x

Iklan

Subairi Muzakki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menyiasati Pedasnya Harga Cabai

Bagaimana menyiasati fluktuasi harga cabai yang sering tak terkendali

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh Subairi Muzakki

 

Harga cabai terus melambung. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, harga cabai di sejumlah pasar Jakarta saat ini berada di kisaran Rp 70 ribu per kilogram (Kg), di Bengkulu Rp 82 ribu perkilo.  Bahkan,  di Jambi, harganya sudah tembus di angka Rp 120 ribu perkilo.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Harga tersebut sudah jauh melampaui harga acuan yang ditetapkan pemerintah lewat Permendag Nomor 63/M- DAG/PER/09/2016 tentang Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen. Dalam Permendag tersebut, pemerintah menetapkan harga penjulan cabai di tingkat konsumen Rp 28.500. Sementara saat ini, harga di tingkat konsumen di daerah Jambi, harganya sudah setara daging sapi, yaitu Rp 120 ribu.

Tren kenaikan harga ini sebenarnya dipicu oleh faktor klasik, yaitu cuaca. Curah hujan yang tinggi membuat tanaman cabai sensitif. Bunganya rontok dan buahnya kurang. Ditambah, petani enggan melakukan panen karena takut busuk. Dampaknya, suplai cabai terganggu.

 

Faktor Cuaca

Dari tahun ke tahun, penyediaan stok cabai selalu bermasalah dengan faktor cuaca. Sifatnya yang mudah busuk dan tidak tahan lama, membuat cabai tidak bisa disimpan. Akibatnya, semua hasil panen harus langsung disalurkan ke pasar.

Karena itu, di antara komoditas pangan lainnya, stok cabai paling sulit ditata. Sebab, pengaturan stok tidak bisa dilakukan di gudang, seperti beras. Tapi langsung menghitung jumlah tanam dan panen. Di sisi lain, tanaman cabai memiliki ketergantungan yang tinggi pada cuaca. Ia akan tumbuh bagus dalam cuaca cerah berawan, dan sulit dalam cuaca hujan tinggi serta panas terik.

Namun demikian, faktor cuaca ini harus diatasi. Sejak tahun 2015, Kementerian Pertanian menyiasatinya dengan Gerakan Tanaman Cabai Musim Kemarau (GTCMK). Program dengan anggaran Rp 450 M yang dilaksanakan di 47 kabupeten/kota di 33 Provinsi itu memulai masa tanam pada musim panas dan memanennya di musim hujan.

Dengan begitu, cabai mulai ditanam pada bulan Juli, dipanen pada November dan Desember. Pada tahun 2015, program ini cukup berhasil. Tapi untuk tahun ini, program ini dihadapkan pada masalah baru, yaitu tingginya curah hujan yang justru membuat cabai mudah busuk.

Celakanya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi, curah hujan tinggi  itu akan terus meningkat hingga akhir Desember. Karena itu, Kepala Bidang Informasi BMKG Harry Tirto Djatmiko mengatakan, di beberapa daerah, cabai terancam mengalami gagal panen.

Dampaknya, hingga saat ini harga cabai terus melambung. Di tengah bayang-bayang gagal panen yang akan menyebabkan supply cabai terganggu itu, pemerintah dituntut untuk segera mengambil kebijakan pengendalian harga agar tren kenaikan bisa distop dan kembali pada harga acuan.

 

Mengendalikan Harga

Langkah pengendalian harga merupakan wewenang Kementerian Perdagangan. Langkah itu diambil jika harga yang terbentuk di pasar lebih tinggi atau lebih rendah dari titik equilibrium.

McTaggart dan Parkin M (2009) menjelaskan, harga yang bergeser dari titik equilibrium rentan mengarah pada market failure. Karena itulah dibutuhkan kebijakan pengendalian harga.

Saat ini, harga sudah jauh lebih tinggi dari titik equilibrium. Karena itu, Kementerian Perdagangan dituntut untuk segera mengeluarkan langkah pengendalian.

Langkah itu sebagai bentuk intervensi pemerintah untuk melindungi konsumen dan produsen. Dalam kasus cabai, baik konsumen maupun produsen saat ini tidak ada yang diuntungkan. Produsen dihantui gagal panen dan cost produksi yang tinggi akibat cuaca, sedangkan konsumen juga dirugikan dengan tingginya harga.

Dalam kondisi seperti ini, kementerian yang dipimpin Enggartiasto Lukita itu menghadapi dilema. Satu sisi ia harus menekan harga serendah mungkin untuk melindungi konsumen. Tapi di sisi lain, jika itu dilakukan akan berdampak pada turunnya harga jual yang merugikan produsen.

Dalam berbagai kesempatan, Enggartiasto selalu menegaskan, bahwa negara harus hadir di pasar bukan untuk melindungi konsumen atau produsen, tapi melindungi keduanya. Produsen untung dan konsumen tidak rugi.

Mengikuti alur pikiran itu, maka pemerintah harus memastikan cabai dari petani seluruhnya terserap dengan harga layak, dan di saat bersamaan pasar tidak kekurangan stok cabai sehingga konsumen tidak rugi dengan harga yang mahal.

Kordinasi dengan Kementerian Pertanian sangat dibutuhkan untuk mengetahui sebarapa banyak stok cabai yang tersedia. Sebab, jika petani cabai gagal panen, dan stok benar-benar tidak mencukupi, tidak ada pilihan lain bagi Kementerian Perdagangan selain melakukan impor.

Impor cabai juga dilakukan oleh pemerintah sebelumnya. Tapi, tentu saja, importasi harus dibarengi dengan penataan stok cabai secara keseluruhan. Impor dibutuhkan untuk menekan harga akibat krisis supply, sementara penataan stok dibutuhkan untuk memastikan bahwa pasar tidak lagi mengalami kekurangan di masa yang akan datang. Dengan begitu, kita berharap, harga cabai akan kembali pada titik equilibrium.

 

Ikuti tulisan menarik Subairi Muzakki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler