x

Sejumlah murid membaca buku pelajaran sebelum mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolahnya di SD Pulo Ulin, Pidie Jaya, Aceh, 10 Desember 2016. TEMPO/Eko Siswono Toyudho

Iklan

Akal Sehat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengkritisi Arah Pendidikan Kita

Pendidikan berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Fenomena perilaku menyimpang seperti bullying, aksi-aksi anarkis, tawuran massal, tindak kriminalitas dan korupsi di negeri ini menunjukkan kelemahan karakter bangsa. Ibarat puncak gunung es berbagai persoalan sosial tersebut secara kuantitatif bisa jadi lebih besar dari yang terungkap. Oleh sebab itu, tidak sedikit kalangan mensinyalir telah terjadi degradasi moral dan merupakan gejala memburuknya akhlak manusia Indonesia. Kondisi tersebut diatas sedikit banyak dapat dipahami sebagai akibat dari keterpurukan kinerja sistem pendidikan nasional.

Pendidikan sebenarnya bagian penting dalam meningkatkan kualitas manusia Indonesia, tapi  secara masif belum bisa menghasilkan sosok anak bangsa berbudi pekerti dan berakhlak luhur. Padahal, di dalam UU Sistem Pendidikan Nasional no. 20 tahun 2003 bab 2 pasal 3 disebutkan bahwa pendidikan berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Pendidikan bertujuan mengembangkan potensi peserta didik, terutamanya, agar menjadi manusia beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Tujuan utuh pendidikan pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) 2003 itu telah dikembangkan menjadi lebih lengkap dari UUSPN tahun sebelumnya (1989, dan 1954).  Namun, keterwujudannya masih jauh dari harapan karena menurut T Raka Joni (2005) praksis di lapangan terpaku pada penerusan informasi yakni berupa kemampuan menghafal. Bahkan, tidak jarang merosot lagi menjadi tidak lebih dari sekedar content transmission (pemberitaan isi buku teks). Padahal, kegiatan menghafal yang sekedar menuntut perolehan pengetahuan masih berada dalam kemampuan berpikir tingkat rendah (low cognitive skills).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selanjutnya, dalam khasanah evaluasi pembelajaran disamping penilaian dalam ranah kognitif terdapat penilaian dalam ranah afektif yang terkait moral, etika dan nilai-nilai luhur manusia. Berdasarkan tujuan utuh pendidikan mestinya kedua aspek ini menjadi kesatuan kemampuan yang dimiliki pebelajar (siswa/ mahasiswa). Apabila kemampuan berpikir kognitif bisa diukur paling tidak melalui berbagai ujian/tes tertulis (paper and pencil test), maka ranah afektif amat khas, tidak cukup diukur melalui tes tertulis semata, karena bersifat tampak (moral action).

Dari sudut ketercapaian tujuan pendidikan terungkap bahwa praksis pembelajaran di sekolah lebih fokus pada ranah kognitif dibandingkan ranah afektif. Para guru, kepala sekolah bahkan pemangku kebijakan pendidikan sama-sama memiliki paradigma yang telah tertanam cukup kuat atas kebanggaan mereka pada prestasi akademik dan kecerdasan kognitif. Daniel Goleman (1995) menempatkan IQ dan atau kecakapan intelektual sebagai representasi dari domain kecerdasan kognitif, sedangkan kecakapan emosional berada dalam ranah afektif.

Setelah melakukan pengamatan cukup lama, Goleman menyimpulkan akar permasalahan dalam sisi kehidupan di rumah tangga, sekolah dan tempat kerja bukan terletak pada IQ (kecakapan intelektual) melainkan akibat ketumpulan emosional. Temuan ini memiliki irisan dengan teori kecerdasan majemuk Howard Gardner (1993, 1999) yang mencetuskan gagasan pembelajaran multi-jalur (multiple ways of knowing) dan juga sejalan dengan teori Inteligensi Triarkik yang berupa sinergitas kemampuan berpikir analitik, sintetik dan praktikal (Robert Sternberg 1985; 1995; dan 2003).

Goleman menyatakan kecakapan emosional (non akademik) menyumbang lebih 80% dalam menentukan tingkat keberhasilan performa (prestasi unjuk kerja) seseorang di rumah tangga, sekolah dan di tempat kerja. Sedangkan kemampuan akademik (intelektual, kognitif) memiliki andil tidak lebih dari 20% saja. Padahal banyak kalangan berpersepsi bahwa sekolah favorit diukur dari kegiatan dan capaian akademik. Semakin tinggi prestasi akademik dianggap semakin bagus sekolah tersebut. Inilah paradigma yang berkembang tidak saja di lingkungan sekolah tetapi terlanjur menjalar ke masyarakat secara luas. Oleh karena itu,  pembelajaran di sekolah cenderung memprioritaskan kemampuan berpikir kognitif dan daya intelektual siswa. Lalu, evaluasi kemampuan belajar siswa hanya dilakukan melalui tes-tes tulis semacam ujian nasional (UN). Padahal, tes tulis sebagai alat ukur ketercapaian belajar bersifat parsial, hanya mengukur ranah kognitif. Itu sebabnya, UN dan tes-tes tulis sejenis cenderung hanya menagih hafalan. Strategi pra-test à post test yang biasa dilakukan guru di sekolah dalam mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran dari setiap pertemuan sesungguhnya masih potongan -potongan informasi berupa hafalan. Buktiketercapaian tujuan dalam rentang waktu satu–dua jam yang diperoleh melalui tes-tes tersebut sangat naif untuk dapat dikatakan memiliki kedalaman makna. Kenyataannya, penilaian capaian belajar siswa di sekolah-sekolah masih belum disusun berdasarkan evaluasi yang lengkap, menyeluruh dan tepat (a proper portfolio performance evaluation).

Goleman dan Gardner sesungguhnya mengelaborasi kecerdasan emosional sebagai kecakapan personal yang mengelola kecakapan intra dan inter-personal seseorang. Penguasaan emosional yang baik dapat membuat seseorang lebih manusiawi dan arif. Individu yang kurang memiliki kendali diri, di antaranya akan melahirkan sikap ketidak-pekaan sosial. Ini berarti terdapat ketumpulan pada kecerdasan emosional, sehingga kecakapan personal orang tersebut menjadi bermasalah.

Kemampuan akademik berada dalam kecerdasan kognitif yang menjunjung daya intelektual dikenal sebagai hard skills, sedangkan kecerdasan emosional atau kecakapan personal dalam ranah afektif itu populer dengan sebutan soft skills. Meskipun kemampuan akademik (hard skills) tetap penting, namun para guru dan kepala sekolah patut menaruh perhatian lebih serius pada pengembangan soft skills di sekolah. Terlebih lagi beberapa hasil penelitian di tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD) dan sekolah dasar (SD) menunjukkan bahwa pendidikan soft skills (SS) yang dilakukan dalam satu periode tertentu akan berkorelasi signifikan pada kualitas kemampuan akademik siswa (Aries Musnandar, 2015). Melalui program pendidikan SSyang terencana, tepat, dan holistik akan mewujudkan kemampuan akademik lebih baik.

Dalam pencapaian unjuk kerja (achieved performance) istilah soft skills lebih sering digunakan ketimbang kecakapan emosional. Padanan diametral makna istilah soft skills adalah hard skills. Keduanya memang saling kontras namun perlu diintegrasikan sedemikian rupa ke dalam mata pelajaran yang diajarkan. (the integration between hard and soft skills across discipline)

Soft skills (SS) tidak semata-mata berwujud kemampuan berkomunikasi secara langsung dengan orang lain, tetapi juga berupa kemampuan menampilkan diri secara maksimal serta memberi kesan positif kepada orang lain yang berinteraksi dengannya.

Penguasaan SS ini paling tidak dapat dilihat dari kepiawaian seseorang berunjuk kerja yang mengandung tiga unsur kecakapan. Pertama, penampilan yang terlihat yakni dari: senantiasa melakukan prakarsa (initiative), berkemauan keras untuk meraih prestasi (achievement drive), dan mudah beradaptasi (adaptability).

Kedua, kecakapan untuk mempengaruhi orang lain (influence), mampu memimpin dan memiliki jiwa kepemimpinan (leadership) serta berkonstelasi pada kekuasaan, yang diperlukan dalam menyelesaikan tugasnya (political awareness).

Ketiga, ciri-ciri dari unsur ini di antaranya memiliki kekuatan empati, menunjukkan rasa percaya diri dan keinginan kuat berbagi pengetahuan, keterampilan, dan sikap positif kepada orang lain (developing others).

Semakin kuat dan utuh tampilan ketiga unsur kecakapan tersebut dimiliki seseorang,semakin besar porsi keberhasilan unjuk kerjanya. Memang tuntutan terhadap penguasaan SS berbeda-beda bergantung pada jenis dan lingkungan pekerjaannya.

Temuan penelitian lain adalah guru yang telah mengikuti program pelatihan SS dan memiliki persepsi benar tentang SS berdampak positif dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran yang dapat meningkatkan prestasi akademik siswa (Aries Musnandar, 2015). Oleh karena itu, saatnya sekolah menerapkan Soft Skilss Based Holistic Education, pendidikan holistik berbasis SS.  

Malang 6 Februari 2017

Aries Musnandar

Peneliti & Pengamat Pendidikan Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim – Malang, Konsultan Manajemen

Ikuti tulisan menarik Akal Sehat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB