Lupa kata sandi Tempo ID anda?
Belum memiliki akun? Daftar di sini
Sudah mendaftar? Masuk di sini
Dia masih mendambakan keluarga yang lengkap untuk sekadar bercanda gurau. Apa yang harus dikatakan? Sedangkan perempuan sudah tak berenergi untuk menceritakan semua hal yang berhubungan dengan lelaki sial itu. Dan bagi perempuan itu, semua kalimat adalah luka dan menyakitkan bagi buah hatinya.
Kamu lelaki baik, sungguh. Kita berkenalan cukup lama mengenal satu sama lainnya. Entah, sejak kapan rasa ini tumbuh dan berkembang, sedari dulu aku selalu mem-bordier rasa ini kepada siapapun, tapi rasa cinta dan kasih ternyata jatuh untuk mu. Tapi, apakah aku menyesali, oh sungguh tidak. Tatkala rasa itu tumbuh, aku sudah pesimis dan tak mungkin bersemai. Dan kisah kita memang berakhir titik.
Kita memang sering menyambut bulan Agustus dengan penuh semangat yang membara hingga berapi-api. Tak ada muka murung adanya tawa yang mengelegar. Namun, pasca itu banyak orang yang terjebak pada rutinitas yang melelahkan. Sedangkan, tak ada ajaran bagaimana kebahagian itu menjadi hal yang terus menurus terjadi. Kemerdekaan pun hanya sebatas perayaan, setelah itu tak ada nilai perayaan yang sesungguhnya. Dan September ini, jadi perayaan yang teramat sulit bagi kami.
“Perkawinan itu rumit. Kalau kamu tak kuat mending tak usah kawin. Tapi, jika kamu sudah memilih itu, baiklah ciptakan semerbak bunga sedap malam agar baunya dapat menenangkan hidupmu itu. Kalau tak bisa? Baiknya jeda perjalanmu terlebih dahulu sampai pada tahap itu”
Budaya ibarat dua mata pada sebuah koin, kadang mendatangkan baik, kadang sebaliknya. Masih saja ada tradisi menikahkan anak perempuan di usia muda, hanya karena takut cap sosial sebagai perawan tua.
“Perempuan yang mencari cinta itu, tak mungkin kembali, bagaimana bercinta dia saja sudah kehilangan cinta sedari kecil”
“Bukankah rumah adalah tempat berteduh yang paling nyaman, lalu mengapa kamu berlari? Mencari tempat yang paling rindang dibanding rumahmu sendiri?”
Apa hakikhat kuliah? Apa hakikat hidup? Jika semua menghamba kepada uang itu? Lantas, kami tak punya kuasa tentang itu. Tentang hidup yang memaksa kita melakoni apa yang dikatakan publik.
Sebuah cerita yang mengambarkan bahwa perempuan masih dalam dibayang-bayang sistem patriarkal. Tak menemukan kebebasan utama dalam memaknai tubuhnya. Namun, dalam artikel ini dibingkai engan cerita fiksi (cerpen) Kisah amel seorang perempuan berumur 23 tahun, ketika pulang merantau dicerca berbagai pertanyaan yang sinsitif yang ternormalisasi oleh budaya patriarkal