x

Iklan

Muhammad Isnaini

HP 0813 7000 8997. Alamat di Petatal, Batu Bara, Sumut. Penangkar bibit aren, asam gelugur, lada, durian dll.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Memperbaiki Blunder Joko Widodo

Ada banyak kesalahan fatal yang telah tercatat sepanjang pemerintahan Joko Widodo. Sebagian besar karena kurang berdaulatnya sang presiden. Apa solusinya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Joko Widodo sudah menjadi Presiden Republik Indonesia. Dan selama pemerintahannya, sudah banyak blunder yang ia lakukan. Bisa kita mulai dari keputusannya menaikkan harga bbm, padahal sebelumnya ia berjanji tidak akan menaikkan harga bbm. Kesalahan kedua adalah masalah sindiran ‘Joko: I don’t read what I sign”, yakni ketika Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2015 tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka bagi Pejabat Negara untuk Pembelian Kendaraan Perorangan. Kesalahan fatal ketiga adalah pernyataan Joko Widodo yang mengatakan bahwa Indonesia masih memiliki hutang kepada IMF, pernyataan mana yang kemudian dibantah oleh Wapres Jusuf Kalla, Menkeu Bambang Brodjonegoro dan terakhir oleh Presiden Republik Indonesia Keenam, Susilo Bambang Yudhoyono.

Adapun masalah kesalahan penyebutan tempat lahir Bung Karno atau kesalahan penyebutan nama wilayah daerah di Sulawesi, itu mungkin hanya semacam ‘slip of tongue’ saja, akibat kurangnya pemahaman Wawasan Nusantara oleh Sang Presiden.

Yang paling baru dan paling mengagetkan adalah dilantiknya seorang warga negara Amerika Serikat menjadi seorang Menteri Negara. Baru kali ini dalam sejarah Indonesia, ada sebuah pengangkatan menteri tanpa memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam aturan yang berlaku, semisal Undang-Undang Kementerian Negara. LSM beraksi, netizen berteriak, lalu Archandra Tahar pun akhirnya diberhentikan dengan hormat alias dipecat sebagai Menteri ESDM.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Indonesia pun geger. Sebagian rakyat mentertawakan hal ini. Kesan menjalankan negara secara amatir makin nyata terlihat. Kita semua harusnya malu.

Sebenarnya, kesan amatiran itu sudah terlihat dari seringnya presiden melakukan penggantian sebahagian anggota kabinetnya. Apapun alasannya, menteri yang sering diganti akan mengganggu program kerja yang sedang berjalan.

Penggantian Menteri Negara yang kerap dilakukan, copot sana pasang sini, jelas menunjukan betapa lemahnya pola rekrutmen menteri-menteri kita. Lemahnya pola rekrutmen akan menghasilkan personal-personal yang kurang memiliki kapabilitas ketika menjadi manejer dalam lingkup kementeriannya. Fakta itu dapat dilihat dari minimnya prestasi para menteri yang terpilih. Di antara menteri-menteri era Joko Widodo, hanya ada sedikit yang kinerjanya menonjol. Sebut saja nama Susi, Anies dan Rizal Ramli. Dua nama terakhir kini sudah pula ditendang dari jajaran kabinet dengan pertimbangan yang tidak jelas. Hal ini lantas memberikan sinyal betapa kuatnya kepentingan-kepentingan pihak tertentu di istana.Kepentingan-kepentingan yang memperjuangkan kepentingan di luar kepentingan nasional. Menteri Susi sendiri bahkan pernah mengancam akan mundur akibat berselisih kebijakan dengan Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan, berkenaan dengan ide Luhut yang berwacana akan memperbolehkan pihak asing melaksanakan kegiatan penangkapan ikan di perairan Indonesia.

Memang harus diakui, bahwa seorang Joko Widodo sebenarnya belum layak untuk menjadi RI-1. Ini bukan karena masalah kapabilitas pribadi atau lainnya, tapi hanya karena Joko Widodo tidak memiliki basis politik yang kuat. Joko Widodo bukanlah seorang pembesar parpol. Di PDIP sendiri, Joko Widodo tak lebih hanya seorang petugas partai. Tak ada jabatan struktural strategis yang dipegang Joko Widodo di PDIP. Akibatnya, Joko Widodo lemah secara politis. Hal ini pulalah yang membuat seorang Joko Widodo kurang mempunyai daya tawar ketika dihadapkan dengan berbagai kepentingan oknum petinggi parpol yang ada di dekatnya.

Sebenarnya Joko Widodo pernah berusaha membendung banjir kepentingan oknum politikus kelas atas itu, dengan mengangkat seorang aktivis vokal yang disegani, yakni seorang Rizal Ramli. Namun ketika Rizal Ramli mulai berhadapan dengan Ahok dalam masalah reklamasi pulau di Teluk Jakarta, Joko Widodo kembali menjadi tak berdaya.

Dari semua masalah dan kendala di atas, sebenarnya sebahagian besarnya akan dapat diatasi dengan mudah oleh Joko Widodo, jika ia tahu dan ia mau. Joko Widodo harus menempatkan minimal dua ‘singa’ untuk menjaganya dari serangan ‘katabeletje’, sms dan bisikan-bisikan oknum politikus yang bermuatan kepentingan non nasionalisme, yang terbukti sudah berhasil menjerembabkannya.

Mintalah dengan hormat kepada Prof.Machfud MD untuk menjadi Menseskab dan Prof.Yusril Ihza Mahendra menjadi Mensesneg.Itu saja dulu. Dua ‘singa’ hebat yang sangat disegani ini dijamin akan langsung membuat ciut nyali para oknum pembisik tak nasionalis. Dua anak bangsa yang punya kapabilitas profesional tingkat dunia dan punya kharisma yang sangat kuat itu akan mampu mengawal pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan selamat, setidaknya hingga pemilu mendatang.

Belum lagi jika dinilai dari segi kepentingan nasional. Tak sulit bagi kita untuk mengakui kepiawaian dan kelihaian dua putra terbaik bangsa itu dalam memberikan kontribusi maksimal dan teruji buat sebuah Indonesia yang lebih baik. Jika keduanya dipasangkan di dalam ring satu pemerintahan, maka dijamin Joko Widodo akan jauh lebih lega, dan perjalanan bangsa akan jauh lebih nyaman dan berkeadilan.

Sekarang tinggal bagaimana sang presiden bertindak. Apakah membiarkan dirinya tetap dikelilingi oleh orang-orang bermasalah (oknum!) atau akan mengubahnya menjadi lebih baik. Yang pasti, NKRI saat ini membutuhkan segera sebuah tim pendukung presiden yang mumpuni secara administratif dan piawai secara terapan.

Joko Widodo adalah seorang presiden. The real president. Utuh berdaulat secara de facto dan secara de jure. Bapak Presiden Joko Widodo harus mau dan mampu melepaskan diri dari bayang-bayang para ‘presiden bayangan’. Bapak Joko Widodo harus segera bertindak. Lugas dan tepat. Sebab bila tidak, maka blunder-blunder itu akan terus terjadi. Dan bila kekacauan itu tetap saja ada, maka bukan tidak mungkin rakyat Indonesia nanti akan mengenang Anda sebagi presiden terburuk sepanjang sejarah NKRI.

Petatal, 17 Agustus 2016.

Ikuti tulisan menarik Muhammad Isnaini lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

12 jam lalu

Terpopuler