Setan Rumah B2A

Rabu, 1 Desember 2021 13:40 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setelah hampir putus asa mencari rumah murah yang bisa kusewa, akhirnya seorang pria ramah yang kutemui di halaman rumahnya, menunjukkanku sebuah rumah yang kuinginkan. 

”Rumah itu kosong sudah lebih dari sepuluh tahun,” katanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Kenapa?” Aku bertanya penasaran.

“Tak ada yang betah di sana.”

Aku lihat, rumah itu cukup besar dan layak, meskipun sedikit berantakan.  Bangunan itu cukup tua, dan memiliki beberapa ruang, empat kamar tidur, dua kamar mandi, serta halamannya cukup luas di depan dan belakang. Tepat di halaman depan,  berdiri pohon sawo londo yang besar. Pemiliknya bernama Sugito yang tak pernah terlihat datang untuk mengurusi. Keberadaannya pun tak ada yang tahu di mana. Pria itu bilang semua urusannya sudah dipasrahkan pada Nyonya Harti yang tinggal sekitar seratus meter dari rumah itu. Dia adalah kerabatnya. Jadi, aku menemuinya untuk menyampaikan urusanku.

“Anda serius,” tanya Nyonya Harti seperti tak yakin setelah kusampaikan keinginanku.

“Sepertinya begitu,” jawabku.

Perempuan cukup tua itu cukup lama memandangku seolah wajahku ada sesuatu yang aneh. Tapi kemudian dia menerangkan bahwa rumah itu sudah kosong sejak lima belas tahun lalu. Sebelumnya memang ada beberapa orang yang menyewa, tapi mereka selalu pergi setelah beberapa bulan menempati.

“Tak ada yang mau tinggal bersama hantu,” katanya. Aku hanya tersenyum mendengarnya berkata seperti itu.

“Anda yakin?” 

“Tak ada masalah,” jawabku,”saya yakin.”

“Hmm, baiklah,”katanya pendek. 

Meskipun aku lebih suka sendiri, tapi aku mulai tak peduli bila harus hidup bersama setan di dalam rumah itu, toh, aku sudah terbiasa melihat setan di sepanjang hidupku. Lagipula, aku sudah terlalu lelah mencari-cari tempat tinggal. Ditambah, harganya sangat murah, dan itui adalah alasan utamaku, mengingat kondisi keuanganku. Setelah mendapatkan kunci rumah dari Nyonya Harti, segera saja aku menyiapkan untuk menempatinya.

Rumah itu beralamat di B25, terpencil di antara rumah-rumah warga lainnya. Orang harus melewati jalan pertigaan sebelum menemukan alamatnya, karena salah satu jalurnya berada persis di depan rumah itu. Sebenarnya, di kampung ini tergolong padat, tapi hampir semua jalannya selalu sepi. Rasanya jalur di Facebook atau Instagram, jauh lebih ramai dibanding di sini. Karena begitu senyapnya, aku nyaris tak pernah mendengar suara lain kecuali bunyi serangga dan hatiku. 

Karena aku hidup sendiri, dan tak ada pekerjaan lain, jadi, tak banyak yang aku lakukan di tempat baru ini, kecuali menulis cerita dan melamun. Hingga suatu waktu, di bulan ketiga, suatu malam, setelah aku mencuci piring kotor dan membuat kopi, aku mendengar suara pintu depan diketuk keras. Aku sedikit merasa kaget, karena tiba-tiba ada tamu di rumah baruku. Aku tak punya banyak teman, apalagi yang bersedia berkunjung. Jadi, aku menduga tamu itu pasti pengurus kampung. Namun, mungkin aku terlalu lama menyambut, jadi, ketika aku membukakan pintu, orang itu sudah pergi. Aku mencoba menyusul di jalan untuk memanggil, tapi aku sudah tak menemukan siapa-siapa.

Seminggu kemudian, tepat di waktu yang sama, pintu rumahku kembali diketuk keras. Aku agak sebal kali ini, karena cara mengetuknya seperti orang memalu dinding. Jadi, kubiarkan saja orang itu menunggu lama. Tapi tampaknya orang itu serius bertamu, karena dia terus mengetuk pintu. Akhirnya, aku bediri dan meninggalkan bukuku di atas meja. Ketika aku membuka pintu, kakiku tiba-tiba terasa gemetar. Selama hidupku baru kali ini aku melihat sosok gadis berdiri tepat di mukaku. Wajahnya putih dan halus seperti lilin. Rambutnya hitam dan tebal terurai sepundak. Matanya besar dan bersinar lembut. Usianya mungkin dua puluh lima. Aku begitu gugup hingga tak mampu berpikir dan bicara. Aku hanya berdiri melongo.

“Boleh saya masuk?” suaranya mengagetkanku. Ada desiran angin dingin ketika dia bicara.

“Silakan,” jawabku cepat karena mulai sadar.

Setelah masuk, gadis itu kutinggalkan di kursi tamu, sementara aku buru-buru membuatkannya secangkir kopi. Aku sedikit termangu karena masih merasa gugup. Di saat itu, perasaanku dipenuhi campuran pertanyaan dan kesenangan tertentu karena mendapatkan tamu yang begitu istimewa. Di luar itu, sepertinya aku tak peduli jika dia tak memiliki alasan bertamu di rumahku. Selain cantik, aku juga butuh teman bicara. Selama beberapa menit aku hanya berdiri memikirkan cara untuk menampilkan diri di depannya, sebelum kemudian bergerak untuk menemuinya. Tapi, waktu itu, aku tak lagi melihat gadis itu di ruang tamu.  Aku menduganya dia sedang ada keperluan di luar . Jadi, kuletakkan saja cangkir kopi di atas meja, lalu duduk menunggunya. Tapi setelah beberapa waktu, tamuku itu juga tak kembali. Aku kecewa. Kupikir gadis itu agak tak sopan karena pergi tanpa pamit. 

Anehnya, setelah malam itu, nyaris setiap malam, selama lima hari, pintuku selalu diketuk orang. Awalnya kubukakan pintu setiap terdengar ketukan, tapi setelah tak pernah menemukan siapapun, aku lantas mengabaikannya. Setelah aku mengabaikan suara ketukan itu, lebih dari sebulan aku tak pernah mendengar pintu rumahku diketuk.

Pohon sawo londo itu batangnya besar dan daunnya hijau rimbun melingkar. Teduh jika duduk di bawahnya di siang hari. Cahaya matahari tak mampu menembusnya. Beberapa burung, seperti jenis pipit dan trocokan kulihat juga membuat sangkar di antara ranting-rantingnya. Sepertinya mereka nyaman tinggal di sana. Mungkin mereka merasa itu seperti kawasan mewah di Jakarta. Ketika itu, aku memutuskan membuat bangku tepat di bawahnya untuk duduk santai di luar. Tapi, setelah bangku itu jadi, tepat di malam harinya, tiba-tiba aku melihat sosok wanita duduk di sana. Setelah memastikan siapa sosok itu, aku merasa senang karena mengenalnya. Jadi, aku menghampirinya untuk menyapa. 

“Kau tak takut melihatku?” gadis itu bertanya saat aku di depannya.

“Kamu tidak menakutkan,” jawabku.

“Aku bisa menjadi menakutkan,”  katanya datar.

“Semua orang bisa menjadi menakutkan, “ ujarku, “Tak ada yang aneh.” 

“Semua orang takut tinggal di sini.”


“Aku tidak.”

“Aku tahu.”

“Apakah kamu mengusir mereka?” Aku mencoba bertanya.

“Tidak.”

“Lalu mengapa mereka takut dan pergi?”

“Mereka mencoba mengusirku.”

“Mereka tak mampu ya?”

Gadis itu tertawa, lalu mengatakan bahwa mereka mencoba mengusirnya dengan membaca ayat-ayat suci. Tapi orang-orang itu seperti badut-badut yang membuatnya tertawa. Mereka bahkan pernah membawa pria kaya di ujung di desa yang katanya seorang yang sholeh dan alim. Pria itu datang bersama rombongannya dan membacakan ayat-ayat pengusir setan hingga bibirnya gemetar karena capai.

“Kamu tak takut?” Tanyaku.

“Orang itu yang harusnya takut,” jawabnya, “dia hanya membuatku geli. Orang itu kaya dari korupsi.” Aku tertawa mendenganrnya. Gadis itu menyenangkan menurutku.

Sejak malam itu, aku mulai sering bertemu dengannya untuk bercerita. Aku juga menuliskannya. Rasanya menyenangkan ada teman berbagi. Tak peduli siapa dia. Setidaknya manusia butuh teman bicara untuk saling mengisi. Suatu malam, mahluk cantik itu menemuiku lebih lama dibanding sebelumnya. Dia duduk di bangku dengan punggung yang tegak. Dengan suaranya yang hanya terdengar olehku, dia mengatakan akan membuka sebuah rahasia lama yang tersimpan di rumah ini. Tapi, meskipun dia mengatakan akan membuka rahasia, tapi dia justru memintaku untuk hal lain. 

“Galilah kamar di belakang,” pintanya.

“Kenapa?”

“Gali saja,” tegasnya.

Permintaan itu tidak aku tolak, tapi aku terus menundanya. Aku tak ingin mendapatkan masalah dengan membongkar lantai rumah yang bukan milikku. Aku tak mau disalahkan Nyonya Harti. Aku tak punya cukup uang untuk mengganti lantai mahal itu bila rusak. Tapi, karena aku tak juga membongkar lantai itu, gadis cantik itu menemuiku dengan jengkel. Dia marah. Suaranya tak sabar ketika mengatakan di bawah lantai itu ada jasadnya Sugito. Kali ini aku terkejut dan merasa takut. Ini soal serius. Aku tak mau tinggal dengan jasad hasil pembunuhan.

Esok paginya aku menemui Nyonya Harti untuk menceritakan rahasia itu. Ketika mendengar ceritaku, perempuan tua itu menatapku tak berkedip. Tapi, aku merasa dia ketakutan dan menyembunyikan sesuatu. Dia tak menanggapi ketika aku meminta izin untuk membongkar lantai kamar. Nyonya Harti justru berdiri dan masuk ke dalam rumahnya dan berbicara dengan seseorang melalui telepon. Setelah itu dia memintaku untuk pulang.

Aku kecewa dengan tanggapan Nyonya Harti. Aku tahu dia tak mempercayaiku. Semua tanggapan anehnya itu justru membuatku curiga bahwa dia terlibat. Rasa kecewaku itu aku sampaikan pada gaid cantik itu sembari meminta maaf karena menunda permintaannya. Mendengar ceritaku, gadis itu mengangguk dan mulai menangis, dan aku ikut menangis karena tak tahu cara mengakhiri cerita. 

Sehari kemudian, setelah menemui Nyonya Harti, aku melihat beberapa orang asing melewati jalan depan rumah menjelang mahgrib. Mereka berjalan mondar- mandir sembari mengawasiku yang tengah bicara dengan temanku di bangku. Mereka sepertinya ingin mencuri dengar perbincangan kami. Kelakuan tak sopan mereka itu membuatku tak senang. Karena curiga, aku bilang pada gadis itu bahwa ada orang jahat tengah mengawasi. Mereka sepertinya teman Nyonya Harti, kataku.

“Aku tahu,” katanya.

“Aku harus bagaimana?

“Bakar saja rumah ini, biar mereka tak bisa memiliki rumah ini” 

“Bakar?”

“Mereka pembunuh Sugito,” tambahnya.

Aku mengangguk dan tertawa keras. Aku setuju dengan pendapatnya yang masuk akal itu. Lalu, segera saja aku mencoba membakar rumah itu. Tapi, orang-orang itu berlarian masuk melompati pagar dan menangkapku sebelum rumah itu terbakar. Mereka mendekap dan menyeretku keluar dengan kasar. Sementara gadis itu kulihat hanya berdiri tersenyum di bawah pohon.

1 Desember 2021

Bagikan Artikel Ini
img-content
Ranang Aji SP

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Kalimat Pendek dan Panjang dalam Sastra

Selasa, 18 Juli 2023 12:24 WIB
img-content

Setan Rumah B2A

Rabu, 1 Desember 2021 13:40 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler