x

Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani didampingi Menkumham Yasonna H Laoly, Menteri Koperasi dan UKM AA Gede Ngurah Puspayoga dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo memukul gong saat membuka Rapat Koordinasi Nasional Bidang Kemariti

Iklan

Arya Budi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Problem Kandidasi Partai~Arya Budi

Dalam sejarah pencalonan kandidat, baik eksekutif maupun legislatif, partai ini cenderung memilih kader atau siapa pun yang dinilai mempunyai kedekatan den

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Arah gerak pendulum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan dinamika antar-elite partai ihwal pencalonan Ahok dalam pemilihan kepala daerah DKI sebenarnya menunjukkan dua hal: anomali partai dalam kasus PDIP dan masalah kandidasi partai-partai di Indonesia. Pertama, harus disadari bahwa PDIP bukanlah partai "asal menang".

Dalam sejarah pencalonan kandidat, baik eksekutif maupun legislatif, partai ini cenderung memilih kader atau siapa pun yang dinilai mempunyai kedekatan dengan platform partai. Dalam pilkada serentak pada Desember 2015, PDIP mengajukan kadernya tanpa koalisi terbanyak dibanding partai lain: 23 pasang kandidat dari total 55 pasang kandidat partai tanpa koalisi.

Pencalonan Ganjar Pranowo di Jawa Tengah pada pilkada 2013 adalah pertanda lainnya. Ganjar awalnya tidak masuk radar survei dan berelektabilitas rendah, walaupun akhirnya PDIP membuktikan mesin partai dan mengkonfirmasi provinsi tersebut mempunyai basis pemilih loyal. Artinya, jika pemimpin partai memutuskan untuk mengajukan kandidat dengan elektabilitas tinggi tanpa memperhatikan variabel kader dan kedekatan organisasional, seperti Ahok, problem kandidasi muncul. Ini akan terlihat mubazir karena PDIP menguasai lebih dari seperempat kursi DPRD DKI, dari 20 persen kursi yang disyaratkan undang-undang. Padahal, di hampir semua belahan dunia dengan demokrasi elektoral, termasuk Indonesia, kandidasi adalah satu-satunya fungsi partai yang tersisa di tengah melemahnya peran partai (Norris 2006).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kedua, kasus PDIP di DKI juga menunjukkan problem kandidasi yang juga banyak diderita partai lain. Sejak pilkada 2005, ada ratusan problem kandidasi serupa di banyak daerah yang melibatkan elite di setiap level pemimpin partai ataupun relasi pusat-daerah dalam organisasi partai (Erb dan Sulistyanto (ed.) 2009). Selain perbedaan pendapat dalam struktur pemimpin, ada banyak ekspresi problem kandidasi dalam trayektori pilkada satu dekade terakhir, dari pemecatan fungsionaris di daerah, pembangkangan elite dan masa partai di daerah, dualisme pencalonan, hingga konflik fisik.

Pertanyaan mendasarnya, mengapa problem kandidasi ini bisa muncul? Ada dua jawaban sentral. Pertama, problem lahir karena terlalu besarnya otoritas pemimpin partai, baik secara formal maupun informal, dalam menentukan kandidat. Kedua, proses kandidasi di Indonesia bersifat terpusat, yakni keputusan akhir alias veto atas kandidat berada di Jakarta. Dua hal ini menyebabkan kader internal partai terfragmentasi dan aspirasi daerah sering bertumbukan dengan keputusan kantor pusat.

Tidak ada solusi tunggal dan final atas problem kandidasi ini, mengingat sistem politik Indonesia masih terus berkembang. Meski demikian, terlepas dari tren kandidasi partai-partai di Eropa Barat dan negara-negara demokrasi lainnya (Rahat 2013), demokratisasi dan desentralisasi kandidasi pada dasarnya adalah solusi dalam kacamata publik, walaupun masih tetap menyisakan dilema dalam kacamata partai. Demokratisasi kandidasi tidak sekadar meningkatkan inklusifitas proses dengan melibatkan fungsionaris, anggota, atau pemilih umum seperti pemilu pendahuluan. Demokratisasi kandidasi adalah meletakkan atau mendistribusikan keputusan final pencalonan kandidat di tangan banyak orang: fungsionaris, anggota partai, atau pemilih umum. Hal ini sudah dilakukan partai-partai di Eropa Barat sejak abad lalu dan beberapa dekade terakhir oleh partai-partai di negara demokrasi kedua seperti Taiwan dan Argentina (Cross 2008).

Partai-partai yang akhirnya memilih jalur kandidasi inklusif ini mendapatkan dua keuntungan sekaligus dan melatarbelakangi reformasi politik di tubuh organisasi partai. Pertama, jika keputusan kandidasi terletak di tangan anggota, kandidasi pada saat yang sama adalah rekrutmen paling efektif bagi partai karena pemilih yang berkeinginan dipimpin/diwakili oleh kandidat tertentu berpotensi akan mendaftarkan diri sebagai anggota partai. Hal ini menjadi motif reformasi politik bagi Partai Kuomintang dan Partai Progresif Demokrasi (DPP) di Taiwan pada 1990-an (Wu 2001, Mattlin 2004) atau partai-partai di Inggris dan Spanyol (Hopkin 2001). Sebagai contoh, jika PDIP menerapkan reformasi politik seperti ini, bisa jadi pendukung Risma dalam pilkada DKI akan mengalir menjadi anggota partai. Tentu hal ini melalui mekanisme rekrutmen anggota, tak sekadar tulis nama dan "klik" melalui sistem online di situs web partai.

Sementara itu, desentralisasi kandidasi cenderung mempunyai banyak ragam yang porsi penentuan kandidat terbagi dalam spektrum dari otoritas penuh di pemimpin daerah hingga otoritas terbagi merata antara daerah dan pusat. Pengalaman partai yang menerapkan model ini cenderung mempunyai tingkat kohesivitas tinggi dalam relasi pusat-daerah dalam organisasi multilevelnya. Konflik vertikal di tubuh CDU dan SPD di Jerman atau OVP dan SPO di Austria, misalnya, termitigasi dengan baik karena penerapan desentralisasi kandidasi pada medio 1990-an (Bille 2001). Jika partai-partai di Indonesia menerapkan model desentralisasi ini, setidaknya produktivitas partai tidak diambil alih sengketa pencalonan dan mesin partai di daerah dapat bekerja maksimal karena aspirasi lokal terapresiasi oleh pusat.

Struktur piramida dalam proses kandidasi—nominasi bakal calon dari desa hingga pusat—hampir di semua partai hanya berlaku di level penjaringan dan maksimal pemilihan, sementara keputusan berada di tangan pemimpin partai dan pengurus pusat. Hal ini terjadi karena dua reformasi partai tersebut menyisakan dilema bagi partai. Hilangnya privilege politik pemimpin partai dan pengurus pusat dalam melakukan veto keputusan akhir serta menggeser mereka ke ranah kerja-kerja administratif cukup beralasan. Meski demikian, privilege keputusan koalisi di lokal maupun nasional, penentuan jabatan-jabatan yang ditunjuk, misalnya menteri, dan pencalonan presiden serta day-to-day politics tak akan tergesar jika reformasi ini dilakukan hanya untuk kandidasi pilkada dalam sistem pemerintahan Indonesia yang terdesentralisasi saat ini.

Ikuti tulisan menarik Arya Budi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB