x

Iklan

Luthfi Ersa Fadillah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Guru dan Masa Depan Ilmu Pengetahuan

Esensi utama guru adalah seorang akademisi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Selama ini identitas sosial guru sering diposisikan hanya sebatas seorang moralis. Artinya, guru adalah orang yang dipercaya oleh banyak orang tua untuk membimbing akhlak dan sikap agar lebih baik. Pemerintah pun demikian, secara tak langsung memposisikan guru hanya sebagai objek dari setiap kebijakan struktural semata. Tak jarang pula para aktivis pendidikan menempatkan posisi praktis guru sebagai seorang penggerak perubahan. Ketiga cara pandang itu seringkali mengaburkan esensi utama bahwa seorang guru adalah seorang akademisi.

Konstruksi identitas sosial guru yang terkesan enigmatik itu pada akhirnya justru mempersulit guru menjalankan tugas utamanya sebagai pembimbing akademis dari para peserta didik. Khususnya pada tingkat sekolah menengah atas (SMA). Di SMA sudah terdapat spesialisasi pembelajaran peminatan baik ilmu alam maupun ilmu sosial. Peran guru menjadi penting untuk membantu siswa berkenalan dan berpikir sesuai nalar khas dari masing-masing bidang ilmu tersebut.

Sayangnya, sulit sekali menuju tahap itu. Bukan hanya persepsi tentang identitas guru tetapi juga kurikulum paketan yang sudah ditentukan secara top-down. Kita bisa melihatnya dari beragam bab yang ada di buku paket. Guru hanya akan mengajar sesuai rute yang telah ditentukan. Tidak seperti dosen yang masih diberikan keleluasaan yang lebih fleksibel untuk mengkreasikan materi ajarnya. Hal ini cukup menyiratkan bahwa guru masih belum sepenuhnya dipercaya sebagai seorang akademisi mandiri yang cukup kompeten di bidangnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jumlah materi bab yang cukup banyak (dan lebih banyak hafalan) dengan waktu satu semester yang tak seberapa lama terkadang memaksa guru untuk sekedar mengejar materi yang belum selesai saja. Akhirnya, ruang kelas terkesan menjadi tempat untuk bercocok tanam pengetahuan yang berujung masuk kuping kiri keluar kuping kanan seorang peserta didik.

Repetisi aktivitas struktural setiap tahun itu semakin mengubur peranan suatu disiplin ilmu untuk menciptakan sirkulasi pemikiran yang substansial di dalam kelas, baik oleh guru maupun siswa. Yang cukup mengkhawatirkan efeknya adalah terjadi pengkelasan atas disiplin ilmu. Banyak sekali anggapan pragmatis di benak peserta didik bahwa suatu disiplin ilmu lebih penting dari ilmu lainnya.

Pengalaman saya sebagai guru bidang studi sosiologi di SMA membuktikan hal tersebut. Saya banyak menemukan fakta cara pandang murid terhadap arti penting disiplin ilmu masih sangat terbatas didasari pada keuntungan-keuntungan yang didapat ketika dipelajari. Semisal, “saya kuliah akan lebih memilih masuk jurusan ekonomi supaya saya nantinya bisa gampang dapat kerja”. Bahkan yang lebih mengagetkan lagi adalah “saya lebih memilih jurusan IPA supaya ketika memilih jurusan kuliah lebih mudah dan bisa masuk apa saja”.

Kita bisa lihat bersama-sama bahwa bukan percakapan ilmiah yang coba diperbincangkan tetapi justru keuntungan futuristik dari sebuah aktivitas belajar. Belajar menjadi aktivitas teknis tentang segala hal yang bersifat penting atau tidak penting. Bila hal ini sampai benar-benar terjadi maka seorang guru akan benar-benar telak gagal mengajar.

Adapun pandangan bahwa belajar haruslah menghasilkan suatu karya yang nyata, bukan hanya teori semata. Belajar harus memperbanyak kegiatan praktik aplikatif yang produknya bisa dilihat atau menginspirasi guru lain. Pikiran itu bagus memang, hanya anggapan bahwa teori kemudian tidak menghasilkan apa-apa jelas bukan pernyataan yang bijak. Bila hal ini dipakai di seluruh mata pelajaran maka yang akan terjadi adalah guru hanya mengajarkan hal-hal praktis tanpa bisa memastikan murid dapat berpikir secara kritis dan esensial tentang apa yang sebenarnya sedang dipelajari.

Untuk keluar dari jeratan dikotomi moral dan struktural terkait eksistensi guru, kiranya perlu sebuah perspektif baru untuk menyadarkan bahwa peran guru juga penting bagi perkembangan disiplin ilmu yang diajarnya di kelas. Poin utamanya jelas mengajak murid tidak sekedar belajar tetapi terlibat aktif dalam kerja akademis dan memiliki etika seorang intelektual. Pertanyaannya, bagaimana cara melakukannya?

Hal paling mendasar adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis untuk ditanyakan. Baik oleh guru maupun murid. Tentang segala hal yang menyangkut kedirian masing-masing. Jujur saja, ini bukan langkah yang mudah karena sebagian besar murid dan guru tidak terbiasa untuk mengajukan pertanyaan kritis nan menggelitik di kelas. Biasanya guru-guru yang terlampau pragmatis akan langsung menghindari aktivitas ini dan lebih baik mencari kegiatan yang lebih “nyata” dan “bermanfaat” ketimbang melibatkan aktivitas berpikir yang berdasar pada analisis keilmuan yang komprehensif.

Joe L. Kincheloe sudah sejak lama menawarkan suatu gagasan bahwa guru dapat menjadi seorang peneliti dalam bukunya Teachers as Researchers pada tahun 2002 lalu. Baginya, perubahan sosial dapat dilakukan bila guru dapat mendorong terciptanya komunitas think thank di dalam kelas yang mengkolaborasikan pemikiran antara murid dan guru dalam suatu kegiatan penelitian. Bahkan, guru pun akan selalu dapat memulai mempertanyakan dan melakukan penelitiannya sendiri tentang segala sesuatu yang dapat mengekang ruang gerak dan kreativitas pembelajarannya di kelas.

Di dalam kelas, meskipun saya tahu persis ketika saya mengajar materi yang sudah terberi, tetap ada celah untuk mempertanyakan sesuatu. Contohnya, saya terbiasa memberikan tugas tulisan dengan pertanyaan yang berbeda di setiap bab dengan memberikan pertanyaan yang mungkin saja untuk seumuran mereka atau masyarakat pada umumnya sederhana dan bahkan dianggap tidak penting. Saya ambil contoh, bagaimana pandangan murid tentang persaingan di dalam sekolah, bagaimana significant others mempengaruhi proses sosialisasi diri mereka sendiri, dan tugas paling terakhir adalah pandangan mereka tentang pro-kontra hukuman mati di Indonesia. Bagi saya, pemikiran seorang murid sangat unik dan itu adalah data penting untuk penelitian saya.

Boleh dibilang, meski masih banyak yang memberikan jawaban-jawaban umum dan terkendala teknik penulisan tetapi kemajuan berpikir kritis beberapa dari mereka lambat laun semakin terasah dan tajam. Ini tentu merupakan sinyal yang bagus. Terlebih, di semester selanjutnya murid saya di kelas X akan bertemu dengan aktivitas penelitian sosial yang cukup intens di kelas saya. Pada titik itu saya melihat adanya harapan untuk menciptakan ruang akademis yang nyata.

Guru memang harus belajar untuk menyuarakan ketidakadilan, kesejahteraan finansialnya, guru juga memang perlu belajar dari murid dan guru lainnya tetapi, sekali lagi, hal penting yang tak boleh dilupakan adalah guru perlu mengembangkan kapasitas intelektual demi kemajuan disiplin ilmu itu sendiri.

Apa artinya proses pembelajaran yang selalu menyuarakan rasa kemanusiaan dan kemerdekaan tanpa mempercayai pentingnya peran disiplin ilmu pengetahuan?

Ikuti tulisan menarik Luthfi Ersa Fadillah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu