x
Buta Aksara
Oleh: Napitupulu Na07

Jumat, 17 Juli 2020 09:30 WIB

Solusi Mengatasi, Banjir, Tanah longsor, Rob dan Kekeringan

Pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi, bersama dengan pertambahan penduduk, urbanisasi dan migrasi, berakibat alih fungsi hutan dan RTH secara massif, menjadi perkotaan, daerah industri, sarana transportasi, perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri, perladangan berpindah, tanah gundul dan areal pertambangan minerba & galian C. Kewajiban melestarikan fungsi lingkungan hidup dan pengendalian pemanfaatan sumber daya alam, menjadi tertinggal. Dampak negatif alih fungsi tutupan DAS adalah peningkatan limpasan aliran permukaan, erosi dan tanah longsor di hulu sungai sementara di di hilir sungai terjadi banjir yang menggerus tebing sungai, meluapi dataran banjir yang dihuni rakyat marginal, ditambah banjir pasang laut (Rob) karena pendangkalan muara sungai. Ada 5 prinsip sebagai elemen dasar yang saling terkait dari suatu sistem lingkungan / ekosistem Sumber Daya Alam dan / atau Sumber Daya Air, yang harus kita pahami lebih dahulu, kalau kita ingin mendapatkan solusi yang tepat dan berkelanjutan atas masalah banjir, tanah longsor dan dampak Rob serta kekeringan di Indonesia. Prinsip kesatu, terkait proses siklus hidrologi sebagai sumber air, yaitu hujan yang jatuh di DAS. Prisip kedua terkait dampak geologi, topografi dan tutupan lahan DAS terhadap proses tanah longsor, banjir bandang dan tingginya erosi dan sedimentasi. Prinsip ketiga terkait meningkatnya debit puncak banjir (DPB) 2 sampai 5 kali akibat alih fungsi tutupan DAS dari resapan menjadi non resapan. Prinsip keempat terkait probabilitas banjir dan "debit banjir rencana" pada suatu sungai. Prinsip kelima terkait banjir daerah pesisir yang diperparah oleh Rob karena penurunan tanah akiabat ekstraksi air tanah. Solusi umum, setelah memahami prinsip pertama, sampai kelima dan keterkaitannya ssl., dengan mudah kita bisa memahami dua “inti ” penanganan mitigasi risiko bahaya banjir (MRBB) dan kekeringan yakni: (a) upaya menahan atau meretensi semaksimal mungkin hujan ekstrim tertentu yang turun / jatuh di lahan DAS dengan reboisasi dan penghijauan untuk memperbesar infiltrasi/resapan/perkolasi air ke dalam tanah, lazim disebut upaya non struktural; dan (b) upaya mengatur agar sisa air hujan ekstrim yang menjadi limpasan / aliran permukaan , jelas alur perjalanannya mulai dari hulu elevasi tinggi tertentu mengalir he hilir elevasi lebih rendah sampai muara masuk ke laut secara ‘gravitasi’ atau ‘pompanisasi’ tanpa membanjiri daerah hilir, lazim disebut upaya struktural fisik. Solusi dengan Upaya Struktural Fisik; mengacu pada asal mula atau tempat turun / jatuhnya hujan dan perjalanan air yang akan menyebabkan banjir atau genangan, kita akan mudah memahami bahwa solusi MRBB secara struktural fisik di tiap DAS/Wilayah Sungai (WS), pada umumnya akan terdiri dari 4 (empat) skema penanganan yang terpisah atau berbeda satu sama lain. Dalam tulisan ini diuraikan 4 (empat) skema dimaksud dengan penerapannya untuk Penanganan Banjir Jakarta DAS Ciliwung, DAS Citarum, dll. Solusi Non Struktural. Kunci solusi mengurani DPB di hilir adalah bagaimana meminimalkan limpasan melalui upaya menahan atau meretensi semaksimal mungkin hujan ekstrim tertentu yang turun / jatuh di lahan DAS. Dan hal itu bisa dilakukan dengan dua cara yakni: (i) memperbesar infiltrasi/resapan/perkolasi air ke dalam tanah melalui peningkatan tutupan lahan DAS dengan melakukan reforestasi (reboisasi dan penghijauan) dan rehabilitasi lahan (program Gerhan); dan (ii) menahan /memanen air hujan dalam tandon / tampungan volume tertentu sesuai luas DTA nya, upayanya adalah penerapan prinsip Zero Delta Q. (Bangun Jutaan Tandon Air Hujan - Padat Karya Tunai, untuk Menambah cadangan air kemarau dan Mengurangi banjir, serta Dampak Covid 19 oleh Napitupulu Na07)

Oleh: Napitupulu Na07

Sabtu, 30 Mei 2020 16:45 WIB

Bangun Jutaan Tandon Air Hujan-Padat Karya Tunai, untuk Menambah Cadangan Air Kemarau dan Mengurangi Banjir, serta Dampak Covid 19

Pembangunan yang terlalu mengejar pertumbuhan ekonomi berakibat terjadinya alih fungsi hutan dan ruang terbuka hijau secara masif menjadi: perkotaan, permukiman, areal industri, perkebunan sawit, kawasan pertambangan minerba dan galian C, berbagai sarana transportasi, perladangan berpindah dan lahan gundul kritis terlantar; telah berujung terjadinya banjir-banjir besar di musim hujan,diikuti kekeringan dan kelangkaan air di musim kemarau, serta air kotor / tercemar oleh limbah cair dan sampah yang menyumbat sungai dan drainase sepanjang tahun. Mengatasi masalah ini sekarang pemerintah sedang giat-giatnya membangun banyak bendungan/waduk banjir dan serbaguna bersamaan dengan merehabilitasi hutan dan konservasi lahan (gerhan). Namun upaya gerhan dan bangun waduk-waduk tersebut belum optimal menurunkan debit puncak banjir DPB) yang membesar/meningkat menjadi 5 (lima) kali debit (Q) sebelum alih fungsi tata guna tanah. Untuk mengantisipasi dampak alih fungsi tata guna lahan ini peraturan perundang-undangan terkait Penataan Ruang telah memuat persyaratan prinsip Zero Delta Q (Pertambahan Debit Nol). Tulisan ini menguraikan pentingya menerapkan prinsip Pertambahan Debit Nol ini dengan membuat/membangun jutaan tandon-tandon air hujan di seluruh nusantara; untuk melengkapi dan mengoptilakan upaya yang sedang berjalan tersebut di atas, namun sekaligus dapat menyerap tenaga kerja secara padat karya bagi penduduk yang terdampak pandemi Covid 19.