Pegiat literasi dan pekerja penerbitan. Menulis buku-buku referensi pendidikan untuk Penerbit Erlangga sejak 2013.
Ifan, Gufran, dan Masa Depan Film Kita
Sabtu, 15 Maret 2025 07:46 WIB
Penunjukan Ifan Seventeen sebagai orang nomor satu di PFN mengundang polemik. Memutar kembali jejak korporasi itu di tangan Gufran Dwipayana.
***
Suatu hari di Gelora Senayan (sekarang Gelora Bung Karno), pendiri Majalah Tempo, Goenawan Mohamad, sedang berolahraga di awal 80-an. Sebuah kebetulan ia bertemu dengan Gufran Dwipayana, jenderal yang banyak bergelut di dunia media semasa Orde Baru, yang juga sedang berolahraga. Percakapan itu berlangsung. Gufran menyampaikan niat Presiden Suharto yang menginginkan sebuah film tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang diyakininya didalangi PKI. Gufran meminta rekomendasi Goenawan daftar sutradara yang mampu mengerjakan proyek besar tersebut.
Tersebutlah nama Arifin C. Noer. Seperti kita tahu, Arifin mengambil tawaran itu. Film berjudul Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI yang dirilis pada 1984 itu menjadi alat propaganda paling ampuh bagi penguasa saat itu untuk menancapkan sejarah resminya: Suharto adalah pahlawan, PKI adalah penjahat utamanya. Sebuah tontonan wajib bagi pelajar yang ditayang setiap tahunnya di tanggal 30 September malam hingga Orde Baru jatuh pada 1998. Gufran sendiri duduk sebagai produser dalam film itu.
Gufran bukan militer biasa. Saya justru mengenalnya dari karyanya bersama Ramadhan K.H., buku berjudul Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, sebuah autobiografi resmi Presiden Suharto yang terbit pada 1989. Kariernya sebagai tentara memang tidak biasa. Ia lebih banyak aktif pada media, diawali dari Pusat Penerangan Angkatan Darat. Kariernya menanjak menjadi pemimpin redaksi harian Angkatan Bersenjata.
Jika dicermati, nama Gufran tampil di beberapa kredit sejumlah film sebagai produser, seperti Serangan Fadjar (1982) hingga Djakarta 66 (1989). Sekali lagi, film-film itu memiliki satu tarikan napas yang sama: heroisme sekaligus pengkultusan Suharto.
Gufran adalah purnarupa arsitek Orde Baru di ranah kreatif. Namanya melambung ketika menjabat sebagai Direktur Pusat Perfilman Negara (PFN) dari tahun 1978 hingga 1990. Saat menjabat sebagai Direktur Pusat Produksi Film Negara (PPFN) pada 1978 sekaligus Asisten Menteri bidang Media Massa/Dokumentasi Sekretariat Negara inilah, Gufran aktif menghidupkan PPFN dengan berbagai film, yang mayoritas pesanan pemerintah.
Di masa itulah, lahir tayangan yang berjaya pada masanya, meski kita bisa berdebat karena TVRI memonopoli tayangan televisi pada masa itu, sehingga masyarakat tidak memiliki alternatif tontonan lain. Gufran berperan dalam munculnya tayangan anak-anak Si Unyil (1981), Aku Cinta Indonesia (1985), hingga film animasi pertama Indonesia Si Huma (1983). Tayangan-tayangan itu kemudian menjadi corong penting program-program pemerintah. Pesan-pesan "sponsor" terselip dalam cerita, yang, justru menimbulkan kejenuhan penonton di kemudian hari.
Akar Gufran memang lekat dengan Presiden Suharto, terutama bagaimana ia memulai karier militer di Kodam Diponegoro pada 1955. Kodam Diponegoro sendiri menjadi titik penting perjalanan karier militer Presiden Suharto, di mana ia menjabat sebagai pangdam 1957-1959. Pada 1978, Menteri Sudharmono yang mengangkatnya sebagai kepala PFN. Tentu saja, tak ada pertanyaan mengapa Militer aktif bisa masuk ke ruang-ruang terjauh dari barak sekali pun saat itu.
Membaca kembali rekam jejak Gufran menjadi penting sebagai refleksi hari ini. Polemik penunjukkan Riefian Fajarsyah atau Ifan Seventeen sebagai orang nomor satu di Produksi Film Negara (PFN), masih ramai di ruang perbincangan publik. Para pekerja sinema, terutama, mempersoalkan rekam jejak Ifan dalam berkarya. Polemik yang mirip saat Gatot Brajamusti terpilih sebagai ketua PARFI pada 2011-2016. Tentu saja, industri film kita tak melulu bersinggungan dengan PFN, ada pula Kementerian Kebudayaan dan Kementerian Ekonomi Kreatif dan Pariwisata di sana.
Sineas kita sendiri sejatinya sudah membangun jaringannya sendiri secara mandiri tanpa sokongan maksimal pemerintah selama ini. Tanpa PFN pun, mereka sudah mendunia. Namun, kritik yang disuarakan belakangan adalah kepedulian mereka agar ekosistem perfilman tetap sehat dan kompetitif. Mungkin saja itu akumulasi kekecewaan yang simpel: jika negara tidak bisa berbuat banyak dalam menghidupi perfilman nasional, setidaknya jangan membuatnya gaduh.
Di tengah kontroversi itulah, Ifan perlu belajar dari Gufran. Sebagai musisi, Ifan tentu punya modal yang tak begitu berjarak dengan industri perfilman karena kerap bersinggungan. Gufran, seorang brigadir jenderal, meninggalkan jejak panjang dengan karya-karya yang diperbincangkan hingga hari ini. Lalu, Ifan? Ia baru memulai takdirnya sendiri, sambil bernyanyi, "Bersamaku menikmati rasa ini. Berharap semua takkan pernah berakhir."

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Ifan, Gufran, dan Masa Depan Film Kita
Sabtu, 15 Maret 2025 07:46 WIB
Multisemesta Bernama Indonesia
Selasa, 21 Mei 2019 21:24 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler