x

Sepasang sandal jepit berada di tepian pantai yang dipenuhi ganggang hijau di Qingdao, provinsi Shandong, Cina, Minggu (9/6). REUTERS/China Daily

Iklan

Tauchid Komara Yuda

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ada Sandal di Kampus

Banyak perguruan tinggi diluar sana telah memikirkan bagaimana mengekspansi ilmu pengetahuan di level global, disini kita masih berkutat pada urusan sandal

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Tauchid Komara Yuda

Apa yang terlintas dalam benak pembaca ketika melihat judul artikel ini? Yang jelas, judul ini terlintas begitu saja dalam pikiran saya sewaktu berada di ruang seminar salah satu kampus. Diantara sekian banyak peserta, hanya saya yang saat itu mengenakan sandal jepit. Sekali lagi, sandal jepit.

Tak jauh dari tempat itu terpampang tulisan “dilarang memakai sandal” pada bagian atas dinding. Saya jadi semakin minder. Hampir setiap tempat di sini pun memberlakukan hal serupa –termasuk aturan main belajar di ruang kelas. Saya tahu persis aturan itu sudah ada semenjak saya masih ospek. Tapi saya cuma masa bodoh.  Baru sekarang terpikir, apa kaitannya antara memakai sandal atau sepatu terhadap kualitas pendidikan di kampus ya?. Jujur saya belum menemukan jawabannya. Sambil mencari jawabannya, saya ingin kembali mempertanyakan, apakah aturan “dilarang memakai sandal” ini menjadi salah satu faktor yang membuat dunia pendidikan kita terbelakang?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya rasa iya. Kita tidak pernah menyadari sebagian besar masyarakat Indonesia masih hidup sehari-hari dengan bersandal –bukan bersepatu. Sedangkan keberadaan pendidikan tinggi dituntut mampu mengolah ilmu pengetahuan menjadi informasi, untuk kemudian disebarluaskan kepada mereka-mereka yang bersandal itu.

Menariknya, institusi pendidikan tinggi di ‘negeri bersandal’ ini ternyata beramai-ramai membuat aturan dilarang memakai sandal. Sehingga bersepatu seketika menjadi salah satu syarat ketentuan untuk mendapat ilmu pengetahuan di kampus.  Aturan ini menjadi pagar pembatas bagi ilmu pengetahuan keluar dari dalam kampus. Begitupun sebaliknya, orang-orang bersandal diluar sana pun juga terhalang untuk mendapat ilmu pengetahuan dari dalam kampus. Padahal, ilmu pengetahuan merupakan barang publik yang harus diakses oleh setiap orang tanpa terkecuali. Inilah gap yang nyata antara dunia kampus dan kehidupan sehari-hari.

Jika ilmu pengetahuan hanya berkembang dan terakumulasi pada segelintir orang, sudah barang tentu situasi ini akan rentan terhadap adanya politisasi ilmu pengetahuan. Bentuk politisasi ini identik dilakukan dengan menggunakan ilmu pengetahuan untuk memupuk keuntungan pribadi, akan tetapi merugikan orang lain. Contohnya seperti kasus tipu-tipu yang marak terjadi belakangan. Mulai dari vaksin palsu, kartu BPJS palsu, beras palsu, uang palsu dan lain-lain. Siapa pelakunya? Sudah pasti mereka yang memiliki pengetahuan atas itu bukan? Mereka inilah yang saya sebut sebagai orang-orang yang memakai sepatu seperti sandal.

Berbeda ceritanya ketika ilmu pengetahuan terhilirasi pada setiap orang dengan baik. Sudah pasti politisasi ilmu pengetahuan dapat diminimalisir, lantaran setiap orang memiliki bargaining position yang nyaris setara, sehingga praktik pembodohan massal tidak terjadi.

Disatu sisi kita harus mencoba membuka mata. Ketika banyak perguruan tinggi diluar sana telah memikirkan bagaimana cara mengekspansi ilmu pengetahuan di level global, disini kita masih berkutat pada urusan sandal. Kita harus ingat, bangsa yang tangguh hanyalah bangsa yang menjadikan ilmu pengetahuan sebagai sumber daya, bukan sekedar mengandalkan hasil alam, apalagi rakyatnya.

Lulusan Yang Besepatu

Pernah berkunjung ke kantor pelayanan publik? Tahu rasanya dilarang masuk karena aturannya harus bersepatu? Percayalah para pembuat aturan itu minimal sudah pernah mengenyam bangku universitas yang juga pernah memberlakukan aturan dilarang memakai sandal didalam kampus.

Sebagaimana menurut Suseno (1987), alasan satu-satunya (raison de etre) bagi eksistensi negara hanyalah kepentingan umum.  Pelayanan publik merupakan bentuk manifestasi raison de etre yang memiliki fungsi memudahkan urusan warga mendapatkan haknya. Disisi lain, seperti yang saya katakan sebelumnya, mayoritas masyarakat Indonesia itu bersandal. Kalau aturan untuk mendapatkan haknya harus bersepatu, kira-kira mungkinkah pelayanan publik itu mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat?

Logika Pasar

Logika pasar menuntut image first ketimbang fungsi. Universitas menjadi laku karena aturan bersepatu. Hanya dengan begitulah predikat kampus lulusan orang-orang ‘terdidik’ melekat didalamnya. Coba kalau mahasiswanya banyak yang memakai sandal? Pasti jadi nggak laku karena dianggap lulusannya kelak tidak terdidik.

Alasan bersepatu demi kedisiplinan hemat saya itu klise. Pasalnya disiplin itu berasal dari kesadaran, bukan sesuatu yang dibiasakan dengan metode koersif. Karena yang terdidik itu adalah pikirannya, bukan lakunya. Jika pikirannya terdidik, maka lakunya otomatis mengikuti secara sadar. Oleh sebab itu jadikanlah universitas pada fungsinya: mendidik, bukan mendisiplinkan. Disiplin bukan dimulai dari pembiasaan, melainkan karena pendidikan.

Sah-sah saja bagi setiap orang mengatakan bahwa orang-orang yang dianggap “terdidik” itu bersepatu. Tapi jangan lupa, untuk “menjadi terdidik” itu butuh waktu sepanjang hayat.  Akhir kata, bersepatulah dengan sandal.

 

 

Ikuti tulisan menarik Tauchid Komara Yuda lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu