x

Mahatma Gandhi. Getty Images

Iklan

Cak Mun

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

International Day of Nonviolence: Belajar dari Gandhi

Ahimsa, salah satu pandangannya yang berasal dari ajaran Hindu klasik menjadi salah satu ajaran yang sering kali ia sampaikan dalam berbagai kesempatan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Memasuki bulan Oktober 2016, secara resmi kita memperingati International Day of Nonviolence –hari internasional tanpa kekerasan- yang kesembilan kalinya berdasarkan keputusan sidang umum perserikatan bangsa-bangsa (PBB) di tahun 2007. Bukan tanpa alasan 2 Oktober diberi kehormatan sedemikian rupa. Tanggal itu sengaja diperingati sebagai bentuk penghormatan kelahiran sang Mahatma –Mohandas Karamchand Gandhi- atas perjuangan dan jasa-jasanya terhadap India dan segenap masyarakat di penjuru dunia.

Gandhi, atau yang sering dipanggil bapu –bapak-tak bisa dipisahkan dari kemerdekaan India yang berhasil dicapai pada tahun 1947. Gandhi adalah seorang pimpinan gerakan kemerdekaan. Sosoknya yang sangat sederhana dalam memimpin menjadikannya pusat perhatian kolonial kerajaan Inggris kala itu. Winston Churchill, salah seorang perdana mentri Inggris  pernah mengatakan sesuatu tentang Ghandi. "Menyedihkan melihat Mr. Gandhi, seorang pengacara Kuil Tengah yang menghasut, sekarang tampil sebagai seorang fakir yang tipenya umum di Timur, menaiki tangga Istana Viceregal dengan badan setengah-telanjang."

Di luar itu, Gandhi lebih dikenal karena pandangannya yang sangat menolak kekerasan. Ahimsa, salah satu pandangannya yang berasal dari ajaran Hindu klasik menjadi salah satu ajaran yang sering kali ia sampaikan dalam berbagai kesempatan. Ahimsa sendiri berasal dari bahasa Sansekerta dengan akar kata himsa yang memiliki arti kekerasan. Maka dari itu, ahimsa dapat diartikan secara global sebagai sebuah pandangan untuk menolak keinginan membunuh, menyakiti hati, membenci,membuat marah dan mencari keuntungan diri sendiri dengan meperalat serta mengorbankan  orang lain.

Lebih jauh lagi, Gandhi ternyata berhasil mengembangkan konsep ini. Ia menekankan bahwa makna ahimsa sebagai nir-kekerasan tidak semata-mata berkonotasi negatif (nir/a = tidak), namun juga berkonotasi positif sebagai sebuah semangat dan pedoman hidup. Baginya, ahimsa memiliki konotasi tersebut dengan menciptakan suasana membangun. cinta dan berbuat baik kepada orang lain adalah sebuah keharusan yang lazim dimiliki konsep itu tanpa membedakan kawan maupun lawan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perlawanan Gandhi terhadap kekerasan sebenarnya tidak terjadi hanya karena latar belakang negrinya yang terjajah oleh Britania saja. Tetapi, ide dan pandangan ini lahir dari kondisi sosial yang ia rasakan entah di negrinya sendiri maupun di Afrika selatan.

Di negrinya sendiri, Gandhi muda sudah disuguhkan kekerasan fisik secara langsung lewat berbagai perang dan perlawanan rakyat India pada kolonialisme. Sementara itu, ketika mendapatkan tugas sebagai pengacara di Afrika selatan Gandhi muda juga nyatanya tidak lepas dari kekerasan yang ia terima.

Kekerasan yang Gandhi terima kali ini memang tidak bersifat fisik. Namun perlu diingat, seperti yang sudah tercatat dalam buku “bullying” (2008) hasil karya tim penulis SEJIWA, kekerasan dapat dibagi menjadi dua. Kedua macam kekerasan ini adalah kekerasan fisik dan kekerasan nonfisik.

Berbeda dengan kekerasan fisik yang sifatnya sangat empiris dan kasat mata, kekerasan nonfisik tidak bersifat demikian. Kekerasan jenis ini punjuga dapat dibagi kedalam dua garis besar lainnya. Kekerasan verbal dan kekerasan psikis.

Kedua jenis kekerasan ini dirasakan Gandhi pada waktu itu. Gandhi yang merupakan bagian dari suku Gujarat India, kerap kali menjadi korban rasis atas berbagai kebijakan yang diskriminatif dari pemerintahan Afrika selatan.

Puncaknya pada tanggal 22 Agustus 1906, Pemerintah Tansvaal, Afrika Selatan dalam undang-undangnya mewajibkan seluruh warga India untuk melapor pada pemerintah setempat. Mereka juga wajib membubuhkan sidik jari dan akan menerima sertifikat yang harus dibawa kemanapun yang bersangkutan bepergian. Jika tidak, seorang pelanggar akan dipenjara bahkan hinggadideportasi. Hal Ini tentu menyulut protes dari para warga India. Namun, nyatanya pemerintah Afrika selatan tetap bersikukuh dan memenjarakan setiap warga yang membangkang.

Perlawanan tanpa kekerasan yang diajarkan Gandhi dirasa sangat perlu untuk kita telaah bersama kembali. Menimbang situasi sosial dan politik nasional belakangan ini, ajaran Gandhi sangat relevan untuk dijadikan pedoman dasar kita dalam berpikir dan bertindak.

Fenomena rasis dan diskriminasi terhadap Gandhi dan kaumnya di Afrika selatan kala itu tak jauh beda dengan apa yang terjadi di negara kita sejak era orde baru. Sampai sekarang, ras Thionghoa kerap kali mendapatkan nada sinis dari masyarakat asli pribumi. Bahkan, tak jarang kita temui tulisan-tulisan yang menyudutkan ras ini sembari mengunggulkan ras lainnya.

Diskriminasi yang diterima ras Thionghoa bisa jadi merupakan sebuah tindak kekerasan yang belum kita rasa bersama. Upaya K.H.Abdurrahman Wahid, mantan presiden Indonesia untuk menghilangkan diskriminasi ini dengan memberikan porsi hari libur bagi hari raya mereka nyatanya juga belum sepenuhnya mengurangi pandangan sinis kita terhadap mereka. Ras lain yang kerap mendapat perlakuan diskriminatif semacam ini adalah ras-ras Indonesia timur. Lebih parah lagi, terkadang diskriminatif semacam ini juga terjadi dalam tatanan masyarakat satu ras yang bebeda latar belakang sosial dan pendidikannya.

Selain kekerasan psikis semacam diskriminasi tersebut, kekerasan verbal yang merupakan kekerasan non fisik lainnya juga masih menjadi suatu hal yang umum bagi masyarakat kita. Hina-menghina antar golongan, sikap hasud, iri, penggunaan kata kotor untuk menyakiti orang lain dan lain sebagainya kerapkali juga berakhir dengan kekerasan fisik.

Kekerasan fisik sendiripun bukan hal yang langka bagi bangsa kita. Masih menjadi sebuah kenangan pahit, dibunuhnya Salim kancil dan blokade terhadap mahasiswa Papua di Yogyakakarta beberapa saat yang lalu benar-benar mengkhianati sila kedua bangsa yang sudah diamanatkan pada kita; kemanusiaan yang adil dan beradab.

Gandhi dan ajaran anti kekerasannya adalah cambuk bersama bagi kita. Dengan cinta dan kasih sayang yang selalu ia terbarkan, Gandhi pada akhirnya berhasil menggoncangkan dunia. Memang pada akhirnya, hidupnya harus berakhir dengan timah panas yang ditembakkan oleh penganut Hindu lain yang tidak menyukai cara pandangnya. Namun semangat,amanat dan jasa Gandhi akan dan masih kekal dalam hati dan pikiran kita. Mengutip ucapan presiden Amerika Serikat -Barack Obama-dalam Gulf News, ia berkata "Saya sadar, bahwa saya tidak mungkin berdiri di hadapan anda hari ini sebagai Presiden Amerika Serikat, jika bukan karena Gandhi dan pesannya yang ia bagi pada Amerika dan juga dunia,"

 

Oleh Munandar Harits Wicaksono

Peraih beasiswa universitas Al-Ahqoff Hadramaut Yaman

Aktif di LPM Asosiasi Mahasiswa Al-Ahqoff Indonesia, perhimpunan pelajar indonesia (PPI) Hadramaut dan perhimpunan pelajar Jawa tengah-Jogja (PPJJ) Yaman.

Ikuti tulisan menarik Cak Mun lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB