Cina Muslim: Minoritas dalam Minoritas
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Cina Muslim adalah minoritas dalam minoritas. Mereka terpinggirkan dari sejak abad 18 sampai sekarang.
Judul: Cina Muslim dan Runtuhnya Republik Bisnis
Penulis: Teguh Setiawan
Tahun Terbit: 2012
Penerbit: Republika
Tebal: viii + 261
ISBN: 978-602-7579-11-8
Cina muslim adalah minoritas di dalam minoritas. Mereka terkucil di kalangan Tionghoa. Kehadirannya belum sepenuhnya diterima oleh pribumi. Di jaman Belandapun mereka dituduh yang bukan-bukan. Padahal pada jaman awal migrasi ke Indonesia, kebanyakan para imigran adalah para Cina Muslim. Pada saat Negeri Cina dipimpin oleh dinasti Ming (1368-1645) yang mengakomodasi orang-orang dari Asia Tengah sebagai pejabat, banyak warga Cina yang beragama Islam. Mereka yang merantau ke selatan (Asia Tenggara) pada umumnya beragama Islam (hal. 23). Banyak dari para perantau Tionghoa ini ikut serta menyebarkan agama Islam di Jawa. Salah satu contohnya adalah keluarga marga Gan dari Lasem. Bahkan beberapa wali adalah keturunan Tionghoa. Mereka diterima masyarakat lokal sebagai bagian dari komunitas. Namun mengapa sekarang ini sepertinya Tionghoa Muslim justru menjadi minoritas dalam minoritas?
Baiklah kita lihat dulu mengapa Cina Muslim di Nusantara yang dulu merupakan perantau mayoritas dan diterima baik di kalangan pribumi bisa menjadi minoritas di dalam minoritas. Pada abad 18 kemesraan Tionghoa – Jawa mengalami penurunan. Penyebab menurunnya hubungan mesra antara orang Tionghoa dengan orang Jawa adalah karena ketegangan internal para perantau Cina di Jawa dan politik dalam negeri di China (hal. 5). Sampai dengan abad ke 17, hubungan antara orang China dengan penduduk lokal berjalan baik. Bahkan pada era Majapahit, ada orang China yang memiliki jabatan kenegaraan. Namun seiring surutnya Dinasti Ming yang mendukung perkembangan Islam di Cina, dan digantikan oleh dinasti Manchu, populasi Cina Muslim di Nusantara menurun drastis. Penurunan populasi ini sejalan dengan turunnya peran ekonomi dan politis mereka di Nusantara. Dinasti Manchu melakukan diskriminasi terhadap orang-orang Muslim di Cina. Diskriminasi kepada para pemeluk Islam di Cina ini berimbas kepada para perantau di Asia Tenggara. Perantau yang baru datang ke Asia Tenggara pada era dinasti Manchu bukan lagi orang-orang Islam. Mereka ini mengobarkan gerakan pemurnian Cina dengan memromosikan kebudayaan Cina. Banyak dari budaya Cina yang tidak lagi dijalankan oleh mereka yang sudah menjadi Islam. Akibatnya banyak orang Cina yang memeluk Islam menjauh dari komunitas Cina dan melebur ke suku-suku lokal yang beragama Islam. Mereka yang masih mempertahankan keislamannya dan kecinaannya menjadi tersingkir dari komunitas Tionghoa di Nusantara.
Pada era VOC, orang Cina Muslim dicurigai oleh Belanda. Perpindahan agama orang Cina dianggap sebagai upaya untuk menghindari pajak. VOC menerapkan pajak yang lebih mahal kepada orang Cina. Dengan berpindah agama ini maka mereka bisa tinggal di pemukiman pribumi dan membayar pajak dengan lebih murah karena mereka dianggap sebagai bagian dari pribumi. Namun Belanda segera mengembalikan mereka yang sudah beragama Islam ini ke pemukiman Tionghoa, sehingga terjadi dua kelompok Tionghoa di pemukiman (hal. 7.) Akibatnya terjadilah ketegangan antara Cina Muslim dengan Cina yang bukan Muslim.
Cina Muslim menjadi sasaran masyarakat Tionghoa ketika terjadi kerusuhan anti Cina yang dikobarkan oleh Sarekat Islam (SI). Orang-orang Tionghoa yang sudah memeluk agama Islam menjadi pihak yang harus meminta maaf saat terjadi kerusuhan. Untuk meluruskan gerakan SI, para Muslim Tionghoa diminta untuk meminta maaf kepada masyarakat Tionghoa non Muslim (hal. 130).
Di abad 20 dan 21 pun posisi Cina Muslim masih belum sepenuhnya bisa diterima di kalangan pribumi. Meski jumlahnya semakin menurun, tetapi sampai abad 20 China masih ada saja Tionghoa yang berpindah memeluk Islam. Tionghoa berpindah yang memeluk Islam disebut sebagai mualaf, namun mereka tidak sepenuhnya diterima oleh pribumi (hal. 9). Sebagai orang Islam mereka diterima di komunitas dekatnya. Namun sebagai Tionghoa mereka tetap dianggap sebagai bagian dari etnis yang “kurang” diterima oleh pribumi. Ketika terjadi kerusuhan, seperti kerusuhan 1998, para Cina Muslim juga menjadi korban seperti halnya masyarakat Cina lainnya.
Selain membahas topik Cina Muslim, buku ini juga membahas tentang Cina Benteng. Cina Benteng adalah sebuah komunitas Cina yang rata-rata miskin. Asal muasal Cina Benteng adalah para pelarian Cina Batavia karena dimusuhi oleh Belanda. Ada kelompok yang lari sampai Panongan untuk menyelamatkan diri dari kejaran Belanda (hal. 83). Komunitas Cina Panongan ini mempertahankan budaya Cina dalam kehidupan sehari-hari. Meski sekarang terdesak oleh perkembangan perumahan di wilayahnya, namun Cina Benteng, khususnya yang di Panongan memiliki budaya yang unik yang bisa dijadikan sebuah wisata budaya.
Buku ini juga membahas sumbangan masyarakat Tionghoa dalam kesusastraan Indonesia. Cerita silat yang pernah mewabah di tahun 1970-1980 adalah buktinya. Diawali oleh Gan Kok Ling (Gan KL) yang menerjemahkan cerita-cerita silat dari Hong Kong (hal. 145), genre cerita silat berkembang pesat di Indonesia. Cerita Silat Kho Ping Ho adalah salah satunya. Cerita silat Kho Ping Ho berbasis cerita di daratan Cina. Selain penulis Tionghoa, cerita silat juga ditulis oleh orang Jawa. S. H. Mintarja terkenal dengan cerita silat Api Di Bukit Menoreh dengan tokoh utamanya Agung Sedayu.
Tetapi sebenarnya sumbangan orang Tionghoa dalam dunia kepustakaan jauh lebih besar daripada sekedar cerita silat. Kwee Tek Hoay (KTH) menulis banyak novel (hal. 111). Namun karena KTH menulis dengan menggunakan bahasa Melayu pasar, maka karya-karyanya tidak dianggap sebagai karya sastra. Padahal banyak novel-novel Balai Pustaka mirip dengan karya penulis Tionghoa (hal. 135). Setidaknya ada 14 karya novel Balai Pustaka memiliki cerita (dan bahkan judul) yang mirip/sama dengan karya-karya para penulis Tionghoa. Selain KTH ada Tan Boen Kim (TBK) wartawan penulis novel. TBK menulis novel berdasarkan kisah nyata yang diinvestigasinya. Beberapa karyanya diantaranya adalah tentang pembunuhan Fientje de Feniks dan kerusuhan Kudus (hal. 135). Jika mau menelusur lebih mundur, orang Tionghoa telah menyumbangkan karya terjemahan yang menjadi teladan dalam hal kejujuran. Buku Haji Rui (Haji Soeij) sudah diterjemahkan pada tahun 1882 (hal. 155).
Bahasan lain di buku ini adalah peran orang Tionghoa di bidang politik dan kenegaraan. Orang Tionghoa terpecah menjadi tiga kelompok orientasi politik saat kemerdekaan. Ada kelompok yang pro Tiongkok, ada kelompok yang pro Belanda, namun tidak sedikit yang pro kemerdekaan Indonesia. Liem Koen Hian (LHK) adalah salah satu tokoh Tionghoa yang pro kemerdekaan. LKH adalah pendiri Partai Tionghoa Indonesia. Namun perjuangannya dalam proses kemerdekaan Indonesia dilupakan (hal. 177). LKH menjadi anggota BPUPKI (hal. 183). Namun karena frustasi diisukan ia menanggalkan warga negara Indonesia dan meninggal dalam kondisi stateless. Dalam hal kenegaraan, para perantau Tionghoa di Kalimantan Barat adalah komunitas yang membentuk republik tertua di Asia. Republik Lanfang, republik tertua di Asia (hal. 237).
Dinamika pertahanan diri orang Tionghoa di Indonesia juga dibahas di buku ini. Perlawanan laskar Tionghoa terhadap Belanda disinggung dalam buku ini. Perlawanan laskar Tionghoa yang lebih dikenal dengan Geger Pacinan ini membawa kerugian yang amat besar bagi Belanda. Sebab cakupan perangnya begitu luas dari Batavia sampai ke Pasuruan. Bentul lain dari perlindungan diri masyarakat Tionghoa adalah dengan membentuk laskar keamanan. Pao An Tui (laskar keamanan rakyat Tionghoa) adalah bentuk upaya orang Tionghoa melindungi diri sendiri (hal 194) saat terjadi kerusuhan menjelang dan setelah kemerdekaan. Laskar ini cukup berhasil melindungi orang Tionghoa di kota seperti Medan dan kota-kota lain. Namun laskar ini juga dicurigai sebagai kelompok pro Belanda sehingga menimbulkan pukulan balik kepada masyarakat Tionghoa pada umumnya. Salah satu contohnya adalah peristiwa 10 November di Surabaya. Bung Tomo menuduh orang-orang Tionghoa mendukung Belanda untuk kembali menduduki Indonesia. Padahal tidak sedikit orang Tionghoa yang berjuang bersama rakyat melawan Belanda (hal. 196).
Jadi bagaimana masa depan Cina Muslim dan masyarakat keturunan Cina di Indonesia? Apakah mereka tetap akan cari aman dengan membeli perlindungan dari para penguasa atau berbaur (hal 211)? Pertanyaan ini sangat sulit untuk dijawab. Sebab untuk memecahkan masalah pelik ini harus ada pendidikan di kedua belah pihak. Penyadaran bahwa masyarakat Tionghoa adalah kelompok yang tidak homogen perlu ditanamkan kepada seluruh warga. Di lain sisi, peran orang Tionghoa dalam segala sektor kehidupan bernegara harus ditingkatkan. Sebab membeli perlindungan dari para penguasa, atau membentuk kelompok keamanan sendiri terbukti tak mampu mencegah kerusuhan anti Tionghoa di Indonesia. Bukankah sudah banyak contoh bahwa keturunan Tionghoa bisa berperan di segala bidang, seperti kesusasteraan, kesehatan, politik dan kenegaraan? Jadi menunggu apalagi?

Penulis Indonesiana
2 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler