x

Foto udara kondisi Sungai Hantakan pascabanjir bandang di Desa Alat, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Rabu, 20 Januari 2021. ANTARA/Muhammad Nova

Iklan

Napitupulu Na07

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 2 Agustus 2019

Rabu, 10 Februari 2021 10:42 WIB

Mencegah agar Banjir Besar Tak Terjadi Lagi di Kalimantan Selatan

Sejumlah kawasan di Propinsi Kalimantan Selatan dilanda banjir besar beberapa waktu lalu. Sebab utama adalah strategi pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi melalui ekstraksi dan eksploitasi sumber daya alam. Hal yang sudah dilakukan sejak Orde Baru sampai sekarang. Ditambah masifnya pertambahan penduduk, urbanisasi dan migrasi yang tinggi, akibtanya terjadi alih fungsi hutan. Berikut strategi antisipaosi agar hal itu tak terulang lagi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Propinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) seperti propinsi lainnya di Indonesia, ikut terkena dampak kebijakan pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi. Sebuah kebijakan yang dilakukan  melalui ekstraksi dan eksploitasi sumber daya alam yang intensif sejak awal era Orde Baru hingga era Reformasi sekarang. Diikuti pertambahan penduduk, urbanisasi dan migrasi yang tinggi, telah berakibat alih fungsi hutan DAS secara drastis dan masif menjadi konsesi HPH, kebun sawit, hutan tanaman industri, izin areal tambang minerba & galian C, pertanian kering, permukiman, perkotaan, daerah industri, sarana transportasi dll.

Data KLHK, dari luas DAS Barito 6,2 juta Ha (> lima kali luas DAS Brantas Jatim), yang berada di Kalimantan Selatan 1,8 juta Ha. Untuk DAS Barito di Kalsel proporsi luas areal berhutan hanya 18,2 % dengan 15 %nya hutan alam dan 3,2 % hutan tanaman; sedangkan proporsi luas areal tidak berhutan adalah 81,8 % didominasi pertanian lahan kering campur semak 28,94 %, semak / belukar 15,5 %, perkebunan sawit 13 %, dan sawah 17,8 %. Apabila dikurangi sawah maka lahan tak berhutan yang berarti indeks kualitas tutupan lahan (IKTL) rendah/buruk adalah 81,8 % - 17,8 % = 74 %.

Dengan keadaan lahan DAS Barito 74% adalah lahan tidak berhutan, yaitu IKTL buruk (asumsi IKTL Kalteng sama dengan di Kalsel); pada curah hujan ekstrim tanggal 10–14 Januari 2021 telah memicu terjadinya bencana banjir besar, tanah longsor diikuti banjir bandang di anak sungai Barito bagian tengah yaitu sungai Negara dan anak-anak sungainya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di bagian hilir sungai Barito dan sungai Martapura meluap melebihi kapasitas alirnya, dibarengi hujan setempat berakibat banjir besar melanda Kota Banjarmasin, Kabupaten Banjar, Kabupaten Tanah Laut, dan Kota Banjarbaru yang bertopografi datar daerah rendah delta. Dengan lama genangan lebih dari satu pekan. Terdapat 11 Kabupaten/Kota yang terdampak bencana banjir besar di Kalsel.

Adakah jalan keluar dari bencana lingkungan akibat kerusakan sumber daya alam tersebut? Kita perlu mengurai secara teoritis, bagaimana proses terjadinya debit banjir/air tinggi dan air rendah/kKekeringan serta dampak pasang saut/rob di lahan rendah daerah delta, dalam kondisi IKTL sekarang, serta topografi, geologi, sifat tanah dan ratusan lubang bekas tambang batu bara .

Berikut adalah 7 (tujuh) prinsip dasar teoritis yang saling terkait yang perlu dipahami dan diterapkan di DAS Barito lintas propinsi Kalteng dan Kalsel untuk menemukan solusi strategis jangka panjang yang tepat.

(1) Memahami, proses pembentukan debit aliran S. Barito sebagai bagian dari siklus hidrologi (air) di bumi. Hujan yang turun/jatuh di lahan DAS hulu dan tengah Barito, sebagian kecil menguap dan ter-evapotranpirasi oleh tanaman yang ada, lalu sebagian meresap menjadi aliran sub permukaan yang menjadi mata air, sebagian lagi berinfiltrasi masuk ke dalam cadangan air tanah (CAT).

Itulah bagian dari hujan yang tertahan atau diretensi (makin besar makin baik), sisanya melimpas / mengalir di permukaan tanah (runoff) sambil menggerus tanah, membentuk alur stream, menjadi anak sungai (tributary - al. S. Julai, S. Balangan, S. Batang Alai, S. Barabai, S. Amandit, dan S. Tapin yang bermuara di S. Negara, S. Alalak, dan S. Martapura) berikut larutan lumpur, limbah, kemudian menjadi sungai utama Barito, mengalir cepat ke hilir masuk dataran rendah / delta mengalir lambat sehingga sedimen mengendap dan mendangkalkan (agradasi) muara S. Barito sambil air masuk ke laut.

Selain banjir besar di anak-anak sungai Negara (bagian tengah S. Barito), bencana banjir terparah terjadi pada bagian hilir S. Barito dan S. Martapura di dataran rendah kota Banjarmasin, Kabupaten Banjar, Kabupaten Tanah Laut, dan kota Banjarbaru; dalam kondisi kemiringan memanjang dasar sungai yang kecil memberi kecepatan air kecil / lambat sehingga membutuhkan lebar dan kedamalan air sungai yang lebih besar.

(2) Memahami, dampak kualitas tutupan lahan DAS Barito (74 % Luas DAS adalah tutupan perkebunan sawit, HTI, areal tambang, pertanian kering dan semak/belukar) terhadap besarnya limpasan permukaan dan debit aliran sungai. Perubahan IKTL, dan kemiringan lahan DAS, amat sensitif terhadap naik dan turunnya debit aliran atau kuantitas air; sesuai fenomena alamiah sub sistem hubungan antara: ‘Hujan’, ‘Kondisi DAS (IKTL)’, dan ‘Aliran’ di suatu sungai yaitu Debit puncak banjir (DPB - Qmaks), debit kemarau (Qmin), dsb. Rumusnya Q (DPB) = C.I.A dimana A luas DAS, C koefisien debit tergantung kapasitas resapan/retensi yaitu kondisi lahan DAS, sedangkan I = intensitas hujan per jam.

Dengan A dan I yang sama, tetapi coefisien C berubah dari misalnya semula 0,11 – 0,15 (ruang terbuka hijau / hutan) meningkat ke 0, 45 - 0,60 (perkebunan sawit, pertanian kering dan areal tambang) maka DPB akan naik dari awalnya Q menjadi 3Q – 4Q (tiga atau empat kali debit sebelum alih fungsi).

Keadaan peningkatan debit inilah yang terjadi pada sub-sub DAS di Kalimantan Tengah hulu S. Barito dan di Kalimantan Selatan bagian tengah dan hilir S. Barito.

Andaikan ada pengamatan debit banjir sewaktu puncaknya tanggal 14 Januari 2021, pastilah Debit Puncak Banjir (DPB) di S. Barito hilir dan S. Martapura melebihi kapasitas alirnya (passing capacity) sehingga terjadi luapan (overtopping) banjir. Idealnya apabila terjadi banjir, seyogianya kita bisa menghitung besarnya debit yang terjadi lewat pengamatan ketinggian muka air banjir dengan Hidrograf AWLR dan Lengkung debit (rating curve) yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

Dengan diketahuinya debit banjir yang terjadi misalnya 10.000 m3/det, dikaitkan dengan analisis banjir yang sudah dibuat sebelumnya (waktu penyusunan Pola atau Recana Pengelolaan SDA Wilayah Sungai) kita bisa mengatakan Debit Banjir yang terjadi adalah Periode ulang 50 tahun misalnya, ini terkait kemungkinan terjadinya banjir yaitu prinsip (7) di bawah.

Terkait debit sungai pada musim kemarau kita perlu paham, bahwa sumber air satu-satunya di DAS Barito adalah hanya hujan yang turun selama musim hujan, dan apabila hujan tersebut tidak dapat ditahan atau diretensi secara memadai (dengan IKTL yang baik atau upaya memanen hujan dan simpan air), maka begitu musim hujan berlalu dan masuk musim kemarau yang terjadi adalah kekeringan, dan apabila itu terkait Elnino, terjadilah kekeringan ekstrim yang memicu bencana Karhutla seperti tahun 2019 di daerah Martapura.

Hal ini mengisyaratkan penanganan banjir dan kekeringan harus satu kesatuan yang terpadu. Dokumen Pola Pengelolaan SDA WS Barito 2018 menganalisis: Debit minimum S. Barito Water Distric (WD) 21 dengan keandalan (dependability) 80 % = 56,87 m3/det; keandalan 95 % = 33,60 m3/det. Debit minimum S. Martapura, WD 27 keandalan 80 % = 1,38 m3/det; keandalan 95 % = 0,775 m3/det.

(3) Memahami, respon kondisi topografi, geologi, sifat tanah dan kualitas tutupan lahan DAS Barito dan sub-sub DAS nya, terhadap curah hujan. Ada dua dampak negatip: (i) Di pegunungan dengan topografi terjal yang terbuka dan tanah labil, terjadi tanah longsor yang menyumbat alur membentuk pembendungan (alam) yang kemudian jebol menyebabkan banjir bandang (lihat butir (4) berikut), terjadi di Sub-sub DAS Barito bagian hulu dan tengah.

(ii) Terjadi erosi tanah / lahan yang tinggi/besar yang masuk ke semua anak sungai kemudian ke S. Barito, sebagai angkutan sedimen yang mendangkalkan muara sungai S. Barito. Sama halnya untuk S. Martapura angkutan sedimen yang besar berasal dari erosi tanah sub-sub DAS Riam Kiwa dan DAS Riam Kanan (areal pertambangan batu bara) yang mendangkalkan muara S. Martapura di kota Banjarmasin setelah melintasi kabupaten Banjar.

(4) Memahami “hukum gravitasi dalam aliran air”, yaitu air akan mengalir karena ada beda tinggi (head – gaya tarik bumi) berupa kemiringan memanjang dasar sungai atau saluran. Pada beda tingi yang besar di DAS hulu dan tengah Barito terjadi aliran super kritis yang mampu menggerus dasar sungai bersama longsoran tanah dan berbagai jenis material lumpur, batu, kayu hanyut dengan cepat dan mendadak disebut banjir bandang (flash flood - lihat butir (3) di atas).

Pada daerah hilir apalagi daerah delta di saluran drainase agar air mengalir dari ketinggian tertentu ke yang lebih tinggi untuk dibuang ke sungai atau langsung ke laut pasti memerlukan pompa air. Dengan demikian apabila kita ingin genangan di Kota Banjarmasin, Kabupaten Banjar, Kabupaten Tanah Laut, dan Kota Banjarbaru bisa cepat surut, satu-satunya cara adalah dengan memasang pompa-pompa air dan/atau pintu-pintu klep.

(5) Memahami bahwa selain banjir dari hulu sungai, juga ada banjir dari pasang laut (air tinggi - Rob). Di daerah pesisir pantai dengan elevasi muka tanah yang lebih rendah terhadap muka laut kita menghadapi masalah banjir / genangan oleh hujan yang jatuh / turun di DTA / kawasan rendah setempat. Parah atau tingginya genangan bisa bertambah karena pengaruh air pasang laut (banjir Rob) yang bebas masuk. Semakin rendah elevasi permukaan tanah semakin besar dampak negatip pasang laut (Rob).

Untuk posisi geografis Kota Banjarmasin, Kaupaten Banjar, dan Kota Banjarbaru yang berada di utara Kabupaten Tanah Laut (tidak langsung pessisir laut) menerima dampak pasang laut via S. Bariro. Apabila kita ingin Kota Banjarmasin, Kabupaten Banjar, dan Kota Banjarbaru terlebih KabupatenTanah Laut bebas dari pengaruh banjir pasang laut (Rob) maka satu-satunya jalan adalah memutus hubungannya dengan laut dengan memasang pintu-pintu klep dan atau pompa-pompa air pada ujung-ujung saluran-saluran drainase utama. (lihat butir empat (4) di atas).

(6) Dampak Pemanasan Global / Perubahan Iklim terhadap curah hujan dan naiknya muka laut. Pemanasan global yang berasal dari emisi gas rumah kaca (CO2 hasil pembakaran bahan bakar fosil, karhutla, dsb); meyebabkan terjadinya pencairan gunung es di kutup utara dan selatan yang berujung naiknya muka air laut yang berarti dampak Rob akan meningkat.

Mengenai dampak pemanasan global terhadap siklus hidrologi adalah perubahan pola hujan, yaitu di daerah tertentu ada peningkatan curah hujan, di daerah lain pengurangan hujan. Bisa terjadi iklim ekstrim berupa badai, hujan lebat dan gelombang panas akan lebih intensif berupa siklon tropis dan fenomena Lanina.

Pengamatan BMKG menunjukkan bahwa cuaca ekstrim / hujan ekstrim telah memicu banjir besar Kalimantan Selatan (bencana hidrometeorologi) dengan curah hujan tanggal 10 – 14 Januari 2012 sebesar: 116 mm, 75 mm, 51 mm, 157 mm dan 36 mm. Apabila tersedia data seri yag cukup panjang misalnya di atas 10 tahun, maka dapat dibuat analisis frekuensi, hasilnya mungkin besaran hujan yang terjadi ini adalah PU 20 tahun.

(7) Memahami, Konsep Probabilitas Banjir dan Ketersediaan Air. Dari butir (2) di atas kita paham untuk suatu DAS tetentu, DPB = Q (B) = fungsi C.I.A. Di mana I = Intensitas curah hujan yang bersifat serba mungkin. Ini berarti untuk harga C dan A tertentu maka Q (B) juga bersifat serba mungkin. Rumusnya T = 1 / P(B) , di mana T adalah Periode Ulang (PU) atau Kala Ulang satuannya 5, 10, 20, 50, 100 untuk bendung, 1000 untuk bendungan, paling aman adalah untuk tanggul laut di Negeri Belanda PU 10.000 tahun. P(B) = Probabilitas atau kemungkinan terjadinya banjir (B), satuannya pecahan atau persen.

Dalam Dokumen Pola Pengelolaan SDA WS Barito, tercatat hasil analisis Besaran Debit Banjir dengan beberapa periode ulang sbb. Periode ulang 5 tahun, 10 tahun, 20 tahun, 50 tahun berturut-turut = 6.100 m3/det, 7.100 m3/det, 8.000 m3/det, 10.000 m3/det. Dengan PU = 10 tahun berarti P(B) = 1/10 = 10 persen (%) chance atau kemungkinan debit banjir 7.100 m3 / det akan disamai atau dilampawi.

Para pemangku kepentingan perlu memahami bahwa pencegahan / pengendalian banjir yang bisa aman terhadap semua besaran banjir adalah ilusi, karena DPB yang terjadi bisa saja lebih besar dari debit rencana (Q dengan PU tertentu yang dipilih). Kenyataan yang terjadi di S. Barito, debit rencana Q 10 = 7.100 m3 / detik, telah dilampawi dengan banjir baru - baru ini, yang lebih besar dari Q 10.

Lebih jauh juga, amat penting dilakukan sosialisasi kepada masyarakat dan dunia usaha yang berada di dataran banjir. Mereka harus diingatkan bahwa pengertian bebas banjir hanyalah untuk besaran debit banjir rencana PU tertentu, dan kemungkinan banjir lebih besar dari itu bisa saja terjadi, karena itu kesiapan dan ketangguhan mereka menghadapi risiko bencana banjir harus terus dibina.

Solusi: Ada Tiga (3) Upaya Berbeda, untuk Mitigasi Risiko Banjir dan Kekeringan, sebagai simpulan dari pemahaman ketujuh (7) prinsip dasar yang saling terkait tersebut di atas.

(a) Pertama, adalah upaya menahan atau meretensi semaksimal mungkin “hujan ekstrim PU tertentu” yang turun / jatuh di lahan DAS dengan upaya reboisasi dan penghijauan (rehabilitasi hutan dan lahan) serta Panen hujan & Tandon air setempat, keduanya lazim disebut upaya non struktural. Ini adalah simpulan dari prinsip (1), (2), (3), (6) dan (7) di atas.

(b) Kedua, adalah upaya mengatur agar sisa air “hujan ekstrim PU tertentu” yang menjadi limpasan / aliran permukaan, menjadi stream, anak sungai (tributary) dan sungai utama (river) dengan Debit Puncak Banjir = Q = Banjir Rencana PU tertentu; jelas alur perjalanannya mulai dari hulu elevasi tinggi tertentu mengalir he hilir elevasi lebih rendah sampai muara masuk ke laut secara “gravitasi’ untuk sungai DAS besar” atau secara “pompanisasi untuk DAS kecil / pendek”; tanpa membanjiri dan atau menggenangi daerah hilir yang dilewati, lazim disebut upaya struktural fisik. Ini adalah simpulan dari prinsip (1), (2), (3), (4), (5), (6) dan (7) di atas.

(c) Ketiga, adalah upaya pembuangan air berlebih yang berasal dari “hujan ekstrim lokal / setempat PU tertentu” yang jatuh / turun di dataran rendah daerah delta tertentu, melalui jaringan drainase yang outlet-nya dialirkan ke laut dengan pintu-pintu klep atau dengan pompa-pompa air dengan “kapasitas debit rencana PU tertentu”. Jaringan Drainase termasuk kategori upaya struktural fisik, ini adalah simpulan prinsip (4), (5), (6) dan (7).

A. Mitigasi Risiko Banjir dari hulu sungai dan Rob, dengan Upaya Sruktural Fisik untuk DAS Barito.

A.1. Pengaturan Banjir / air tinggi di S. Barito, untuk Debit Banjir Rencana PU tertentu.

(i) Di hulu sungai S. Barito bisa dibangun bendungan / waduk peredam banjir dan penyimpan air, untuk mengurangi besaran debit banjir. (ii) Di bagian hilir perlu: (a) normalisasi alur S. Barito dengan pengerukan (dredging), (b) membangun tanggul / turap, untuk meningkatkan kapasitas debit banjir rencana S. Barito.

A.2. Pengaturan Banjir / air tinggi di anak S. Barito yaitu S. Negara dan anak-anak sungainya untuk Debit Rencana PU tertentu.

(i) Di anak S. Negara yaitu di S. Tapin bisa dibangun Bendungan/waduk peredam banjir Tapin. (ii) Di S. Negara bisa dibangun tampungan kolam sebagai retensi mengurangi puncak banjir. (iii) Di anak S. Negara yaitu: (a) S. Balangan di kota Paringin bangun tanggul dan jaringan drainase kota Kab. Balangan; (b) S. Batang Alai bangun tanggul, di Kab. Hulu Sungai Tengah; (c) S. Amandit bangun tanggul dan drainase Kandangan.

A.3. Pengaturan Banjir / air tinggi di S. Martapura untuk Debit Banjir Rencan PU tertentu.

(i) Di hulu S. Martapura jika ada lokasi bangun waduk peredam banjir. Dari dokumen Pola Pengelolaan SDA WS Barito, diidentifikasi lokasi rencana waduk di S. Mangkauk Bendungan / waduk Riam Kiwa. (b) Bendungan / Waduk eksisting di S. Riam Kanan. (ii) Di bagian hilir: (a) Normalisasi alur S. Maratapura dengan pengerukan, (b membangun tanggul / turap untuk meningkatkan kapasita banjir rencana S. Martapura.

A.4. Pengaturan Drainase Kota Banjarmasin, Kabupaten Banjar, Kabupaten Tanah Laut, dan Kota Banjarbaru;

Upaya struktural mitigasi risiko banjir, adalah untuk mencegah luapan S. Martapura (butir A.3 di atas) dan luapan S. Barito (butir A.1 di atas) pada Kab. Banjar, Kota Banjarbaru dan Kota Banjarmasin selesai / terpenuhi untuk tingkat keamanan PU tertentu terhadap debit banjir dari hulu, (-solusi (b) kedua di atas).

Persoalan yang belum dibahas adalah mencegah banjir atau genangan air yang berasal dari curah hujan ekstrim local/setempat, untuk itu jawabannya adalah membangun Jaringan Drainase “ Secara Kompartemen”, guna membuang air berlebih, (-solusi (c) ketiga di atas).

Pengaturan system drainase untuk Kota Banjarmasin, Kabupaten Banjar, Kabupaten Tanah Laut dan Kota Banjarbaru sebaiknya satu kesatuan dengan menetapkan S. Martapura sebagai batas Kompartemen Besar. Kawasan sisi kanan atau sebelah utara S. Martapura kita sebut Kompartemen Besar A (singkatan Atas). Kawasan sisi kiri atau sebelah selatan S. Martapura kita sebut Kompatemen Besar B (singkatan Bawah).

A.4.1. Drainase Kompartemen Besar A. Kompartemen Besar A, adalah kawasan sebelah utara atau sisi kanan S. Matapura, sampai sisi kiri S. Alalak di sebelah utara. Kompartemen besar A ini, dapat dbagi lagi jadi sub kompartemen A1, A2, dan A3 sesuai topografi, adanya pembatas Jalan A. Yani – Jl Trans Kalimantan, bisa juga batas kota Banjarmasin ke Kabupaten Banjar dan jaringan drainase eksisting.

(a) Kopatemen A1, dibatasi sebelah selatan adalah sisi kanan S. Martapura; sebelah barat adalah sisi kiri S. Barito; sebelah utara adalah sisi kiri S. Alalak; sebelah timur adalah Jl. A Yani – Jl Trans Kalimantan. Semua saluran drainase yang selama ini terbuka atau berhubungan langsung dengan S. Martapura, S. Barito, S. Alalak dan gorong-gorong/ jembatan di Jl. A Yani harus di tutup sehingga kompatemen menjadi serupa polder tidak terpengaruh banjir dari hulu sungai.

Tergantung kondisi topografi Kompartemen A1, dari jaringan drainase yang ada dipilih yang menjadi saluran drainase utama yang dapat membuang air ke S. Matapura atau ke s. Barito dengan pembuangan lewat bangunan pintu klep dan atau stasion pompa air.

(b) Kopartemen A2, dibatasi sebelah selatan adalah sisi kanan S. Martapura; sebelah barat Jl. A. Yani – Jn. Trans Kalimantan; sebelah utara adalah sisi kiri S. Alalak; sebelah timur perbatasan Kota Banjarmasin dan Kabupaten Banjar. Kompartemen A2 juga serupa polder tanpa pengaruh dari luar. Solusi Drainase utama dan pembuangan bisa dengan bangunan pintu klep atau stasion pompa air di sudetan S. Martapura – S Alalak.

(c) Kompatemen A3, dibatasi sebelah selatan adalah sisi kanan S. Martapura; sebelah barat adalah perbatasan Kota Banjarmasin dan Kabupaten Banjar; sebelah utara adalah sisi kiri S. Alalak; sebelah timur adalah Jl. Akses ke Jl. Trans Kalimantan. Solusi Drainase utama dan pembuangan ke S. Matapura kemungkinan cukup dengan Pintu-pintu Klep.

A.3.2. Drainase Kompartemen B. Dapat dilakukan dengan membagi lagi menjadi kompateen B1, B2, B3, B4. Sesuai kebutuhan dikaitkan dengan topografi, adanya pembatas Jl A. Yani, dan Jalan lainnya serta jaringan drainase (sungai alam) yang ada mungkin diperlukan Drainase utama yang lebar / bisa pelayaran yang bermuara di S. Barito.

Tentunya semua upaya structural fisik tersebut di atas memerlukan kajian dan desain rinci yang memperlihatkan kelayakan teknis, ekonomi, dan lingkungan.

B. Mitigasi Banjir dan Kekeringan dengan Upaya Non Struktural mencakup:

(i) Pelaksanaan program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) DAS, mencakup: (a) Lahan kemiringan < 40 % dan (b) Tanah pegunungan kemiringan terjal > 40 % mutlak dilakukan pemulihan hutan lindung permanen, disertai upaya pencegahan erosi dan tanah longsor dengan bioengineering untuk stabilisasi lereng, perkuatan tebing dan jalan air, serta bangunan terjun pada alur drainase alami.

(ii) Penerapan prinsip Zero Delta Q atau Pertambahan Debit Nol, on top dari program Gerhan yang dampaknya terhadap pengurangan DPB perlu waktu 5 tahun.

Mengingat penting dan mendasarnya perubahan debit aliran akibat perubahan tata guna lahan terkait pembangunan sejak awal diterbitkannya UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang diikuti PP tata Ruang Nasional dan semua Rencana Detail Tata Ruang Provinsi, Kabupaten dan Kawasan Khusus telah tercantum persyaratan prinsip Zero Delta Q.

Artinya setiap pemilik tanah (perorangan), perkantoran, kompleks pendidikan & pelatihan dan atau pengembang (badan hukum): perumahan, areal industri, pusat perdagangan, bandara, perkebunan, HTI, dan kawasan pertambangan harus betul-betul bertanggung jawab membuat / membangun sarana panen / tampungan / tandon air hujan untuk menjaga agar debit aliran yang keluar dari kawasannya tetap sama seperti sebelum ada pengembangan lokasi atau alih fungsi lahannya (tidak memperbesar DPB).

Untuk semua lahan kawasan DAS tengah dan hilir yaitu: kota Banjarmasin, Kabupaten Banjr, Kabupaten Tanah Laut, Kota Banjarbaru, dan Kabupaten Barito hilir, terlebih kawasan pesisir / pantai, selama musim hujan para pemilik atau pengelola lahan DAS, wajib melakukan upaya panen hujan dan sekaligus menampungnya dalam tandon-tandon air.

Adanya tampungan panen hujan bermanfaat ganda, di satu pihak kejadian banjir di bagian hilir dapat dicegah, tetapi di pihak lain air yang ditahan/ditandon dapat sebagai cadangan untuk digunakan kemudian atau diresapkan ke dalam tanah (melalui sumur resapan dan bio pori).

(iii) Moratorium / penyetopan izin konsesi hutan produksi dan HTI baru, izin kebon kelapa sawit baru di DAS hulu dan tengah, serta tambang batubara. Lahan terjal pada kawasan hutan Kalsel harus dijadikan hutan lindung permanen. SEKIAN, semoga bermanfaat.

Ikuti tulisan menarik Napitupulu Na07 lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu