Judul: Wayang Potehi Gudo: Seni Pertunjukan Peranakan Tionghoa di Indonesia
Tahun terbit: 2014
Penulis: Dwi Woro Retno Mastuti
Penerbit: Sinar Harapan dan Indonesia Shangbao
Tebal: xxviii + 145 hal
ISBN: 978-602-95696-8-1
Setiap komunitas selalu memiliki budaya. Budaya tersebut dikembangkan berdasarkan pengalaman hidup mereka dengan alam dan sesamanya. Dan budaya tersebut akan terus berkembang secara dinamis. Budaya akan selalu diperbaharui berdasarkan pengalaman hidup komunitas tersebut. Termasuk apabila komunitas tersebut harus berpindah tempat tinggal. Itulah sebabnya tidak heran apabila sekelompok komunitas yang karena suatu hal harus meninggalkan tempat asalnya masih membawa berbagai budaya yang sudah menjadi bagian dari cara hidup mereka. Contohnya adalah komunitas Tionghoa yang ada di Jawa.
Komunitas Tionghoa yang bermigrasi ke Jawa membawa serta budayanya. Salah satu budaya tersebut adalah seni pertunjukan wayang, yang dikenal dengan nama Wayang Potehi. Awalnya pertunjukan wayang Potehi hanya dilakukan di klenteng-klenteng sebagai bagian dari ritual pemujaan. Komunitas Tionghoa di Jawa melakukan ritual pemujaan kepada para dewa dan arwah leluhur dengan salah satunya pertunjukan wayang. Wayang Potehi menggunakan cerita-cerita kepahlawanan Tiongkok masa lalu. Tiga cerita yang sering dipentaskan adalah cerita tentang Sie Jin Kwi, Sampek Engtai dan Sam Kok.
Supaya pertunjukan wayang Potehi bisa dinikmati oleh masyarakat Jawa, maka pertunjukan wayang Potehi menggunakan Bahasa Indonesia bercampur Bahasa Jawa. Namun demikian untuk suluk masih menggunakan Bahasa Hokian.
Diyakini Wayang Potehi masuk ke Jawa pada tahun 1880-an. Namun sejak tahun 1967, pementasan wayang Potehi menjadi semakin jarang. Khususnya di kota-kota besar, seperti Jakarta, Solo dan Surabaya. ‘Larangan’ pemerintah terhadap budaya Cina menjadikan pagelaran wayang Potehi juga terkena dampak. Syukurlah, di sebuah kota kecamatan di Jawa Timur, tepatnya di Gudo, pementasan wayang Potehi ini masih terus bisa dilestarikan.
Ketika era Gus Dur, budaya Cina diijinkan untuk ditampilkan kembali di muka umum. Sayangnya, jumlah dalang wayang Potehi telah banyak berkurang. Hanya tinggal segelintir orang saja yang masih bisa mendalang Potehi. Itupun rata-rata usianya telah renta. Sedangkan kaum muda peranakan Tionghoa, pada umumnya telah tidak peduli kepada kesenian ini.
Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.