x

Iklan

Yoseph Samuel

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Putusan MK No 20/PUU_XIV/2016 Mementahkan Kasus Jesica?

Bagaimana sebenarnya interpretasi Putusan MK No. 20/PUU_XIV/2016 yang baru-baru ini dikaitkan dengan kasus jessica?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seiring munculnya perdebatan terkait Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU_XIV/2016 (“Putusan MK”), saya mencoba menjabarkan kerangka–kerangka hukum yang mungkin terjadi atas munculnya putusan MK terkait. Harapannya, siapapun yang membaca tulisan ini dapat menerima kenyataan bahwa dalam hukum 1 + 1 tidak selalu menghasilkan angka 2, tetapi dapat pula menghasilkan angka1, 11, bahkan 99. Berikut pemaparannya:

Permohonan Uji Materil yang diajukan Setya Novanto terbatas pada:

  • Pasal 5 Ayat (1), Pasal 5 Ayat (2), dan Pasal 44 Huruf (b)  Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”), yang secara parafrase ketiga Pasal tersebut mengatur adanya alat bukti tambahan berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau Hasil Cetaknya; dan
  • Pasal 26A UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”), yang secara parafrase Pasal tersebut mengatur adanya alat bukti tambahandalam bentuk petunjuk selain yang sudah diatur dalam Pasal 188 ayat (2) Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), yang dapat digunakan secarakhusus dalam pengusutan tindak pidana korupsi.

Atas Permohonan Uji Materil tersebut, MK mengabulkan Permohonan Pemohon sebagian, yaitu Pasal 4, Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 5 Ayat (2), (Pasal 44 Huruf (b) tidak ditafsirkan) UU ITE dan 26A UU Tipikor, dengan menyatakan bahwa seluruh Pasal tersebut bertentangan dengan Undang – Undang Dasar 1945 (“UUD”) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik”  tidak dimaknai sebagai alat bukti yang dikemukakan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya. (Untuk menyingkat kalimat, kata kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya secara bersama–sama dibaca “Para Penegak Hukum”)

Tafsiran/penambahan frasa oleh MK tersebut masih membuka peluang terjadinya multi tafsir terhadap kalimat “…dalam rangka penegakan hukum atas permintaan…”, terutama berkaitan dengan tempus/saat/waktu terjadinya penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya tersebut. Berikut uraian tafsiran–tafsiran berkaitan dengan tempus/saat/waktu yang mungkin terjadi tersebut:

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

(i) Setiap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah apabila dibuat sejak awal oleh Para Penegak Hukum. Dalam Kasus Jessica, artinya CCTV Café Olivier harus sudah dipasang sejak awal (sebelum terjadinya tindak pidana) oleh Para Penegak Hukum, agar CCTV tersebut bisa menjadi alat bukti berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sah dimata hukum. (Sesuai dengan tafsiran Dr. Hotman Paris Hutapea, S.H., M.Hum); atau

Namun dengan menggunakan tafsiran poin (i), bukankah secara tidak langsung akan sangat sulit menjadikan sebuah CCTV sebagai alat bukti? Pada kenyataannya, CCTV yang dipasang oleh Para Penegak Hukum tentu belum bisa menjangkau hingga ke pelosok – pelosok. Pertanyaannya sekarang, bagaimana nasib korban Tindak Pidana, yang secara prosedur perlu memenuhi syarat minimal 2 alat bukti, sangat bergantung hanya pada sebuah rekaman CCTV milik Masyarakat (dalam hal ini Manajemen Cafe Olivier) dan bukan milik Para Penegak Hukum? Kesimpulannya, jika kita tetap menggunakan tafsiran poin (i) dan tidak menafsirkan secara sosiologis (menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat), maka Korban Tindak Pidana seperti contoh diatas akan tetap menjadi korban.

(ii) Setiap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah, artinya tidak harus dibuat sejak awal oleh Para Penegak Hukum (seperti contoh dipoin (i)). Jika Para Penegak Hukum mau menggunakannya sebagai alat bukti, Ybs cukup mengikuti prosedur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berkenaan dengan “menjadikan CCTV sebagai alat bukti (contoh: Apabila Polisi yang melakukan biasanya diawali dengan adanya surat perintah penyitaan atau berita acara penyerahan barang, lebih lengkap diatur dalam Peraturan Kepala Polisi Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti (“PERKAP 10 Tahun 2010”)).

Kedua tafsiran diatas mempunyai akibat hukum yang bertolak belakang. Celah tersebut tentu akan dimanfaatkan oleh masing-masing pihak sesuai dengan situasi dan kondisi yang mereka hadapi saat ini, dimana Penasihat Hukum Jessica tentu akan cenderung menggunakan tafsiran poin i, untuk menyangkal tuntutan Jaksa dan begitupun sebaliknya.

Terlepas dari permasalahan multi tafsirnya penambahan frasa yang dilakukan MK tersebut, kita berandai-andai bahwa tafsiran poin (i) dimasukkan dalam Pledoi (CCTV harus dari awal dipasang oleh Para Penegak Hukum). Apakah sekonyong – konyong dapat diterapkan Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (“Bilamana ada perubahan dalam perundang - undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya”) atas putusan MK tersebut? Tentu masih dapat terjadi perdebatan, apakah ketentuan tersebut dapat diterapkan terhadap perubahan terkait Hukum Acara yang bukan Hukum Materiil? Dalam tahap persidangan yang mana (dakwaan/eksepsi/duplik/pembuktian/pemeriksaan  saksi/pemeriksaan terdakwa/tuntutan/pledoiketentuan tersebut dapat digunakan?

Kerangka – kerangka hukum yang sudah dijabarkan diatas adalah sepersekian dari banyaknya (termasuk yang belum terpikirkan) kerangka–kerangka hukum yang masih dapat digunakan dalam kasus Jessica. Terlepas dari kerangka–kerangka hukum menimbulkan kesan “banyak jalan menuju Roma” karena tidak ada kerangka yang pasti bisa digunakan (tanpa ada perdebatan), sekuat–kuatnya Jaksa memasukkan dasar tuntutan dan sepintar–pintarnya Pengacara menangkal tuntutan Jaksa, keputusan akhir ada di tangan Hakim. Oleh karena itu, maribersama-sama menerima kenyataan bahwa dalam hukum 1 + 1 tidak selalu menghasilkan 2 sembari berharap kelak jalannya persidangan dan putusan kasus Jessica dapat menjadi preseden yang baik bagi semua pihak, khususnya bagi para pengemban profesi hukum.

Demikian tulisan ini saya buat tanpa maksud menyudutkan/memihak pendapat para pihak yang terlibat dalam perdebatan terkait dengan Putusan MK, mempengaruhi pendapat publik atau bahkan turut campur dalam jalannya proses persidangan Jessica. Jelas terlihat bahwa tulisan ini hanya menyajikan kemungkinan–kemungkinan yang dapat terjadi dan bukan menyimpulkan sesuatu. Terima kasih dan Proficiat untuk kita semua.

 

Jakarta, 16 Oktober 2016

Yoseph Samuel, S.H.

Ikuti tulisan menarik Yoseph Samuel lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu