x

Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mengacungkan dua jarinya saat keluar dari ruang sidang setelah menjalani sidang ketiga kasus penistaan agama di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, 27 Desember 2016. REUTERS/Bagus Indahono/Pool

Iklan

Fahmi Saefuddin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Apa Kata Ulama Salaf dan Khalaf Tentang Pemimpin Non-Muslim

Indonesia milik semua penduduknya, menjaga Pancasila dan menghormati Bhinneka Tunggal Ika merupakan bukti kesetiaan terhadap Bangsa dan Negara

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jakarta. Dalam tiga bulan penghujung akhir tahun 2016, penduduknya gemar dikabarkan setiap saat melalui televisi, Koran, dan  media penunjang lainnya tentang gejolak polemik Issu SARA yang menjadi viral dikonsumsi. Pasalnya, Issu ini berkembang biak pasca penetapan pencalonan semua pasangan Cagub-Cawagub, sehingga dengan beredar liarnya berita ini, seakan-akan dijadikan alasan untuk tidak memilih  Cagub-Cawagub Non-Muslim

Indonesia memiliki Pancasila  yang menjadi pedoman dasar Negara, karena dalam ranah agama, negara tidak hanya berafiliasi dengan corak agama tertentu, melainkan di dalamnya ada agama Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Konguchu. Agama yang diakui di Negara ini menjadi simbol sosial kehidupan bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi keberagaman keyakinan di tanah air.  

Dengan beragam perbedaan yang ada, dinamika konflik yang hadir di tengah-tengah masyarakat menjadi viral diperbincangkan di media sosial, sehingga kabar yang beredar mampu dengan cepat memengaruhi cara pandang masyarakat dan menjadi kebenaran. Dengan demikian, semua informasi dianggap sebuah kebenaran, terlebih perjalanan kasus yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok soal Issu SARA.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Akibat tergiring oleh opini publik yang beredar di media sosial berupa informasi-informasi hoax yang belum pasti kebenarannya, sebagian besar umat Muslim mengecam bahwasanya Ahok haram jadi Gubernur. Ada ungkapan lain yang mengatakan Haram hukumnya dipimpim Pemimpin Non Muslim.

Prinsip berbangsa dan bernegara di Indonesia dengan berpegang teguh pada Pancasila seakan-akan telah ternodai oleh pernyataan-pernyataan provokasi tersebut. Padahal banyak dari para jajaran Menteri yang posisinya lebih tinggi dari Gubernur dipilih dari kalangan Non Muslim, dan hal itu tidak dipermasalahka sebesar kasus Gubernur DKI Jakarta.  

Pertanyaannya adalah bagaimana hukum memiliki pemimpin non-Muslim? Dalam hal ini, beberapa ulama yang memiliki otoritas dalam bidang keislaman dalam hal ini berpendapat, antara lain.

Pertama : Sayyid Tantowi dalam Tafsir Al-Wasith, ketika menafsirkan ayat Muwalah di atas, beliau menyebutkan: Al-Muwalah yang dilarang adalah yang mengakibatkan kerugian kaum muslimin dan agama, bukan muwalah atau kerja sama secara umum. ”Muwalaah (dukungan dan pengangkatan atas non muslim) yang dilarang adalah : yang di dalamnya ada unsur tipuan dan penistaan agama, atau mengganggu dan merugikan kaum muslimin, dan mengapus kemaslahatan mereka ” (Tafsir Al-Wasith).

Sehingga, muwalah atau dukungan dengan syarat bermanfaat bagi umat dan agama, tidak termasuk muwalah yang disebutkan dalam ayat di atas.

Kedua: Imam Fakhruddin – Arrozi dalam Tafsir Mafatihul Ghoib, ketika menafsirkan ayat di atas mengungkapkan bahwa : Yang dilarang adalah menjadikan Non Muslim pemimpin mutlak (sendiri) tanpa ada orang beriman di sana. Beliau menyatakan :“Mengapa tidak boleh jika yang dimaksudkan (pelarangan) dalam ayat adalah menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin, artinya : mengangkat mereka tanpa mengangkat orang mungkin. Jika mengangkat non muslim dan pada saat yang sama juga mengangkat orang mukmin bersamanya, maka hal tersebut tidaklah dilarang”.

Ungkapan di atas menunjukkan, sekiranya seorang muslim mengangkat non muslim untuk jabatan tertentu tetapi mereka juga mengangkat orang muslim bersamanya, maka hal itu tidak termasuk yang dilarang dalam ayat. Pada momentum pilkada ini, Ahok mengangkat seorang Muslim yaitu Djarot Saiful Hidayat sebagai Cawagub.

Ketiga: Dr. Yusuf Qardhawi dalam dua bukunya menyebutkan secara spesifik persoalan ini. Dalam kitab Ghoiril muslimin fi mujtamak muslim, beliau mengatakan :

 “dan bagi ahli dzimmah (ada) hak dalam menjabat posisi-posisi dalam negara sebagaimana halnya kaum muslimin, kecuali pada jabatan-jabatan yang lebih dominan unsur keagamannya, seperti: imamah (khilafah), kepala negara, panglima militer, hakim, dan yang mengurusi sedekah, dan yang semacamnya

 Beliau melanjutkan : 

“dan jabatan selain itu (yang disebutkan tadi) yang termasuk jabatan-jabatan dalam sebuah negara, maka boleh disandarkan pada ahlu dzimmah, jika terpenuhi syarat-syaratnya pada diri mereka, seperti: kemampuan, amanah, dan loyal pada negara”.

 Berdasarkan dari beberapa argumentasi yang telah disampaikan di atas, kiranya sudah jelas argumen yang dapat membantu mendorong Ahok untuk melanjutkan dirinya menjadi Cagub dan keterangan singkat diatas bisa merajut kembali modal optimis dan mengembalikan kembali kepercayaan Masyarakat kepada Ahok, serta menentang stigma negatif yang menjalar di tubuh masyarakat DKI Jakarta serta tidak mudah terprovokasi oleh berita-berita yang tidak jelas asal-usulnya.

Ikuti tulisan menarik Fahmi Saefuddin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler