Saya guru, guru honorer lebih tepatnya. Eits, tapi tetap saja, guru ya guru kan? Tenang, saya tak sedang berniat membicarakan menyoal gaji guru honorer. Alhamdulillah, gaji saya cukup untuk saat ini meskipun bukan mengajar di sekolah swasta. Saya tergolong beruntung bisa bekerja di sekolah negeri yang mampu mengelola keuangan untuk membayar gaji pegawai honorernya dengan cukup baik.
Nah, berbicara di hari pendidikan sebetulnya isinya hanya akan selalu mengarah ke dua fokus utama saja setiap tahunnya: problem & harapan.
Kita biasanya akan menyimak kedua hal tersebut dari kaca mata setingkat Mas Menteri atau ahli-ahli atau pengamat pendidikan di luar sana. Namun, jarang kita lihat entah itu tulisan atau bincang-bincang edukasi yang melibatkan guru, atau bahkan murid.
Oleh karenanya, kali ini, adalah suatu kehormatan bagi saya yang masih guru honorer ini untuk ikut bersuara sedikit dari hasil pengalaman mengajar di ruang kelas.
Membicarakan problem pendidikan, menurut hemat saya yang terbaik ialah melihatnya dari ruang kelas di sekolah. Mengapa? Karena sesungguhnya ruang kelas adalah ruang titipan.
Titipan dari idealnya sistem pendidikan nasional kita. Titipan dari ide-ide Mas Menteri dan menteri-menteri pendidikan sebelumnya. Titipan dari hasil rapat UU pendidikan oleh pejabat negara. Titipan dari cuap-cuap keinginan komunitas aktivis atau penggerak pendidikan. Titipan tipe ideal dari ahli-ahli teori pendidikan. Dan tentu, titipan asa dari orang tua.
Masalahnya, merealisasikan semua titipan itu hanya satu kata: susah!
Apakah itu adalah keluhan? Bukan. Itu adalah fakta.
Saya akan memulainya dari yang saya hadapi di ruang kelas.
Selanjutnya: Guru dan murid saling berkejaran
Ikuti tulisan menarik Luthfi Ersa Fadillah lainnya di sini.