PANTAI (SUNDAK-INDRAYANTI)
lembut pasirnya tak seperti apa kata orang
putih meski tak seputih es batu
kerikil dan cangkang-cangkangnya mati
diterpa ombak dan waktu
berdiri di pinggir pantai menghadap laut
rasanya seperti menantang maut
airnya asin, semilir angin
pandangan meluas, hijau terumbu karang
menanti ombak menyiram kaki
beramai-ramai orang datang
berenang menanggalkan bosan
membuat prasasti telapak masing-masing
pasir tempat bermain berfoto ria
saksi yang menempel dalam baju kotor
yang tersisa terbawa pulang
selain rumput laut dan bros kerang
ada karang di antara pasir dan debur
terhenyak aku hendak duduk di sana
seperti darah segar yang baru menetes
di tengahnya aku bertanya dalam kata-
yang tertahan. masihkah ada mitos
tentang tumbal pantai selatan
buktinya temanku datang, berlarian
berenang bersamaku meski dengan jilbab hijau
tapi ia baik-baik saja sampai sekarang
Gunung Kidul, 2016
KEBAHAGIAAN YANG ABADI
Kira-kira tempat seperti apa untuk mengekalkan tawa, semenakjubkan surga. Memuas nafsu makan dengan buang-buang angin. Memetik buah seperti mencomot lauk-pauk. Mandi susu sekaligus menenggaknya tanpa batas. Begitu kenikmatan yang diterima para sufi dan nabi.
Eh, aku bukan sufi apalagi nabi. Tapi sok suci mengemis kepada Ilahi agar sisa-sisa hari yang kujalani terjual tanpa rugi. Transaksi macam mana pinta tiada niscaya, mustahil didapat cuma-cuma. Bangun dari tidur atau mimpi tetap mimpi tanpa kepastian aksi. Kebahagian hakiki tak serta merta tersusun rapi. Seperti rangkaian elektro yang membuat kepala rebah, ribuan anak tangga yang harus dinaikturuni tanpa kesah.
Keluh bukan untuk diumbar. Jujur, aku enggan mengatakan kesimpangsiuran yang baiknya kupendam. Mungkin keabadian hanya diperuntukkan bagi orang-orang terpilih dalam seleksi yang entah seksi atau sekali. Tapi pribadi, bahagia adalah ketika dunia tercipta baik bercampur dengan dunia lain atau milik orang lain. Lalu keabadian hanya iman sebagian kalangan, sampai tiba seluruhnya menaruh percaya pada keterlambatan mencapai titik fungsi.
150315
@Sudut Aksara, 24 Juli 2016 (Edisi 22) Th. II
Ikuti tulisan menarik Nuraz Aji lainnya di sini.