x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Einstein Mendukung Gerakan Kemerdekaan Indonesia

Riwayat Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Perhimpunan Indonesia Sampai Dengan Lahirnya Sumpah Pemuda

Penulis: Drs. Sudiyo

Tahun Terbit: 1990 (Cetakan kedua)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit:Rineka Cipta                                                                                                  

Tebal: xii + 157

ISBN: 979-518-001-0

 

Perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya terjadi di dalam negeri, melainkan juga terjadi di luar negeri, khususnya di Negeri Belanda. Para pemuda yang sedang menempuh studi di Negeri Belanda ini membentuk sebuah perhimpunan yang kemudian sangat berperan dalam menyuarakan kepentingan rakyat Indonesia di dunia internasional. Buku kecil yang berjudul “Perhimpunan Indonesia Sampai dengan Lahirnya Sumpah Pemuda” ini menceritakan perjuangan perhimpunan para pemuda di Negeri Belanda khususnya dan di negara-negara Eropa lainnya sampai dengan lahirnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Perhimpunan Indonesia yang pada mulanya bernama Indische Vereeniging berdiri pada tahun 1908. Organisasi ini mula-mula tidak bergerak di bidang politik (hal. 25). Namun kemudian di era Ahmad Subardjo, Arnold Mononutu dan Mohammad Hatta, organisasi ini sangat aktif secara politik memperjuangkan kepentingan Indonesia sebagai sebuah negara di kancah internasional. Perubahan perjuangan Perhimpunan Indonesia dari non politik menjadi politik seiring dengan pergerakan nasional di tanah air.

Pergerakan Nasional dipicu oleh tiga hal. Pertama adalah akibat dari tekanan penindasan yang semakin kencang dari penjajah, kedua adalah karena rasa senasip sepenanggungan rakyat yang berada dalam jajahan Belanda dan ketiga adalah masuknya sistem pendidikan barat ke Hindia Belanda (hal. 8). Ketiga hal tersebut memicu munculnya organisasi-organisasi masa seperti Boedi Oetomo. Di lain pihak muncul juga orang-orang kritis yang menyuarakan persamaan hak, seperti R. A. Kartini. Bukan itu saja, kesadaran akan pentingnya kemerdekaan muncul gerakan politik dengan berdirinya Indische Partij.

Di Negeri Belanda, para pemuda yang sedang menempuh studi mendirikan Indische Vereeniging sebagai sarana untuk memajukan kepentingan bersama-sama dari ‘Indiers’ di negeri Belanda (hal. 22).  Para pemuda ini bertemu dengan tokoh-tokoh Indische Partij yang diasingkan ke Belanda. Meski di tanah air Sarekat Islam, Partai Komunis dan Indische Partij sudah bergerak secara politik, namun gerakan mereka masih belum secara politik. Mereka menggunakan gerakan Boedi Oetomo yang belum bergerak secara politik sebagai barometer (hal. 32).

Baru pada era Ahmad Subarjo, gerakan Indische Vereeniging ini mulai menyentuh jalan politik.  Ahmad Subarjo mengusulkan perubahan nama perhimpunan para mahasiswa di negeri Belanda ini menjadi Indonesische Vereeniging pada tahun 1922 (hal. 39). Perubahan nama disetujui saat kepemimpinan dr. Sutomo.

Dalam sebuah rapat yang diadakan oleh “Association des slaves de l’academic du droit international de la haye” Arnold Mononutu mengusulkan supaya Indonesia diwakili secara terpisah dari Belanda. Usulan ini mengundang perdebatan yang besar dan akhirnya berhasil menempatkan wakil dalam organisasi ini (hal. 43-45). Upaya untuk membangun nasionalisme yang terpisah dengan Belanda ini tidak berjalan mulus, karena ada beberapa anggota Indonesische Vereeniging yang pro Belanda. Salah satunya adalah Noto Soeroto. Perbedaan pendapat ini berujung kepada dikeluarkannya Noto Soeroto dari keanggotaan Indonesiche Vereeniging.

Pada tanggal 8 Februari 1925, nama Indonesiche Vereeniging diubah menjadi Perhimpunan Indonesia. Pada era kepemimpinan Sukiman Wirjosandjojo ini disepakati untuk membuat identitas Indonesia. Para anggota perhimpunan mengenakan peci sebagai identitas nasional Indonesia. Mereka juga menetapkan lambang berupa bendera merah putih dengan gambar kepala kerbau di tengahnya (hal. 57).

Pada era kepemimpinan Mohammad Hatta, Perhimpunan Indonesia semakin aktif dalam memperjuangkan nasionalisme Indonesia di dunia internasional. Pidato Hatta di “Congres democratique international pour la paix” mendapat sambutan yang luar biasa. Perjuangan dilanjutkan di konggres “Liga anti-imperialisme dan penindasan colonial di Belgia pada tanggal 10-15 Februari 1927 (hal. 63). Konggres ini bahkan memutuskan untuk membentuk organisasi baru yang bernama “Liga anti-imperialisme, anti-penindasan colonial dan pro kemerdekaan nasional.”  Liga ini memilih Albert Einstein sebagai Ketua Kehormatan dan Hatta sebagai anggota (hal. 65). Liga ini mengirim Komisi untuk menyelidiki sebab-sebab pemberontakan komunis di Indonesia.

Gencarnya promosi nasionalisme Indonesia yang dilakukan oleh Perhimpunan Indonesia membuat Belanda turun tangan. Belanda menggunakan pertemuan rahasia antara Hatta dengan Semaun (tokoh PKI yang melarikan diri dari Hindia Belanda) dijadikan alasan untuk menahan beberapa tokoh perhimpunan. Padahal gerakan Perhimpunan Indonesia beraliran nasionalis, sementara Semaun sangat taat kepada Stalin yang lebih memperjuangkan kominisme internasional. Mohammad Hatta, Ali Sastroamidjojo, Abdul Majid Djojoadiningrat dan Nazir Pamuncak ditangkap. Selain itu, di Hindia Belanda, Belanda melarang orangtua para mahasiswa untuk mengirim uang kepada anak-anaknya yang sedang sekolah di Belanda. Akibatnya banyak mahasiswa yang mengalami kesulitan hidup, bahkan untuk makan sekalipun (hal. 68). Tekanan ini tidak meruntuhkan semangat Perhimpunan Indonesia. Mereka malah saling membantu dan lebih sering bertemu karena kebanyakan mereka tinggal dalam satu rumah.

Jadi jelaslah peran utama dari Perhimpunan Indonesia dalam kancah pergerakan nasional. Perhimpunan Indonesia telah mempelopori gerakan politik dari gerakan sosial budaya yang dilakukan oleh banyak organisasi yang tumbuh di tanah air (hal. 91).

Para anggota Perhimpunan Indonesia yang bercita-cita untuk mendirikan partai politik dan telah pulang ke tanah air, bertemu dengan Sukarno yang juga melakukan gerakan nasional secara politis. Mereka kemudian bersama Sukarno mendirikan Perhimpunan Nasional Indonesia yang akhirnya menjadi Partai Nasional Indonesia pada tanggal 4 Juli 1927 (hal. 109). Dalam hal ini jelaslah bahwa Perhimpunan Indonesia memiliki andil bagi lahirnya Partai Nasional Indonesia.

Bersama-sama dengan organisasi-organisasi pemuda di tanah air, para anggota Perhimpunan Indonesia yang telah pulang ikut membidani lahirnya Sumpah Pemuda yang dikumandangkan dalam Konggres Pemuda II pada tahun 1928 (hal 117).

Terlihat jelas bahwa faktor pendidikan menjadi sebuah faktor yang penting dalam pergerakan nasional. Masuknya sistem pendidikan barat di Hindia Belanda yang awalnya dimaksudkan untuk mencari tenaga administrasi yang murah telah membuat anak-anak Indonesia menjadi intelektual yang sadar akan kepentingan bangsanya. Para mahasiswa di negeri Belanda ini telah terbuka matanya terhadap perlunya kemerdekaan bagi Indonesia. Perjuangan politiknya telah ikut serta membangkitkan kebersamaan pemuda di tanah air untuk berjuang bersama-sama. 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB