x

Iklan

Teuku Rahmad Danil

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Aceh Darurat Narkoba

Ternyata Provinsi Aceh kini masuk dalam status darurat narkoba. Bukan tanpa alasan, beberapa waktu lalu polisi meringkus sejumlah mafia barang haram terseb

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Oleh Teuku Rahmad Danil Cotseurani

Ternyata Provinsi Aceh kini masuk dalam status darurat narkoba. Bukan tanpa alasan, beberapa waktu lalu polisi meringkus sejumlah mafia barang haram tersebut serta menyita sebanyak 89,4 kilogram narkoba jenis sabu-sabu beberapa waktu yang lalu. Dan saban hari kita lihat baca di media lokal di Aceh selalu ada penggerebekan dan penangkapan terhadap pengedar dan pengguna narkoba.

Trending topik dalam bebrapa pekan yang lalu seputaran hukuman mati gembong narkoba paling berbahaya di Indonesia, yaitu Freddy Budiman. Seolah-olah ada harapan bahwa ketika mencabut nyawa sang Bandar dan bos narkoba maka bisnis haram yang merusak generasi bangsa tersebut yang tiap hari memakan korban jiwa akibat narkoba akan berkurang dan hilang narkoba dari peredaran. Pemerintah juga tidak boleh hanya bergantung pada hukuman mati, narkoba itu harus diberantas, harus diatasi secepat mungkin, perederannnya harus dimusnahkan.

Menurut data BNN, Aceh saat ini sedang darurat narkoba, tahun 2015 angka prevalensi pengguna narkoba mencapai 5,1 juta orang di Indonesia, untuk Aceh, informasi dari BNNP Aceh berdasarkan penelitian BNN Pusat dengan pihak Universitas Indonesia (UI) diperoleh hasil bahwa tingkat penyalahgunaan Narkoba di Aceh, masuk peringkat ke 8 secara nasional pada Tahun 2012. Begitu mudahnya narkoba masuk dan berdar bahkan bukan hanya di kota-kota besar di Aceh tapi juga ke gampong-gampong yang mengincar generasi muda dan pemakai pemula.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aceh menduduki peringkat kedua di Sumatera setelah Sumatera Utara, jumlah tahanan atau narapidana seluruh Aceh rata-rata di atas 50 persen terlibat kasus narkoba. Bahkan di Rutan Sigli mencapai 80 persen. Pada tahun 2014 terdapat jumlah 80.179 orang penyalahgunaan narkoba di Aceh. Sungguh angka ini sangat menkhawatirkan kita dan generasi yang akan datang. narkoba merupakan musuh bersama yang harus dijauhi oleh semua kalangan, khususnya para generasi muda Aceh. Karena narkoba ini sangat berbahaya dan merusak masa depan anak bangsa. Tidak mengherankan harapan dan doa masyarakat Aceh untuk memohon doa bagi para jamaah haji yang akan melaksanakan ibadah haji tahun ini untuk mendoakan agar Aceh terlepas dan bebas dari pengaruh, pengedaran dan pemakai narkoba.

Untuk mewujudkan Indonesia dan Aceh khususnya bebas dari narkoba membutuhkan dukungan dari semua pihak, bahkan masyarakat dinilai mempunyai peran penting dalam proses tersebut. Hal tersebut dikatakan Kepala Bidang (Kabid) Hubungan Masyarakat (Humas) Polda Aceh, Kombes Pol. T. Saladin, S.H saat berbincang-bincang bersama Klikkabar.com usai menghadiri acara pelantikan Pengurus BEM Unsyiah yang berlangsung di Gedung AAC Dayan Dawood Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh, beberapa waktu yang lalu. Masyarakat mempunyai peran penting dalam membantu kepolisian dalam mengungkapkan berbagai tindakan-tindakan kriminal bahkan termasuk narkoba, ujar mantan Kapolres Bireuen itu. Di Aceh bahkan di Indonesia umumnya, sudah darurat narkoba, jadi kita harapkan masyarakat sekecil apapun informasi, baik dari pengguna, kurir, dan pengedar untuk dapat memberi informasi kepada penegak hukum terdekat, Polisi sangat berharap bantuan dari masyarakat

            Senada dengan pihak kepolisian dan BNN Provinsi Aceh, Gubernur Aceh, dr. Zaini Abdullah menyampaikan agar masyarakat dengan sukarela dan kesadaran untuk melaporkan jika melihat adanya kejahatan narkoba di lingkungannya. Pemberantasan kejahatan narkoba, bukan hanya tugas BNN dan Polri saja tetapi tugas kita bersama. Penanganan narkoba di Aceh harus ditangani secara serius, sistematis, terukur dan komprehensif, karena narkoba akan menghancurkan seluruh sendi kehidupan masyarakat.

            Fenomena serta pengaruh dan coba-coba memakai narkoba bermuara pada menghisap rokok, itu pintu masuk awal pengguna narkoba baik itu sabu-sabu, ganja dan jenis zat aditif lainya. Bayangkan saja, kita sudah tidak asing lagi melihat anak-anak berseragam SD dan SMP menghisap rokok ditangan sebelum masuk sekolah atau waktu jam istirahat, miris sekali kita melihatnya. Dimanakah peran orangtua, guru/pendidik, masyarakat dan lingkungan setempat. Biasanya setelah mahir dan candu dan ketergantungan terhadap rokok maka tahapan selanjutnya adalah mencoba ganja, pada mulanya dikasih Cuma-cuma sama teman, akhirnya karena ketagihan dan candu maka akan jadi pemakai aktif dan ketergantungan, setelah itu adalah tahapan pada sabu-sabu dan jenis narkoba lainnya dan tidak jarang menjadi agen dan pengedar. Jadi tidak salah bila penghunu hotel prodeo di Aceh bahkan di Indonesia adalah narapidana narkoba.

Aceh secara khusus dan Indonesia pada umumnya benar-benar menjadi pasar empuk narkotika, khususnnya sabu. Harga sabu di Indonesia memang fantastis yaitu dua kali lipat dari harga di Malaysia dan Tiongkok. Dengan kondisi geografis Indonesia yang sangat terbuka, maka Indonesia kini secara perlahan tapi pasti juga mengalami pergeseran yang semula tempat transit, kini menjadi negara tujuan, bahkan bisa bertambah peran yaitu menjadi "gudang" atas narkoba dengan tujuan Australia. Hal tersebut karena harga sabu di Australia dua kali lipat lebih mahal dari Indonesia. Di antara pemain utama di Australia saat ini berasal dari Vietnam, dan dengan alasan disparitas harga yang besar dan letak posisi geografis Indonesia sebagai negara besar terdekat dengan Australia, maka jaringan narkotika Indonesia mempunyai peluang lebih dalam penyelundupan narkotika ke Australia.

Motif Ekonomi

Dengan situasi sosial dan ekonomi dunia yang semakin sulit dan keuntungan besar yang dapat diperoleh dari bisnis narkoba, maka peredaran gelap narkoba semakin sulit untuk dikendalikan. Dari data yang dirilis BNN, diketahui bahwa jumlah pelaku kejahatan narkoba yang ditangkap pada tahun 2010 berjumlah 26.678 orang, tahun 2011 berjumlah 29.796 orang, pada tahun 2012 berjumlah 28.727 orang, dan  tahun 2013 berjumlah 28.784 orang (Jurnal P4GN BNN Tahun 2014). Artinya, jumlah pelaku yang ditangkap tidak mencerminkan terjadinya penurunan. Dengan fakta bahwa sebagian besar pelaku kejahatan narkotika tetap melakukan kejahatan narkotika dari dalam penjara, maka pelaku kejahatan narkotika terus mengalami peningkatan.

Dalam siklus kejahatan narkotika maka terdapat beberapa "pos jabatan" yaitu bandar, kurir, pemodal, pemasak, pengedar/penjual, pengecer, dan pembeli/user. Tiap-tiap posisi tersebut juga terdapat klasifikasi yang berbeda misalnya untuk posisi kurir, maka terdapat kurir dengan jumlah barang besar, sedang, dan bahkan kurir pengecer. Terdapat juga kurir dari pengedar dan kurir dari user. Juga terdapat pemain dengan rataan jumlah narkotika berbeda-beda. Di Indonesia pada umumnya, narkoba dengan peminat terbesar yaitu jenis sabu yang berasal dari luar negeri seperti Tiongkok dan Malaysia, kisaran jumlah yang diselundupkan ke Indonesia adalah 1-6 kg. Bisa juga lebih dari 6 kg.

Pemain narkoba di Indonesia hingga kini masih menjadikan keuntungan uang sebagai dasar  utama motivasi mereka dalam melakukan aktivitas bisnisnya. Jan C. Van Ours dan  Stephen Pudney merinci dalam tulisannya tentang penyalahgunaan narkoba dan kaitannya dengan sudut pandang ekonomi (2006). Bahwa narkoba dari aspek ekonomi sangat merugikan negara dalam berbagai hal termasuk beban keuangan negara terutama untuk sektor kesehatan dan keamanan.

Dengan total penduduk sekitar 270 juta jiwa, Indonesia adalah pasar besar bagi pengedar narkoba. Secara ekonomi, bisnis gelap narkoba sangat menggiurkan. Berdasarkan wawancara penulis dengan seorang bandar narkoba dari Sulawesi Selatan, alasan keuntungan yang besar dan cepat adalah alasan utama. Dalam waktu satu minggu, bandar tersebut dapat menjual sabu minimal total 1 kg. Keuntungan bersih per kg adalah 400jt. Dengan penjualan minimum per 50gr seharga 50-52jt. Sedangkan harga per 1 kg sabu di Tawau, Malaysia adalah 500jt. Menurut pengakuannya, menyelundupkan sabu dari Tawau ke Sulawesi Selatan cukup mudah karena adanya Kapal penumpang secara langsung dari Nunukan tujuan Pare-Pare. Selain itu, karena terdapat oknum aparat, baik di Indonesia ataupun di Malaysia, yang dapat "bekerja sama" dan dapat disuap jika sewaktu-waktu sabu miliknya terkena razia.

Seperti yang dirilis oleh beberapa media nasional, Presiden Jokowi menolak grasi 64 terpidana mati kasus narkoba dan Kejaksaan Agung tealh mengeksekusi para terpidana mati kasus narkoba sudah tahap ketiga sampai tahun 2016 ini. Dari persepktif penegakan hukum, keputusan Jokowi dan Kejaksaan Agung adalah patut diapresasi. Paling tidak, penulis mendukung dengan dua alasan mutlak. Pertama, terpidana tersebut adalah bandar besar. Barang bukti dengan jumlah banyak tidak mencerminkan bahwa yang bersangkutan adalah bandar. Bisa jadi, yang bersangkutan hanyalah kurir yang dibayar atas jasanya sebagai pengantar narkoba. Alasan mutlak kedua adalah yang bersangkutan masih melakukan aktivitas bisnis gelap narkoba dari dalam penjara.

Situasi penjara di Indonesia memang sangat tidak mendukung terhadap upaya pemberantasan narkoba. Terdapat "perlindungan" yang diterima oleh narapidana dalam melakukan aktivitas bisnisnya melalui terali besi penjara. Lapas atau Rutan menjadi sangat ekslusif karena terdapat prosedur yang rumit dalam upaya mengungkap narapidana yang masih berbisnis narkoba. Kemenkumham harus terbuka dalam upaya mengungkap narkoba karena pengendalian narkoba dari Lapas adalah hal biasa.

Kemenkumham tidak boleh menutup diri bagi Polri atau BNN untuk dapat sewaktu-waktu melakukan sidak karena harus melalui izin padahal dalam proses pengungkapan narkoba, penegak hukum berkejaran dengan waktu dan upaya menjaga kerahasiaan informasi. Jika BNN atau Polri untuk melakukan sidak atau upaya "penangkapan" terhadap pengendalian narkoba dari dalam penjara harus melalui prosedur izin biasa, hampir pasti informasi tersebut akan bocor dan operasi akan gagal. Setiap kali dilakukan sidak di Lapas, hampir pasti akan ditemukan hand phone, bahkan dengan fasilitas M-Banking. Operasi sidak di Lapas pun akan gagal jika rencana operasi bocor. Jika saja ada hukuman yang berat terhadap petugas Lapas hingga pemecatan jika masih ditemukan alat komunikasi secara liar di dalam lapas, maka itu dapat menjadi bagian dari solusi atas persoalan narkoba di Indonesia.

Kampanye Anti Narkoba

Hampir setiap tahun, pemerintah China menangkap kurir WNI di China. Tahun 2014 saja, terdapat empat orang WNI yang ditangkap di China karena kedapatan membawa narkotika dengan jumlah 1 sampai 3 kg. Keempat orang tersebut adalah kurir. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberapa tersangka kurir narkoba di BNN, para tersangka mengaku tidak faham bahwa yang dibawanya adalah narkoba. Mereka mengira bahwa barang yang dibawanya adalah bukan narkoba atau mengandung narkoba. BNN mempunyai kewajiban melakukan pencerdasan kepada masyarakat terhadap bahaya narkoba dan agar masyarakat menjadi faham dan sadar akan bahaya narkoba.

BNN harus secara masif melakukan kampanye anti narkoba dengan berbagai pendekatan. Upaya penyuluhan atau model ceramah harus dibarengi dengan upaya pelibatan masyarakat secara aktif. Karena negara mempunyai keterbatasan sumber daya dan sumber dana. Kampanye melalui media sosial seperti facebook, twittter, atau lainnya juga harus dilakukan secara serius. Peringatan dini ketika seseorang menggunakan medsos adalah penting karena beberapa tersangka kurir yang ditangkap bermula dari kenalan dengan sindikat di medsos khususya Facebook. Dengan jumlah uang besar yang dihasilkan dari bisnis narkoba, akan menjadi sangat berbahaya jika pemain narkoba di Indonesia mempunyai korelasi positif dengan kelompok teror. Pemerintah tidak boleh terlambat mengingat percepatan peredaran gelap narkoba terus mengalami kenaikan. Upaya menggandeng masyarakat secara luas harus segera dilakukan mengingat besarnya biaya yang harus dikeluarkan pemerintah terhadap dampak dari bisnis narkoba cukup besar. Narkoba dapat berimplikasi terhadap persoalan kesejahteraan masyarakat, kesehatan, dan keamanan.

Cerita Haris Azhar

Cerita mengejutkan jika benar adanya sangatlah membuat masyarakat menghebohkan se-Indonesia, Koordinator Kontras, Haris Azhar menyebutkan adanya aliran dana bisnis haram narkoba dari Freddy Budiman kepada pejabat di BNN dan kepolisian. Tahun 2014, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) itu bertemu terpidana mati kasus narkotika Freddy Budiman. Menurut Haris, pertemuan itu tak disengaja. Melalui Suster Yani, Freddy meminta bertemu dengan Haris. Pertemuan berlangsung di Lapas Nusakambangan. Haris mengungkapkan, selama dua jam pertemuan, Freddy bercerita panjang lebar soal bisnis narkoba yang dijalankannya. Freddy mengungkap adanya oknum Polri, TNI, dan BNN yang turut "bermain" dalam bisnisnya. Cerita yang disampaikan Freddy ini tak langsung disebarluaskan Haris. Ia menyimpan kisah ini dan menunggu momentum yang tepat, yaitu menjelang eksekusi mati.

Beberapa hari menjelang hari eksekusi, Haris mengaku menyampaikan cerita ini kepada Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi Sapto Pribowo untuk diteruskan kepada Presiden Jokowi. Akan tetapi, hingga menjelang eksekusi, tak ada respons dari Istana. Haris memutuskan menyebarluaskan Freddy melalui pesan berantai di Media sosial. Andai saja benar “nyanyian” Haris maka Presiden Jokowi harus lebih tegas lagi dalam pemberantasan jaringan narkoba yang masuk ke berbagai instansi dan lembaga Negara, bila perlu segera dibuktikan dan tangkap oknum tersebut, agar Indonesia benar-benar bebas narkoba. Memang agak susah untuk melacak rekening para pejabat yang berbisnis narkoba, karena mereka tahu jika ada rekening gendut maka PPATK tidak akan tinggal diam, untuk segera melacak dan mempublis pejabat yang memiliki rekening gendut tersebut. Jadi mereka lebih menyimpan uangnya dalam bentuk cash/tunai atau membeli property, tanah, rumah serta mobil mewah.

Jangan sampai terkesan dan tergiring opini publik,  sejak BNN dibentuk ,peredaran Narkoba justru makin banyak,,maka dibentuklah BNN daerah,  hasilnya justru makin banyak pengedar dan pengguna narkoba di seluruh Indonesia,jika nanti ketika BNN dibentuk sampai tingkat kecamatan hasilnya malah narkoba kian merajalela. Indonesia belum terlambat dalam merubah taktik " perang " melawan Narkoba,dari pendekatan " hard power" lewat undang-undang  narkoba dan BNN serta Polri dan TNI menjadi pendekatan " soft power/smart power " caranya bagaimana? Narkoba itu masalah dunia,Indonesia bisa belajar dari negara yang sukses perangi narkoba semisal Belanda, Denmark, Swedia dan lain-lain

Tidak seharusnya Negara kalah  terkait narkoba,sebab negara memiliki kewenangan legislasi dan dengan kewenangan tersebut Negara bisa merubah keuntungan dari bisnis Narkoba yang selama ini hanya dinikmati para kartel dan kaki tangannya,sedang negara dirugikan karena harus keluar biaya perangi Narkoba,menjadi sebaliknya, konon lagi jika benar informasi rahasia internal jika oknum aparat negara juga berbisnis narkoba dari bandar narkoba. Pemerintah Jokowi harus lebih serius dalam penanganan narkoba, sebab gendang perang telah ditabuhkan terhadap narkoba yang kini berstatus seluruh Indonesia sudah darurat narkoba dan Negara/Pemerintah  harus memenangi peperangan melawan penyalahgunaan narkoba. Nyan ban!!!

Penulis adalah

Bagian Akuntansi, Audit dan Pelaporan

/Penata Laporan Keuangan

PDAM Tirta Krueng Meureudu

Pidie Jaya - Aceh - Indonesia 24186

 

 

Ikuti tulisan menarik Teuku Rahmad Danil lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB