasil masuk trending topik twiiter no.3).

Tepat pukul 14:00 wib, moderator Dimas Oky Nugrogo yang juga Direktur Eksekutif Akar Rumput Strategic Consulting (ARCS)  membuka diskusi bertajuk  “ Review Kebijakan Ekonomi dan Politik Indonesia Saat Ini”. Sedianya diskusi akan berlangsung selama 3 jam, sampai pukul 17:00 Wib. Hmm..lumayan panjang, bisikku dalam hati. Tetapi, dalam prakteknya, sungguh tak berasa, analisa tajam yang menyentil seakan membunuh waktu. Termasuk proses loading otakku yang tiba-tiba harus menyimak pemaparan data-data ekonomi dari ekonom, memaksa kelopak mata harus membuka lebar-lebar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Para pakar ekonomi dan politik yang hadir siang itu, yaitu  Prof. Dr. FX Sugiyanto, guru besar ilmu ekonomi  Universitas Diponegoro. Ekonom ini juga menjabat sebagai ketua laboratorium pendidikan Pancasila. Kemudian ada  Dr. Ahmad Taufan Damanik, dosen FISIP Universitas Sumatera Utara, Andi Ali Said, dosen FISIP Universitas Jenderal Soedirman, dan Prof Firmanzah Ph.D. rektor Universitas Paramadina menggantikan Anies Beswedan yang kini  menjadi Menteri Pendidikan.  Prof Firmanzah ini pernah menjadi orang terdekat RI-1 Soesilo Bambang Yudhoyono,  mempengaruhi segala kebijakan ekonominya. Dalam diskusi ini, ia mencoba meneropong kondisi ekonomi yang sedang dihadapi Indonesia saat ini.

 Baru kali ini saya bertemu langsung dengan Pak Hary Tanoe. Beliau tampak sangat cermat  menyimak analis dari para pakar. Ia sempat berpindah duduk dari meja yang melingkar kemudian maju ke depan, persis menghadap big screen sambil memperhatikan data-data ekonomi dengan seksama.

Masalah kesenjangan masih curam di Indonesia

Kesempatan pertama, panel dibuka dari perspektif ekonomi yaitu  Prof.Dr. Soegiyanto. Dia menganalisis secara makro tingkat pertumbuhan ekonomi kita yang dikaitkan dengan faktor pendidikan. Pertumbuhan ekonomi berjalan seiring dengan tingkat partisipasi pendidikan warga masyarakatnya. Menurut Guru Besar Ekonomi Undip ini, kendati secara keseluruhan tingkat partisipasi pendidikan masyarakat Indonesia meningkat, tetapi kesenjangan ekonomi  masih kentara di sejumlah wilayah, termasuk di wilayah Jawa yang notabene lebih banyak tereksposure proyek pembangunan. Ya, problem pemerataan ekonomi dan pendidikan masih menjadi PR besar Indonesia saat ini. Terutama di Indonesia bagian timur.

Untuk itu, ia menghimbau kepada Hary Tanoe, jika ingin membangun Indonesia, cobalah lebih banyak memberikan perhatian besar pada Indonesia Timur, khususnya Papua. Sumber daya alam di Papua sangat melimpah, tetapi ironisnya tingkat kemiskinan warga Papua tinggi. Banyak penduduk hidup dibawah garis kemiskinan. Artinya memang, sumber-sumber potensial ekonomi hanya dikuasai segelintir orang. Bagaimana, sumber-sumber ekonomi itu bisa memberikan dampak besar bagi lebih banyak warga Papua, inilah PR yang belum berhasil dilakukan pemerintah sampai sekarang.

Terlepas dari faktor budaya dan pola pikir masyarakat Papua, Soegiyanto menyarakankan pemerintah harus melakukan program yang progresif , tetap terarah dan berkesinambungan. Ada 2 syarat untuk mengatasi kemiskinan menurutnya yaitu pembangunan infrastruktur dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM).

Tak hanya Papua sebenarnya yang bermasalah pada masalah pemerataan. DKI Jakarta yang notabene pendapatan perkapitannya tertinggi dan tingkat pendidikannya bagus, justru masih mengalami masalah pemerataan. Ini unik dan harus dikaji juga. Ketimpangan sosial di Jakarta besar. Yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin makin terpinggir.Ini problem riel yang harus segera diatasi.

 Pemerintah kurang memprioritaskan program pengentasan kemiskinan

Menimpali Prof.Dr. Soegiyanto, ekonomi Firmanzah Ph.D mendesak  pemerintah agar fokus pada core bisnis untuk mengentaskan kemiskinan. Mantan staf ahli Pak SBY ini memang banyak mengkritisi kebijakan Presiden Jokowi yang dinilai tidak serius memberantas kemiskinan. Pembangunan di era Jokowi menurutnya banyak berpusat pada infrastruktur. Ia Menyitir data BPS, setahun pemerintahan Jokowi-JK, angka kemiskinan meningkat. September 2014 – Maret 2015, pemerintah kedapatan menambah sekitar 860 ribu orang miskin baru. “Pemerintah saat ini  terlalu fokus pada pembangunan infrastruktur. Masalah pengentasan kemiskinan, kurang diprioritaskan” ungkap Firmanzah.

Mantan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini menyayangkan banyaknya program pengentasan kemiskinan yang ditiadakan di APBN. Tetapi di lain, pembangunan infrastruktur cukup masif dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-JK.  “Memang, pembangunan infrastruktur itu juga berdampak pada pengentasan kemiskinan, tetapi hasilnya lama, bisa 4 sampai 5 tahun kemudian,” ujarnya.

Menurut Firmanzah, pemerintah harus memikirkan program pengentasan kemiskinan yang bisa beriringan dengan pembangunan infrastruktur. Dan, perhatikan juga APBN.   “Saya melihat, penerimaan APBN itu banyak yang belum pasti. Dari rilis  menunjukkan,  penerimaan APBN sampai 10 Juni baru 27%. Ironisnya, penerimaan belum pasti, tetapi belanjanya sudah pasti,” papar Firmanzah yang sempat direspon gelak tawa peserta diskusi.

Apalagi saat ini, kondisi ekonomi internasional masih labil. Contohnya di Tiongkok yang mengalami perlambatan ekonomi. Ini harus diwaspadai. Mengingat Indonesia banyak berhubungan ekonomi dengan Tiongkok. Perlambatan daya beli di dalam negeri pun mesti diwaspadai. Firmanzah memprediksi pada semester dua tahun ini kemungkinan akan terjadi perlambatan daya beli masyarakat karena pertumbuhan ekonomi nasional yang melambat.  Dengan begitu, pengaruhnya akan mengena pada ekspansi bisnis, yang artinya tidak ada ekspansi lapangan pekerjaan.

Karena itu, menurut Firmanzah tidak ada jalan lain, pemerintah harus melakukan cut budget demi menyelamatkan fiskal kita yang sedang kritis. Selain itu, kontribusi pemerintah daerah untuk menaikkan tingkat pendapatan dan menggairahkan perekonomian daerah harus ditingkatkan. ‘Pemerintah harus realistis dalam membuat target APBN. Disamping menjaga  konstelasi politik,” tambahnya.

Politik Uang dan Oligarki Masih Kuat

Usai dua ekonom mereview kondisi ekonomi yang terjadi saat ini, Dr. Taufan Damanik memberikan ulasannya tentang situasi demokrasi yang berkembang di tanah air.

Meski konstelasi politik tampak stabil, birokrasi bersih (good corporate governance) tengah diterapkan, tetapi tak harus diakui, praktek politik uang masih terjadi, sulit diberantas di berbagai level. Kekuasaan oligarki pun tercium kental. “Saya melihat, demokrasi saat ini masih dikuasai oleh kekuasaan oligarki. Asas kesetaraan yang notabene diharapkan dari demokrasi, sulit tercapai karena masih kuatnya oligarki,” papar Dr. Taufan Damanik.

Indikasi berkuasanya kekuatan oligarki terlihat pada arah kebijakan negara yang masih berpihak atau melayani kepentingan pemilik modal, bukan rakyat. Pemekaran wilayah pembangunan, masih kentara karena didorong kuat atas pertimbangan kepentingan politik, bukan kepentingan rakyat apalagi kebutuhan daerah. Intervensi pusat pada daerah juga masih tinggi. Ini tentu tidak baik bagi daerah.

Kuatnya kekuatan oligarki dan politik uang yang terjadi, bisa dipahami jika memperbesar sikap apatisme masyarakat. Contohnya pada praktek pemilihan kepala daerah. Dosen politik Universitas Sumatera Utara ini memaparkan banyaknya daerah di Sumatera Utara dengan tingkat partisipasi pemilih yang rendah. “Meski diulang, tetap antusias masyarakat begitu rendah. Bahkan di salah satu TPS, nyaris kosong, tidak ada yang datang,”lapornya.

Masalah perlindungan HAM sekarang juga menjadi perhatian Taufan Damanik. Ia menilai,   pemerintah sekarang kurang memperhatikan HAM. Ini terlihat dari makin maraknya tingkat kekerasan yang terjadi antar masyarakat. Sementara, satu sisi pemerintah kurang memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum. Janji Nawa Cita terhadap  sumber daya alam pun belum terealisasi.

Melihat situasi ekonomi dan politik yang berkembang saat ini, Andi Ali Said Akbar, berharap Perindo mampu memberikan gagasan pembaharu. Inilah saatnya, Perindo tampil dengan pemikiran dan aksi solutif. 

Rezim anggaran kuat berbau rente

Soal kemiskinan, Andi Ali Said Akbar masih melihat belum ada sinergi antar kementerian. Selama ini, yang dipersoalkan dalam birokrasi adalah size-nya atau ukurannya. Contohnya, bisa dilihat dari anggaran pengentasan kemiskinan. Hampir setiap kementerian punya anggaran dan punya program sendiri-sendiri. Kementerian kesehatan, sosial, pendidikan, dan perdagangan punya program pengentasan kemiskinan.  Seharusnya, menurut Andi Ali Akbar, satu institusi mengerjakan banyak hal. Bukan satu persoalan dikerjakan oleh banyak institusi.

“Politik anggaran kita masih berbau rente. Cirinya, itu tadi, satu urusan dikerubutin banyak konstitusi.  Semua berhak untuk mengakses dana. Dalam rezim anggaran pun berlaku dana alokasi khusus yang banyak digunakan oleh institusi daerah. Institusi menjual data kemiskinan, anak putus sekolah agar dapat mengakses dana alokasi khusus. Dana desa misalnya, ada 600 triliun masuk ke dana alokasi khusus. Dalam prakteknya berlaku rente antara birokrasi dan politik,” papar Andi Ali Akbar.

Hasil dari politik anggaran rente ini nyatanya memang jauh dari harapan. Daerah yang ber-PAD tinggi, dalam kenyataannya kurang berhasil dalam program pengentasan kemiskinan. Sedangkan sebaliknya, daerah ber-PAD rendah, justru efektif dalam penyerapan program pengentasan kemiskinan alias  berhasil dalam mengentaskan kemiskinan. “Bupati atau walikota yang berhasil mengentaskan kemiskinan dan angka putus sekolah seharusnya bisa ditambah dana AJK-nya,” tekan Andi Ali Said Akbar. Yang sekarang terjadi, justru bupati atau walikota yang bagus, hanya  masuk program acara   Mata Najwa saja.

Andi Ali juga melihat Undang-undang Desa yang merupakan salah satu bentuk upaya pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan perlu dikaji lagi. Masih banyak kata-kata yang bermakna ambigu. Seperti  kata dapat mendirikan, Bupati dapat mendirikan, tetapi dalam prakteknya tidak sedikit bupati yang tidak mau mendirikan. Alih fungsi lahan pun masih tinggi.

Jokowi Jalankan Populisme Politik

Pembicara pamungkas adalah analis politik Dr.Alfan Alfian. Suasana diskusi mulai mencair di session ini. Paparan yang humoris tentang “kelakukan” politik Jokowi menimbulkan gelak tawa peserta diskusi.

Menurutnya, sejak Jokowi muncul menjadi presiden  menggeser mazhab-mazhab politik yang seatle berlaku. Bahkan cukup menggegerkan tokoh-tokoh politik dunia. ‘Setelah Jokowi terpilih menjadi presiden, politik yang berlaku saat ini menjadi politik populis. Ini menarik untuk ditelaah,” ujar Alfan Alfian.

Sebenarnya, populisme politik tidak hanya terjadi di Indonesia, di negara lain di Eropa, Inggris pun terjadi. Populisme politik ditandai dengan isu-isu populer dan menyerempet bahaya. Pembangunan infrastruktur paling jelas terlihat untuk politik populis. “Baik Pak Jokowi dan Pak Prabowo sebenarnya sama-sama menjalankan politik populis. Kebijakannya kurang bersperspektif anggaran, yang penting rakyat senang" jelasnya.

Di Amerika latin, Alfan Alfian mengatakan, rata-rata mempraktekkan model populisme politik. Ciri populisme politik, yang menang merangkul semua. Dari sisi kestabilan politik, bagus. Pemerintah sepertinya tidak ada lawannya. Tetapi bahayanya, kontrol politik menjadi lemah. Jika ini dibiarkan akan berbahaya. Dan penyelesaian dalam parlemen jalanan  tak bisa dihindari. Maka itu, biar seimbang dan on the track, pemerintahan Jokowi perlu dikritisi,” papar Alfan.

Namun begitu, menurut Alfan, politik di Indonesia masih dalam tahap grundelan, belum sampai pada tingkat kekerasan atau sampai memerdekan diri.  Ya, jika sudah sampai pada tahap kekerasan, bisa-bisa kekuatan militer yang berbicara, seperti pada kasus di Mesir dan sejumlah negara Timur Tengah.

Dosen Fisip Universitas Nasional menganalisa kekuatan  politik yang dapat mempengaruhi sebuah negara. Diantaranya partai politik, civil society, militer, polisi, media,  pengusaha dan Multi National Corporation atau perusahan multi nasional.

Pengusaha bisa menjadi aktor politik. Apa yang dilakukan Hary Tanoe dengan mendirikan partai dan mencalonkan diri sebagai pemimpin bangsa ini, patut diapresiasi.  Sebagai pengusaha, memang cukup beralasan jika Hary Tanoe gerah dengan kondisi yang  terjadi di negeri ini.

Hary Tanoe : Saya ingin Indonesia Sejahtera lebih Cepat

Ya, dalam diskusi itu, Hary Tanoe mengatakan, alasan terjun ke politik karena ingin Indonesia mencapai kesejahteraan  lebih cepat. “Saya melihat kok kita masih muter-muter saja, belum mencapai kehidupan yang lebih baik. Ketimpangan masih sangat terasa. Yang mapan makin mapan. Banyak orang yang idealis, tetapi sulit untuk menjalankannya,” ungkap Hary Tanoe.

Untuk mencapai kemakmuran lebih cepat, menurutnya perlu strategi dan mengubah cara pandang. Untuk itu, ia  menekankan perubahan dimulaai pada kelas menengah bagaiamana mendorong mereka agar lebih produktif membuka lapangan pekerjaan dan menciptakan pemerataan untuk meminimalisir ketimpangan.

Pasar bebas sebenarnya bisa menjadi momen kelas menengah untuk bangkit mengambil peran. Jika ditelaah, Hary Tanoe menilai, Indonesia sebenarnya belum siap menghadapi pasar bebas. Karena faktor tadi, kekuatan kelompok produktif belum solid, indusri tidak kompetitif dan banyaknya persoalan internal yang menghambat “keberdayaan” kita sendiri. “Tidak gampang menyakinkan negara lain berinvestasi di Indonesia !” ujar orang nomor satu di MNC Group ini.

Maka itu, melalui Perindo, Hary Tanoe terus mengkader pengurus partainya agar memiliki visi dan misi yang  bagus , dan memiliki cara pandang yang berbeda untuk mempercepat kemajuan bangsa. “Parpol yang anggotanya pragmatis, tidak profesional pasti sulit untuk mempercepat Indonesia maju. Di Perindo, ada pelatihan khusus untuk para kader menjadi profesional,” ujarnya.

Ia mengaku banyak turun ke bawah, melihat dari dekat bagaimana persoalan yang tengah terjadi di masyarakat. UMKM dan UKM, nelayan, petani, dan kaum marginal harus diangkat, didorong dan dikembangkan oleh kaum menengah yang produktif. “Untuk mengembangkan mereka, bukan dengan hanya memberikan uang, tetapi berdayakan  agar produktif,” tekan Hary Tanoe.

Menimpali Hary Tanoe, Firmanzah sangat sepakat dengan visi Hary Tanoe yang memberikan perhatian besar pada sektor informal dan akses seluas-luasnya bagi sektor tersebut untuk berkembang. Terutama akses ekonomi dan pendidikan. Pakar pakar lain pun menaruh harapan besar, Hary Tanoe dan Perindo   bisa konsisten dan komit dengan “paradigma baru” mempercepat kesejahteraan Indonesia.

----

Akhir kata, saya bukan jubir Hary Tanoe atau tim sukses Hary Tanoe, saya hanya warga masyarakat biasa yang mencoba melihat sisi baik dari calon pemimpin bangsa ini. Politik, sekali lagi memang penuh dengan intrik dan kepentingan. Jika kita selalu merasa curiga apalagi sampai apatis dengan niat baik orang yang ingin membuat negeri ini maju, bagaimana negeri ini bisa cepat mencapai kesejahteraannya. Yang ada, malah akan stag atau bisa jadi mundur ke belakang, lantaran penuh kecurigaan dan saling menjatuhkan.

Mari kita mencoba open minded, terus mengkritisi dengan hati yang damai, saling berkolaborasi semata untuk Indonesia Sejahtera. 

Ikuti tulisan menarik kartina ika sari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler