Mumammad Pendusta?

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Nabi Muhammad SAW berdakwah dengan hikmah dan lembut. Ia mengajarkan toleransi dan tidak memaksa.

Kota Madinah –di masa pemerintahan Islam Muhammad. Di salah satu sudutnya adalah pasar yang bising. Orang-orang berteriak agar perut dan keluarganya terjaga dari rasa lapar. Di pasar ini, seperti kekuasaan Islam di masa itu, memberikan ruang yang luas bagi keyakinan yang berbeda. Di pasar itu pula segala kedengkian dan prasangka ikut hadir agar bisa disadarkan.

Di pojok pasar itu, syahdan dalam sebuah cerita yang masyhur, selalu duduk seorang pengemis tua Yahudi yang buta dan papa, keras dengan keyakinannya. Ia, membenci Muhammad sebagai mahluk tak berharga. Selain mengemis untuk hidupnya yang tak berdaya, ia membaktikan dirinya untuk mencaci Muhammad, dengan kadar kebencian yang kadang mencemaskan akal sehat dan kesopanan. Ia gemar menyebut Muhammad penyihir dan pendusta.

Tetapi ia adalah orang yang sholeh –pada dasarnya seperti itu. Ia meyakini agamanya tanpa cahaya seperti kebutaan matanya. Kehadiran Muhammad dengan agama baru yang disebarkan, dengan demikian telah menyinggung rasa cintanya terhadap Tuhan yang diyakini. Kecemasannya adalah kepeduliannya terhadap keselamatan manusia. Itu adalah keyakinan. Maka, menyuarakan kedengkian adalah cara agar orang-orang tetap di jalan yang sama dan selamat, demikian persepsinya.

Tetapi ia keliru tentang Muhamad. Kedengkiannya menjadi tak sempurna dan sirna, ketika seorang bernama Abu Bakar memberitahunya, Muhammad adalah orang yang setiap pagi memberinya makan dan minum –bahkan menyuapinya, sementara ia terus mencaci dan mendengkinya. Dan kini Muhammad telah pergi. Karena takjub bercampur kesedihan yang mendalam, ia memutuskan mengganti keyakinannya seperti Muhammad beriman pada Tuhannya.

Kisah itu, lantas mengingatkan kita pada segala kekerasan hari ini. Orang-orang berkumpul untuk mencaci dan mengirim pesan kebencian terhadap keyakinan lain. Orang-orang ini mengira Islam harus keras pada keyakinan lain. Melarang-larang umat lain memabangun tempat ibadah. Al-qur’an menyebutkan seperti itu. Itu dalil yang nyata, hujah mereka.

Tetapi mereka lupa, Muhammad adalah Al-qur’an hidup. Perilakunya bukanlah tafsir yang rentan keliru. Muhammad yang dimuliakan di langit dan bumi itu, terang menjelaskan dengan perilaku toleransi dan manusiawi terhadap sesama umat manusia. Ia hanya penyampai kabar dari Tuhannya, tetapi tak berwenang memaksa manusia mengikutinya. Oleh sebab itu ia tak membenci orang yang membencinya dalam keyakinan.

Muhammad dan para pengikutnya –sama dengan Barrack Obama dan para kaisar yang memiliki kekuasaan politik di dunia, sama berhaknya berkuasa secara politik di dunia ini bila mampu. Namun, semua itu tak membuat harus kehilangan kemanusiaannya, sifat toleransi dan kasih sayang. Kisah pengemis buta Yahudi itu, adalah contohya bagimana seharusnya orang Islam bersikap.

Bila Al-qur’an memerintahkan agar keras terhadap penganut agama lain, tentu Mumamad tidak akan memperlakukan pengemis Yahudi yang buta itu dengan rasa kasih sayang. Itu logika sederhana. Satu hal yang lantas bisa kita pahami di sini; agama adalah logika keyakinan. Ia memberikan kuasa pada kita untuk mengimani keyakinan tanpa harus membenci pada keyakinan lain. Seperti yang tampak dilakukan Muhammad yang dimuliakan langit dan bumi tersebut. Laku Muhammad dengan demikian adalah afirmatif Al-qur’an. Lalu bagaimana anda mengingkarinya?

Bagikan Artikel Ini
img-content
Ranang Aji SP

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Kalimat Pendek dan Panjang dalam Sastra

Selasa, 18 Juli 2023 12:24 WIB
img-content

Setan Rumah B2A

Rabu, 1 Desember 2021 13:40 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler