x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jika FPI Menjadi Parpol

Bahwa FPI lebih sering membuat gaduh, oke. Tapi kita perlu menempatkan FPI pada porsinya. Alasan berbagai kekhawatiran sering tidak valid.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Selama sekitar empat bulan terakhir – Oktober 2016 sampai Januari 2017 – minimal terbaca tiga isu utama terkait FPI: FPI sebagai motor penggerak Aksi Bela Islam-I, II dan III; wacana pembubaran FPI melalui serangkaian langkah-langkah kriminalisasi dan adu jotos; dan wacana FPI berubah bentuk menjadi partai politik (Parpol).

Artikel ini akan fokus menyorot plus-minus serta kekhawatiran yang muncul jika FPI menjadi parpol dikaitkan dengan wacana pembubaran FPI, melalui pointers berikut:

Pertama, berdasarkan data basis massa FPI hingga Januari 2017, yang saya miliki, FPI sebenarnya tidak memiliki electoral vote kecuali di beberapa daerah, terutama DKI dan Banten. Artinya, dengan perhitungan electoral vote yang cermat, FPI yang menjadi parpol akan kesulitan meloloskan Calegnya dari satu daerah pemilihan (Dapil). Artinya jika menjadi Parpol, secara politik kepartaian, FPI akan langsung masuk kotak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kedua, Banyak orang yang berasumsi keliru bahwa FPI mampu memobilisasi massa, dan bukti yang dikemukakan adalah Aksi Bela Islam/ABI-I (14 Oktober 2016), ABI-II (411) dan ABI-III (212). Awalnya saya juga berasumsi demikian. Tapi setelah didalami, argumen ini sesungguhnya kurang valid. Bahwa FPI motor ABI melalui GNFP MUI, iya. Tetapi massa ABI bukan semata jamaah FPI. Bahkan beberapa sumber menyebutkan, bagian terbesar dari massa ABI, khususnya ABI 212, justru dari jamaah Muhammadiyah. Dan kita tahu, jamaah Muhammadiyah biasanya secara politik lebih terafiliasi dengan PAN. Dengan kata lain, penyebab utama massifnya massa pada ABI sebenarnya lebih karena faktor isunya: penistaan agama, yang berhasil dimainkan untuk mendapatkan simpati publik.

Ketiga, jika FPI menjadi parpol, justru bisa menguntungkan para penentangnya. Sebab dengan begitu FPI tetap eksis, tapi ruang manuvernya akan semakin terbatas. Karena FPI harus dan terpaksa mengikuti atau setidaknya menyesuaikan diri dengan UU Parpol dan UU Pemilu.

Keempat, tentu bila menjadi parpol, FPI akan relatif keluar dari wacana tuntutan pembubaran. Sebab mekanisme pembubaran Parpol jauh lebih sulit dibanding FPI sebagai Ormas Islam biasa. Artinya, bagi tokoh fungsionaris FPI yang cerdas memahami peta politik massa nasional, akan berkesimpulan bahwa dorongan agar FPI menjadi Parpol sebenarnya adalah “jebakan pergerakan”.

Kelima, let’s say FPI akhirnya benar menjadi Parpol. Tapi tetap saja tidak ada alasan untuk khawatir berlebihan. Berdasarkan data KPU, selama empat kali Pemilu (1999, 2004, 2009 dan 2014), gabungan semua Parpol berbasis agama (PPP, PKB, PAN, PKS, PBB), sebenarnya tidak pernah meraih suara lebih dari sekitar 35 persen pemilih nasional (lihat tabel, ilustrasi artikel). Artinya, kalau FPI menjadi Parpol, dia akan bersaing merebut cerug suara yang 35 persen itu. Pemilih nasionalis dan swing voters nyaris tak tersentuh.

Keenam, karena itu, wacana pembubaran FPI lebih mewakili sikap “putus asa” pengusungnya. Sebab pembubaran sebuah organisasi massa, selain akan mengundang simpati Ormas-ormas lainnya, dan itu berarti memperlebar ruang manuver lawan, juga secara praktis tidak efektif. Sebab jika FPI dibubarkan, para aktivisnya bisa muncul dengan nama lain. Kecuali, kalau mau, dan jangan tanggung-tanggung, keputusan pembubaran FPI dilakukan persis atau lebih detail dibanding keputusan pembubaran PKI, tentu dengan segala konsekuensi politisnya. Wani?

Ketujuh, penahanan Habib Rizieq melalui kasus sungguhan ataupun kriminaliasi, pengalaman membuktikan juga tidak terlalu efektif. Sebab bukan kali ini saja Habib Rizieq diproses hukum dan ditahan. Dia pernah ditahan pada Oktober 2002 dalam kasus perusakan sejumlah tempat hiburan. Kemudian ditahan lagi pada 2008 dalam kasus pemukulan aktivis AKKBB, yang populer dengan kasus “Insiden Monas” 22 September 2008. Dinyatakan tersangka, ditahan, diadili, divonis, setelah itu bebas. Dan ada kecenderungan, setiap kali dibebaskan dari tahanan, ketokohan Habib Rizieq semakin kuat di kalangan simpatisan.

Kedelapan, belakangan malah muncul wacana untuk “menegasikan” Habib Rizieq. Buat saya, ini wacana ngawur, yang gagal paham tentang substansi reformasi dan lebih didorong oleh motivasi emosional serta tidak mengaca pada sejarah. Sebab banyak fakta sejarah yang membuktikan sejumlah organisasi malah semakin solid dan membesar justru setelah pimpinan utamanya “dinegasikan”.

Kesembilan, mengerahkan massa lain untuk “memukul” FPI, bisa saja dibenarkan dengan alasan shock theraphy. Tapi model seperti ini harus dikendalikan betul, mesti didesain dengan napas panjang. Dan banyak bukti menunjukkan FPI memiliki kekenyalan bermain dengan napas panjang. Meski begitu, solusi seperti ini bisa dianggap sangat cerdas, namun hanya sekali selip, akan dicap sebagai solusi yang bodoh.

Syarifuddin Abdullah | 21 Januari 2017 / 23 Rabiul-tsani 1438H

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu