Pecah Belah dan Provokasi ala Helmut Zemo dan Talia Al Ghul

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Belakangan, kita akrab kembali dengan kosakata provokasi dan provokator. Tulisan ini coba menelaah dengan meminjam karakter antagonis, Zemo dan Talia.

Provokasi dan provokator adalah kosakata yang kembali mencuat hari-hari belakangan ini. Sebuah entitas yang misterius, namun publik menunggu siapa di balik kedok itu. Provokator biasanya mengacu pada “aktor intelektual” di balik sebuah peristiwa yang  biasanya bertalian erat dengan kerusakan dan kekacauan. Karena itu, provokator kembali mencuat saat aksi yang rusuh, chaos, dan tidak terkendali. Provokator adalah biang keladi.

Tugas polisi dan aparat hukum untuk mengendus keberadaan mereka. Dalam tulisan ini, menarik untuk melihat pola provokator dari sisi yang lebih populer: tokoh antagonis dalam komik. Mereka adalah Helmut Zemo dari jagat Marvel Cinematic Universe (Semesta Marvel dalam Layar Lebar) dan Talia Al Ghul versi sutradara trilogi Batman, Christopher Nolan. Keduanya adalah “aktor intelektual” atas segala kekacauan di jagat superhero.

Helmut Zemo adalah nama yang tersohor dalam jagat bandit dunia komik Marvel –yang memproduksi Captain America, Ironman, dan Thor. Ketiga tokoh superhero ini adalah anggota dari Avengers bersama dengan karakter lain. Nama Zemo sejajar dengan penjahat Marvel lain seperti Red Skull, Loki, dan Thanos.  Karakter Zemo lahir dari tangan dua kreator legendaris dunia Marvel, Stan Lee dan Jack Kirby. Debut Zemo dalam panel komik dimulai pada Maret 1964.

Dari semua kisah Zemo, menarik untuk menyimak kehadirannya dalam versi sinema. Ia diperankan oleh aktor berkebangsaanJerman, Daniel Brühl.  Sebelumnya, Brühl yang sukses dalam peran sebelumnya sebagai Fredrick Zoller dalam film besutan Quantine Tarantino, Inglarious Basterds (2009), dan pembalap Niki Lauda dalam Rush (2013). Helmut Zemo hadir dalam sekuel Captain America berjudul Civil War yang disutradarai oleh kakak beradik, Anthony dan Joe Russo. Secara garis besar, kisah ini terinspirasi dari novel grafis berjudul sama yang ditulis oleh si jenius Mark Millar, kreator Kick-Ass (Marv—imprint Marvel) dan Red Son Superman (DC Comics).

Zemo, dalam tafsir Russo bersaudara, adalah pembunuh berdarah dingin. Latar belakang intelijen Divisi Scorpio di mIliter Sokovia membuatnya lihai menyamar dan menyusup.  Sokovia sendiri adalah negara yang porak poranda akibat ulah robot cerdas Ultron dan pemimpin Hydra, Baron von Strucker. Zemo memiliki alasan yang kuat untuk memendam benci pada Avengers. Apa alasannya? Ketika kelompok Superhero melawan Ultron, seluruh keluarga Zemo menjadi korban saat Sokovia luluh-lantak.

Dendam itu yang rupanya menggiring Zemo untuk menuntut balas. Rasa cinta bercampur dendam pada Zemo, digambarkan Russo bersaudara, dengan rekaman pembicaraan telepon istri Zemo yang masih disimpannya. Sebuah rekaman tentang keluarga yang menanti Sang Ayah dan Suami pulang ke rumah.  

 

Provokasi dengan Berjarak, Menempel, atau Melebur

Tapi Zemo bukanlah Hydra, sindikat penjahat yang memiliki banyak sumberdaya. Zemo praktis bekerja sendiri, sunyi, telaten, dan sabar, khas intelijen. Ia membongkar transkripsi rahasia yang bisa menjadi kunci kelemahan Avengers. Dipilihlah Bucky Barnes atau Winter Soldier, kelinci percobaan yang menjelma menjadi pembunuh super. Cita-citanya bulat, “Melihat kerajaan jatuh.” Kerajaan yang dimaksud tak lain adalah Avengers.

Zemo sadar, ia tak mungkin berhadapan muka dengan Avengers. Satu-satunya cara adalah menggerogoti kelompok Superhero itu dari dalam. Membuat mereka saling bunuh dan adu jotos. Ia menyeret Bucky atau Winter Soldier sebagai titik panasnya. Memposisikan Bucky sebagai tertuduh atas sejumlah teror dan pembunuhan. Di sisi lain, Steve Rogers atau Captain America tidak yakin jika sahabatnya itu terlibat. Namun, Tony Stark atau Ironman, di kubu yang lain, yakin akan bahaya yang ditimbulkan Bucky jika dibiarkan berkeliaran. Keadaan semakin runyam, karena Avengers dihadapkan pada klausul perjanjian untuk patuh pada pemerintah dan tidak boleh bekerja sendiri.

Zemo telah bekerja efektif. Ia sukses merusak Avengers, setidaknya dua kubu yang bertikai tidak pernah benar-benar berdamai. “Pecah Belah dan Jajahlah” begitu rumus sederhanya. Namun, Zemo melakukan itu dengan menjaga jarak. Ia memantau dari kejauhan sebelum akhirnya memukul dengan keras ketika momentumnya tepat. Bandingkan dengan karakter lain bernama Talia Al Ghul –salah satu karakter penting dalam cerita DC Comics, terutama Batman.

Sosok Talia Al Ghul digambarkan sebagai perempuan penggoda, cantik, dan memiliki kemampuan bela diri yang mumpuni. Ia adalah anak perempuan Rash Al Ghul, mentor sekaligus musuh dari Batman. Adalah sutradara asal Inggris, Christopher Nolan, yang mengangkat kedua karakter penjahat ini ke layar kaca. Bagi kalangan awam, kedua penjahat ini masih kalah tenar dibanding The Joker, Penguin, atau The Riddler. Debut Talia dalam panel komik dimulai pada 1971. Karakter ini diciptakan oleh Dennis O’Neil, Dick Giordano, dan Bob Brown.

Dalam sekuel terakhir berjudul The Dark Knight Rises (2012), sosok Talia diperankan oleh aktris Prancis Marion Cottilard. Marion memenuhi semua syarat menjadi Talia; bermata tajam, seksi, dan cerdas bertutur. Namun, seperti ciri khas film Nolan, identitas Talia tak terungkap hingga akhir cerita. Ia menutup rapat-rapat identitas sesungguhnya sebagai anak Rash Al Ghul. Talia memakai nama Miranda Tate, pengusaha perempuan sukses.

Berbeda dengan Helmut Zemo, Talia bekerja dengan sumberdaya yang besar, baik dari sisi manusia, finansial. hingga fasilitas. Ia memimpin sindikat penjahat lintas negara bernama The League of Shadows. Talia adalah otak, dan ia memilih prajurit tangguh bernama Bane sebagai otot. Kehadiran Bane yang mematahkan tulang punggung dan mental Batman hingga aksinya meluluhlantakkan Gotham, membuat kita yakin bahwa Bane adalah penjahat utama dalam kisah itu. Penonton terkecoh.

The League of Shadows digambarkan sebagai organisasi yang bekerja untuk “memurnikan” masyarakat. Jika sebuah komunitas dirasa sudah sangat rusak dan mustahil untuk diperbaiki, maka jalan yang mereka pilih adalah “bumi hangus”. Liga kejahatan ini dikisahkan memiliki andil dalam pembumihangusan Roma dan huru-hara Konstantinopel. Upaya pertama yang dilakukan oleh Rash, Ayah Talia, untuk memusnahkan Gotham dengan senjata kimia berujung kegagalan. Lalu, Talia mencoba mengulang kembali upaya penghancuran itu dengan lebih rapi. 

Talia, sebagai Miranda, menjadi bagian dari penduduk Gotham. Ia ikut disandera oleh Bane dan pasukannya. Selain itu, Talia berhasil menaklukkan hati Bruce Wayne, yang tak lain adalah sosok di balik topeng Batman.  Seperti halnya Zemo, rasa dendamlah yang menjadi latar semua tindakan bengis Talia. Ayahnya, Rash, mati setelah gagal menghancurkan Gotham. Tapi siapa sangka, perempuan cantik ini adalah otak di balik teror. Talia pula yang memegang pemicu bom atom yang bisa melumatkan kota dalam sekejap mata.  

Apa yang membedakan Zemo dan Talia? Zemo bekerja dari luar. Ia lebih berjarak atau, surveillance, yang memantau dari kejauhan. Seperti yang sudah dijelaskan, Zemo tidak memiliki sumberdaya yang cukup untuk menghancurkan Avengers secara langsung. Ia mengumpulkan kelemahan para superhero lalu strateginya bergeser dengan ‘menempel’ (embedded) untuk menyusup ke tubuh Avengers.

Talia lebih percaya diri dalam hal ini. Ia ‘melebur’ (Immerse) untuk bisa menjalankan aksi terornya. Ia menjadi bagian dari warga Gotham, bahkan bukan warga biasa melainkan pengusaha yang berpengaruh. Kehadirannya sebagai penyebar teror nyaris tak terdeteksi oleh aparat penegak hukum. 

Secara garis besar, teror yang dijalankan oleh Zemo dan Talia tak ubahnya istilah lama era Kolonial: Devide et Impera.

 

Pecah Belah dan Jajahlah

Strategi di atas sudah ada di kepala kita sejak lama. Divide et Impera, dalam ingatan kita melalui buku sejarah dari SD hingga SMA, adalah cara penjajah untuk mengalahkan bangsa Indonesia. Begitulah singkatnya. Kita nyaris hafal di luar kepala soal itu. Namun, benarkah kita memahaminya?

Sejak era VOC, strategi Divide et Impera memang sangat efektif untuk menguasai Nusantara, terutama Jawa, jengkal demi jengkal. Untuk menguasai Mataram, VOC tak perlu mengerahkan armada besar seperti yang dilakukan Sultan Agung. VOC berusaha “berjarak” dari pertikaian internal di tubuh Kesultanan Mataram, terutama konflik panjang sejak meninggalnya Sultan Agung. Justru, pihak yang bertikai waktu itu datang kepada VOC untuk meminta bantuan untuk mengalahkan musuhnya.

Bagi VOC, yang menempatkan wilayah Mataram sebagai bagian penting dari bisnis dan perdagangan mereka, konflik antar elite di Mataram adalah kesempatan untuk bisa mencengkram lebih kuat. Kongsi Dagang Hindia Timur ini tahu benar “tak ada makan siang gratis” untuk menjalin sekutu dengan musuh lamanya itu. VOC pun membuat konsesi-konsesi tertentu sebagai imbalan atas bantuan mereka melawan pemberontak. Konflik yang berkepanjangan itulah yang melahirkan Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Kekuasaan Mataram terbelah antara Pakubuwana III di Surakarta dan Sultan Hamengkubuwono I di Yogyakarta.  

VOC adalah sejatinya “aktor intelektual” dalam keruntuhan Mataram. Diawali dengan rapuhnya tubuh kerajaan itu sendiri akibat ketamakan penguasa, yang berujung pada konflik internal. Kondisi tersebut sangat rentan digerogoti oleh kekuatan lain.  Kongsi dagang ini mengawali campur tangan itu dengan mengamati (surveillance), menempel (embedded), lalu benar-benar melebur (immerse). Semuanya jelas demi eksistensi kepentingan bisnis mereka di kawasan. Singkatnya, demi uang.

Hari-hari belakangan ini, ketika kita mulai bicara provokasi dan provokator, maka apa yang dilakukan Zemo dan Talia adalah pola unik dalam menciptakan teror. Alasannya, mungkin sangat pribadi seperti Zemo yang ditinggal habis orang-orang yang dicintainya, atau Talia karena nilai-nilai yang dianut sindikat yang dipimpinnya. Namun, semua menjadi runyam, jika pola provokasi ini dilakukan oleh sosok The Joker, yang tidak punya alasan apa pun selain melihat kesenangan melihat segala sesuatunya chaos....

Ingatlah kata-kata Sejarawan William Durant, “Peradaban besar tidak ditaklukan dari luar sampai peradaban itu merusak dirinya sendiri dari dalam.”

 

Sumber gambar: Cowboy-Lucas via Deviantart

Bagikan Artikel Ini
img-content
Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Multisemesta Bernama Indonesia

Selasa, 21 Mei 2019 21:24 WIB
img-content

Memaknai Kekalahan dalam Demokrasi

Senin, 20 Mei 2019 14:28 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler