x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Andai Pemimpin Politik Membaca Novel

Penulis Yann Martel tak bosan-bosan mengirim buku kepada pemimpin politik. Hasilnya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Apakah karya sastra sanggup mengubah dunia? Yann Martel, penulis novel Life of Pi—yang difilmkan dan meraih Piala Oscar baru-baru ini, meyakini kekuatan literer tersebut. Lantaran itulah, selama tiga tahun ia tak bosan-bosan mengirimkan novel, kumpulan puisi, maupun drama kepada Stephen Harper, Perdana Menteri Kanada periode 2006-2015.

Secara teratur ia mengirim karya sastra kepada Harper dengan maksud untuk “mendidik”-nya perihal tradisi sastra berbahasa Inggris yang begitu luas. Mungkin langkah Martel itu terkesan kurang ajar, terbukti ia tidak memperoleh satu pun surat balasan dari Harper. Niatnya baik, yakni mempromosikan karya sastra kepada orang-orang yang sehari-hari lekat dengan kehidupan politik. Tambahan pula, ia mendengar Harper menyebutkan bahwa buku favoritnya adalah The Guinness Book of Records.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Karena tak berbalas, Martel kini punya buku baru. Surat-suratnya kepada Harper rupanya diterbitkan menjadi sebuah buku. Dalam buku berjudul 101 Letters to a Prime Minister itu, Martel mengatakan sejumlah buku kepada sang perdana menteri, salah satunya ialah To Kill a Mockingbird karya mashur Harper Lee. “Saya mengirim 101 buku kepadanya, dan ia tidak menulis satu suratpun kepadaku,” kata Martel.

Martel mengaku, sebenarnya ia tak mau tahu apa yang dibaca orang lain. Masalahnya menjadi lain ketika orang lain tersebut terjun ke politik dan berkuasa. “Begitu seseorang berkuasa atas diri saya, seperti Stephen Harper,” kata Martel, “saya berkepentingan untuk mengetahui watak dan kualitas imajinasinya, sebab mimpi-mimpinya bisa menjadi mimpi buruk bagi saya.”

Sebagai warga Kanada, Martel mengaku tergetar oleh komentar Presiden AS Barack Obama setelah membaca karyanya, Life of Pi. Obama menulis surat dengan tulisan tangan kepada Martel dan mengakui “Life of Pi adalah bukti elegan keberadaan Tuhan dan kekuatan bercerita.”

Lalu kenapa ia tetap mengirimi Harper surat dan buku-buku walau tidak berbalas? Sebab Martel meyakini bahwa pemimpin dunia yang tidak membaca, atau tidak ingin mengetahui tentang orang lain—yang saya maksudkan ialah pengalaman atau kehidupan yang sangat berbeda dari dirinya—akan punya visi yang membutakan. “Fiksi adalah cara terbaik untuk mengeksplorasi yang lain,” kata Martel.

Obama sendiri, selain membaca karya Martel, juga membaca karya-karya Mark Twain, puisinya Ralph Waldo Emerson (laiknya mendiang Presiden John Kennedy menyukai syair Robert Frost), Cancer Ward-nya Alexander Solzhenitsyn, dan yang menjadi favoritnya ialah karya mashur Toni Morrison, Song of Solomon. Karya yang memadukan puisi, nyanyian, dan prosa tradisional ini menjadi novel liris yang mengilhami Obama.

Vladimir Putin, Presiden Rusia, memiliki kesukaan lain. Penguasa Rusia ini menyukai novel-novel Jack London, Jules Verne, serta Ernest Hemingway karena kisahnya petualangan mereka. Karakter-karakter yang dilukiskan dalam buku-buku mereka, kata Putin, membentuk inner self saya dan membangkitkan kecintaan saya pada dunia luar. “Mereka karakter pemberani,” ujarnya.

Apa saja karya sastra yang dibaca oleh para politisi di sini? Entahlah, saya tak pernah mendengar cerita tentang hal itu. Kita memang bisa bersikap acuh tak acuh perihal apakah mereka membaca atau tidak, atau membaca apa. Tapi, meminjam perkataan Martel, “Begitu seseorang berkuasa atas diri saya, saya berkepentingan untuk mengetahui watak dan kualitas imajinasinya, sebab mimpi-mimpinya bisa menjadi mimpi buruk bagi saya.” ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu