x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bacalah Buku, Hidupkan Kembali Dirimu

Membaca buku bukan sekedar aktivitas berpikir, tapi juga merasa, mentautkan diri kita dengan narasi yang sedang kita baca.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Ketika membaca sebuah buku, fiksi ataupun non-fiksi, sangat mungkin Anda sekaligus berpikir, tapi di saat yang sama apakah Anda juga merasa? Apa yang Anda rasakan ketika membaca sebuah buku? Sedih, prihatin, senang, ataukah terhanyut ke dalam arus narasi?

Sewaktu membaca buku Beautiful Mind, yang ditulis dengan begitu detail dan menyentuh oleh Sylvia Nasar, saya merasa seolah-olah John Nash, matematikawan peraih Nobel, berkisah sendiri tentang hidupnya yang pahit—dikaruniai kejeniusan, tapi sekaligus terperangkap skizoprenia, bahkan hingga akhir hidupnya yang berujung dalam kecelakaan taksi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai narasi, karya Nasar itu membuka diri bagi tautan bukan hanya pikiran tapi juga emosional dengan pembacanya. Ini bukan perkara sentimentil, tapi saya merasakan betapa sukar Nash melepaskan diri dari cengkeraman skizoprenia. Di saat ia sadar, ia tahu bagaimana orang-orang sekitar memandang dirinya. Bertahun-tahun Nash menjalaninya, bahkan hingga ia menerima Hadiah Nobel, ia masih melihat bayang-bayang orang mengikutinya, tapi ia mampu mengabaikan mereka.

Tautan semacam itu sering saya rasakan, Anda mungkin juga merasakan, ketika saya membaca buku-buku yang mengundang minat saya, atau mengajak saya mengeksplorasi gagasan baru, menjelajahi wilayah yang belum pernah saya masuki—dunia di balik lemari yang begitu memukau dalam serial Narnia karya C.S. Lewis.

Tautan itu tidak semata rasional, emosional, tapi juga imajinatif—yang membuat saya merasakan pengalaman baru, yang belum atau bahkan tidak akan pernah saya rasakan di dunia nyata. Saat ikut masuk ke dunia di balik lemari, dalam Narnia, saya merasakan kedinginan yang mencekam, menusuk tulang, dan menumpulkan nalar. Bila saya berada dalam kutukan musim dingin sepanjang tahun, akankah saya mampu melawan penyihir jahat atau saya akan menjadi pelayannya?

Membaca buku, sepanjang pengalaman yang saya petik, bukan hanya menstimulasi pikiran, tapi juga mengusik perasaan. Saya mungkin berpihak kepada yang baik dalam cerita fiksi, umpamanya, tapi juga berusaha mengerti mengapa karakter yang kerap disebut antagonis memilih untuk melakukan tindakan ini dan bukan itu.

Tatkala membaca karya Robert Gellately, Lenin, Stalin, and Hitler: The Age of Social Catastrophe, saya berusaha menyerap seperti apa langit Eropa ketika mereka berkuasa dan bagaimana orang-orang yang ditindas berusaha mempertahankan hidup. Saya lantas teringat kepada Sehari dalam Hidup Ivan Denisovich yang ditulis Alexandr Solzhenitsyn.

Saya membayangkan betapa kaum Yahudi tidak berdaya di hadapan Nazi dan Hitler—kejahatan kemanusiaan yang sukar dimaafkan. Namun, di saat yang sama, terselip pula pikiran mengapa kaum ini melakukan tindakan serupa yang dulu menyengsarakan hidup mereka kepada bangsa lain, kini. Sejarah berulang dengan posisi pelaku yang berubah.

Setiap buku menawarkan pengalaman berbeda. Fiksi maupun non-fiksi. Sepanjang kita banyak membaca beragam buku, pembacaan kita kepada buku tertentu menjadi semakin kaya—banyak hal yang saya serap dari satu buku, lantaran saya menautkannya dengan bacaan lain, juga menautkannya dengan kehidupan sehari-hari: kepahitan, kegembiraan, suka cita, mungkin juga rasa letih dan bosan. Namun membaca buku membuat saya merasa kuat kembali, bangkit kembali, dan hidup kembali. (Foto: Alexandr Solzhenitsyn) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler