x

ilustr: Art Ranked Discovery Engine

Iklan

Miri pariyas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 November 2021

Senin, 8 Agustus 2022 07:01 WIB

Perempuan Memilih Takdir

“Perkawinan itu rumit. Kalau kamu tak kuat mending tak usah kawin. Tapi, jika kamu sudah memilih itu, baiklah ciptakan semerbak bunga sedap malam agar baunya dapat menenangkan hidupmu itu. Kalau tak bisa? Baiknya jeda perjalanmu terlebih dahulu sampai pada tahap itu”

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aku memang tak mengenal secara detail perempuan itu. Perempuan yang setiap harinya memakai hijab menutupi rambut panjangnya. Dia terlihat amat cantik, belum lagi tai lalat di bawah bibirnya, menambah aura kecantikan saja. Kata orang dia pribadi yang mandiri nan pintar. Tidak hanya itu caranya berbicara saja, sudah mengambarkan kepribadiannya.

Aku kaget bukan main, tatkala membuka FB berandaku dipenuhi ucapan selamat untuk perempuan itu. Beruntung sekali si lelaki, mendapat putri mahkota. Diam-diam, namun pasti gerak-geriknya. Sepahamku dia jarang sekali mengumbar aktivitas di media sosial. Entah, tak seperti perempuan lainnya.

Nampaknya, dia bahagia bersama suami. Tak ada lagi kabar perempuan itu. Trending topiknya hari ini adalah harga cabe makin hari makin mahal, para emak-emak pusing bukan kepayang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi, delapan bulan sejak si perempuan itu kawin, aroma guncang-guncing perkawinanya terdengar sampai desaku. Mugkin itu hanya berita burung saja? Mana mungking perkawinan yang baru berumur jagung sudah ingin bercerai. Apalagi katanya orang-orang, dia sendang mengandung jabang bayi, mana mungkin terjadi.  

Aku tersedak. Tatkala ibu berkata, “Ika itu kasihan baru menikah harus sudah bercerai,” ya ampun ternyata itu bukan berita burung. Bagaimana keadaan perempuan itu? Perempuan yang diagung-agung oleh desa ternyata harus menanggung kepahitan hidup. Bahkan, ibu tiba berdoa “Ibu berdoa kamu mendapat lelaki yang tepat,” semoga diijabah do’a ibu itu.

Dia kembali lagi ke desa dengan membawa bayinya yang masih dalam kandungan. Tuhan mengapa engkau tak begitu adil dengan perempuan itu? Perempuan yang baik tak pernah berneko-neko dalam hidupnya? Bagaimana harus menanggung hidup? Dia jadi single parent, apalagi dia anak tertua dari tiga bersaudara, semua tanggung jawab pastilah ada di pundaknya, oh malang sekali si perempuan itu.

“Ika, itu perempuan cantik dan terpelajar, tapi sayang suaminya meninggalkannya,” terdengar suara emak-emak sedang bergosip di samping rumah. Sesekali juga ada yang membelanya “Sudahlah itu urusan Ika,” tapi mereka tetap saja bergunjing tak henti-hentinya.

Ketika mengajar pun si Ika tetap saja jada bahan gosip. Mereka sungguh aneh, bukannya empati malah jadi makanan sehari-hari. Ah, sial aku hanya mampu kasihan. Aku tau kalau kasihan adalah kebaikan belum sampai. Sesekali aku sengaja melewati rumahnya untuk mengetahui kondisi. Rumah yang tak berpenghuni, seperti menolak kehadiran tamu.

Setelah kejadian itu mulai meredah. Tak sengaja aku bertatapan dengan si Ika. Tubuhnya mengurus, wajahnya pucat, mata dengan tatapan kosong, terbesit bagaimana kondisi anakya? Kami hanya saling tegur berupa senyum.  

Sampai di rumah ibu kata, Ika sudah melahirkan. “Kok, bisa?” tuturku.

“Apanya, kok bisa?”

“Tadi pagi aku bertemu dengannya. Dan tidak ada tanda-tanda melahirkan,”

“Kamu mana tahu soal itu, nak. Kamu saja belum menikah bahkan hamil mana tau tanda-tanda itu.”

Benar kata ibu, mungkin wajah pucat itu salah satu tanda-tandanya. Tapi, sayang dia melahirkan anak prematur dengan gizi yang tak normal. Lagi-lagi, jadi tranding si Ika itu. Ah sial, tetangga itu tak sama sekali kasihan padanya. Aku hanya berpikir. Apakah perempuan-perempuan itu hanya bisa bergosip? Ingin tahu urusan semua orang? Dan bersorak girak akan bencana yang menimpa si Ika. Rasa penasaranku makin menjadi-jadi soal hidupnya. Terpaksa aku ajak ibu tuk berjumpa dengannya dan melihat kondisi si bayinya.

Tatkala tiba di depan pintu, ku lihat si Ika menidurkan bayinya. Tapi, anehnya si Ika menyambut kami dengan senyuman tak ada kesedihan di wajahnya dan mengambil tangan ibu sebagai penghormatan. “Bagimana kondisimu?” kata ibu. Lalu, dia menjawab dengan begitu tenang sambil tersenyum, “Alhamdullilah.”

Dia sangat akrab dengan ibu, baru sadarlah aku. Kami punya hubungan saudara, tapi kenapa ibu tak pernah menceritakan denganku. Ibu memang jarang bercerita soal urusan orang lain. Walaupun sesekali ibu berbicara soal Ika, tapi tak pernah secara detail. Ibu paham sekali seluk beluknya. Aku melihat bagaimana Ika sangat merindu kasih, ibu bahkan tak menyela sedikitpun kata ika. Dia terus berbicara hingga akupun ternyuh dengan semua ceritanya.

“Kuat sekali, perempuan itu,” bisikku dalam hati. Kawinnya karena terpaksa, kawinnya hanya membahagiakan ibunya yang mengkhawatirkan dirinya tak lekas punya suami. Tak ada cinta. Tak ada saling mengerti. Mereka bertemu karena berjodohan. Bahkan membentuk rumah tanggan hanya atas kebohongga hingga Ika harus menanggung itu. Dia memaksa tuk mencintai si lelaki itu, tapi cinta itu tak terbentuk, namun menumbuhkan luka.

Hubunganan meluap kemarahan, dia putuskan tuk mengakhiri janji sucinya. Sedari dulu, suaminya juga tak punya ikhtiar untuk mencintai. Si lelakipun sebulan pasca bercerai tak lagi berstatus duda. Sedangkan, Ika tetaplah berstatusnya janda. Belum lagi suara gemuru tetangga yang silih berganti menghampirinya.

Perempuan yang telah memilih takdirnya, begitu kuat. Perempuan yang gemar menyinyir, sok, dan selalu menstigma si Ika tak tahu bagaimana remuk hatinya. Dia menangis di depan ibu, dan ibu mengelus kepalanya dan berkata sangat lirih sampai-sampai aku tak mendengar suaranya. Barangkali itu yang dinamakan pembicaraan dari hati ke hati hingga membuatnya menangis sejadi-jadinya.

Aku yang tak menjadi dia saja merasakan sakit sesama perempuan. Apalagi, dia! Oh, tuhan Bukankah kawin adalah adalah sunah rasul. Tapi, jika luka yang diproduksi apakah tetap menjadi sunah? Aku tak berani menyimpulkan secara gegabah bab soal kawin ini. Tak ingin. Tapi, kalau buat perempuan harus berduka apa tetap layak buat kawin itu menjadi perintah?

Sepulang dari rumah Ika, ibu berpesan padaku “Kawin itu perintah Tuhan,” sial kenapa ibu merasakan kata-kata hatiku seperti dukun saja. Tapi, kata orang denyut jantung anak akan pasti dirasakan oleh ibu. “Tapi, ibu” sahutku. Tiba-tiba ibu memotong “Cerita Ika itu adalah ketidaksiapan ika untuk menjalankan itu, kalau kamu sudah siap, barulah kamu menjalankan hubungan itu,”  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Miri pariyas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler