x

Iklan

Diaz Setia

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pokemon Go dan Suara Hati Seorang Manusia

Romantisme masa lalu disambung oleh membludaknya generasi Y yang kekinian itu, ditambah kenyataan bahwa semakin tidak asyiknya dunia nyata hari ini,

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Entah harus bersyukur atau mengutuk diri sendiri karena saya tidak dianugerahi bakat dan minat bermain games virtual. Ya, Tuhan tidak menciptakan saya sebagai gamers. Walhasil, saya pun tak bisa ikut dalam euforia "nyari Pokemon". Saya tidak tahu rasanya menjadi orang yang tiba-tiba bangun di suatu pagi dengan penuh semangat untuk nyari Pokemon, setelah bertahun-tahun hanya menghabiskan weekend dengan makan dan tidur. Pun saya tidak mengerti rasanya jadi anak-anak penderita kanker di beberapa rumah sakit yang kembali memiliki semangat hidup lagi semenjak bermain Pokemon Go. Tanpa bermaksud merendahkan perjuangan Hanke, salah satu dari dua orang penemu Pokemon Go, yang sejak 20 tahun lalu bernubuat untuk mewujudkan games tsb. Catatan ini hanyalah timbul dari kegelisahan seorang manusia yang masih saja betah tinggal di kehidupan nyata yang kuno ini, jika dunia virtual Pokemon Go disejajarkan artinya dengan modernitas.

 

Tren Global 

Meski bukan game berbasis AR (Augmented Reality) pertama, namun milyaran dollar keuntungan yang diraup oleh pengembang game ini hanya dalam tempo beberapa minggu menjadi bukti bahwa Pokemon Go adalah game AR tersukses dibanding pendahulu-pendahulunya. Meski belum secara resmi rilis di Indonesia,  ulasan mengenai Pokemon Go sudah menyesakki beberapa media nasional. Mendadak sisi-sisi jalanan dihiasi oleh kendaraan para Pokemon Hunter. Sementara pemiliknya berjalan di sekitaran sana sambil rebutan Pokemon. Memang Pokemon Go sudah mematahkan aturan lama menuju orientasi game virtual gaya baru. Bermain game aplikasi tidak melulu berada di atas kasur dan sofa empuk, dan dari games bahkan lahir kesempatan berinteraksi dengan manusia-manusia dan komunal baru.  

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Romantisme masa lalu disambung oleh membludaknya generasi Y yang kekinian itu, ditambah kenyataan bahwa semakin tidak asyiknya dunia nyata hari ini, serta cerdasnya para marketer dalam memanfaatkan demam Pokemon Go sudah cukup menjadi faktor yang membuat game ini tak terhindarkan sebagai tren global.

Kita tahu bahwa masa keemasaan anime Pokemon adalah dari tahun 90-an sampai akhir tahun 2000. Katakanlah penikmat anime saat itu adalah rentan usia 6-15 tahun, anime pada tahun 90-an memang masih membidik usia anak-anak sampai remaja saja. Maka hitung-hitungan kasar saya, hari ini orang-orang yang terjebak dalam romantisme masa lalu anime Pokemon dan memutuskan menjadi Pokemon Hunter adalah orang-orang dengan rentang usia 15-41 tahun. Tak percaya? Coba saja hitung. Jika di tahun 1990 ada fans garis keras anime Pokemon yang usianya 15 tahun, maka hari ini usianya sudah 41 tahun. Dan usia termuda adalah 22 tahun, yaitu orang yang menonton anime Pokemon pada tahun 2000 saat usianya 6 tahun. Usia bilangan 22-41 menurut saya sih terlalu tua untuk kecanduan game, tapi itulah hebatnya romantisme masa lalu.

Memang kita tidak bisa mengeneralisir bahwa semua fans-fans garis keras anime Pokemon yang terdiri dari sebagian besar generasi Y dan sebagian kecil generasi X itu sekarang sudah bertransformasi menjadi Pokemon hunter. Tapi rentang usia tadi baru saya ambil dari mereka yang terjebak dalam romantisme masa lalu saja. Tambahkan dengan membludaknya generasi Y yang lahir di akhir sampai tahun 2000-an. Generasi yang mungkin terlalu muda untuk pernah tau soal magisnya pesona anime Pokemon Go. Tetapi Gen Y yang terkandung dalam darah mereka, membentuk mereka menjadi anak-anak yang begitu mengikuti perkembangan zaman, termasuk ikutan-ikutan bermain Pokemon Go. Jika hari ini ada generasi Y yang berusia 10 tahun dan main Pokemon Go, maka ini menambah range domain usia Pokemon Hunter, menjadi 10-41 tahun. Rentang usia yang cukup panjang untuk jamaah sebuah game! Luar biasa!

Sebagai (masih) manusia, saya harus mulai berlapang dada terhadap suatu kenyataan tentang semakin tidak asyiknya dunia nyata. Pokemon Go tentu bukan satu-satunya kambing yang harus dihitam-hitamkan ketika satu per satu manusia mulai bermigrasi ke dunia kurang atau tidak nyata. Logika sederhana adalah, ketika suatu entitas dirasa tidak menarik, maka seseoang akan pindah ke entitas baru yang jauh lebih mengasyikan. Tren migrasi ini sudah lama menggerogoti peradaban manusia, sejak mulai melesatnya medsos sampai tiba pada generasi games AR. Saya masih mengganggap medsos adalah dunia setengah nyata, sekecanduannya seseorang terhadap medsos kekinian, toh ia masih berinteraksi dengan manusia meski lewat perantara mesin. Tetapi semoga para gamers memaafkan saya yang sampai detik ini masih mengganggap games adalah sesuatu yang sangat nisbi. Saya menghargai tujuan Hanke untuk membentuk bounding antar manusia dengan perantara game Pokemon Go, tapi maafkan saya yang masih tidak menemukan manfaat apapun dari game tersebut kecuali membuat pemainnya olahraga tanpa sadar. Mungkin saya masih merasa cukup asyik hidup di dunia nyata dan dunia setengah nyata (medsos), sehingga belum merasa butuh untuk migrasi ke game AR. Jika kemarin-kemarin kita melihat linimasa medsos bertaburan foto-foto selfie sebagai bentuk eksistensi diri, maka ke depannya linimasa akan ramai oleh foto Pokemon, Pikachu, dkk. Petanda bahwa makhluk-makhluk itu lebih eksis dari.. manusia dan dunia nyata kita? Semoga saya salah.

Kemudian, kenyataan tentang semakin tidak asyiknya dunia tersebut dimanfaatkan oleh para marketer handal untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan harga semurah-murahnya. Hari ini kita banyak melihat leaflet tentang ajakan mencari Pokemon di suatu tempat tertentu, biasanya sih tempat wisata, mall, taman dll. Para marketer ini memanfaatkan fitur pokeshop untuk membeli Lure yang harganya hanya belasan ribu rupiah. Lure tersebut digunakan untuk menarik pokemon-pokemon dan teman-temannya hingga menjadikan suatu tempat sebagai pokestop. Dengan hanya belasan ribu rupiah, suatu pengelola tempat komersil bisa  menarik banyak pengunjung ketimbang susah-susah mengiklankannya di berbagai media. Pengunjung kan gak hanya nyari Pokemon, pasti pun kelaperan, makan atau minimal jajan. Lah kalau pokestopnya deket banget sama tempat diskon baju? Ya, sekalian beli baju lah! Dan simsalabim, angka penjualan pun melesat naik.

Ada romantisme masa lalu, naluriah gen Y, kebutuhan akan pelarian dari dunia yang kurang asyik, dan fasilitas dari para marketer membikin pesona Pokemon Go sulit ditumbangkan. Bukan mustahil trennya akan terus melesat.

 

Suara Hati Seorang Manusia

Terlepas dari teori konspirasi misi intel dunia, yang tanpa analisis kuat apalagi tabbayun, suka atau tidak suka, kenyataan hari ini adalah Pokemon sudah menguasai dunia.Disaat orang-orang ikutan tren nyari Pokemon, saya malah gelisah tidak karuan. Semacam rasa takut kehilangan. Semacam tidak rela. Takut kalau Pokemon benar-benar berhasil menyedot orang-orang di sekitar saya. 

Fenomena main hp sendiri-sendiri dalam acara makan bersama di cafe-cafe saja sudah membuat saya takjub sambil narik nafas panjang. Tapi makin kesini saya makin sadar bahwa dunia sudah begitu mengampuni orang-orang yang saling berhadapan padahal sebenarnya ada di tempat berbeda. Kita sudah tiba pada masa diskusi-diskusi dan ngobrol-ngobrol -meski gak penting, tapi bukankah obrolan makin gak penting itu yang makin akan menunjukkan kualitas obrolan?-, tidak menjadi lebih penting ketimbang nyari Pokemon. Saya sudah ada di zaman semakin sulitnya menemukan komunal yang betah lama-lama di dunia nyata ketimbang migrasi ke dunia Pokemon. Pokemon Go akan membawa pengaruh besar pada perkembangan games dunia. Pastinya akan banyak pengembang-pengembang games yang berambisi menyaingi kesuksesan Pokemon Go dengan AR-nya.

Sadar atau tidak sadar, suka atau tidak suka, secara tak sengaja Pokemon Go sudah mendegradasi sisi kemanusiaan. Seorang teman generasi X yang lain bahkan berpendapat bahwa, bukan Pokemon Go yang sedang naik, tapi grade kemanusiaan yang sedang turun. Mengingat analisis mengenai usia Pokemon Hunter dari 10-41 tahun tadi, maka bukan mustahil dalam satu keluarga akan ada bapak yang lebih suka mengajak anaknya bertarung Pokemon daripada mengajak bicara, "Gimana kemarin sekolah kamu?"

Seorang Pokemon hunter saya tuding dengan pertanyaan, "Kalau main Pokemon, apa dunia nyata jadi gak penting?" Dan jawabannya sih, "dunia nyata tetap pentinglah, ini kan cuma lagi tren aja. Kebanyakan manusia gak bisa menghindari diri dari sesuatu yang bersifat hype."

Semoga ke depannya sesuatu yang sifatnya hype itu adalah hal yang bisa menaikkan grade kemanusiaan. Bukan terus-terusan games AR saja yang jadi tren global. Apa lagi-lagi harapan ini terlalu utopis?

 

Berevolusi menjadi manusia yang lebih asyik dari Pokemon sudah merupakan tantangan baru. Mendidik diri sendiri agar bisa membuat dunia nyata menjadi sangat asyik adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan orang-orang di sekitaran kita dari bahaya: degradasi sisi kemanusiaan.

Sumber gambar: www.pokemon.com

Ikuti tulisan menarik Diaz Setia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler