x

Kawasan transmigrasi yang baru dibuka di Desa Tinauka, Rio Pakava, Donggala, Sulawesi Tengah. ANTARA/Basri Marzuki

Iklan

M Noor Azas Ahsan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Transmigrasi dan Pilkada DKI

Perlu ada proyek prioritas nasional untuk mengembangkan kawasan transmigrasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh M. Noor Azasi Ahsan

Pemilihan kepala daerah DKI Jakarta menjadi perhatian seluruh puak negeri ini. Padahal siapa pun yang akan terpilih tidak akan banyak membawa perubahan bagi negeri. Ketiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta masih melihat persoalan hanya dari perspektif Jakarta. Ada yang menjanjikan alokasi anggaran Rp 1 milyar per RW. Ada lagi yang menawarkan program penyediaan rumah tanpa uang muka atau down payment (DP). Melengkapi Kartu Jakarta Pintar (KJP), Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan berbagai program lain yang telah berjalan selama ini.

Dalam perspektif transmigrasi, upaya menata persebaran penduduk akan menjadi semakin sulit. Daya tarik untuk tetap tinggal di Jakarta jauh lebih besar daripada daya tarik untuk pindah ke luar Jakarta dan luar Jawa. Menghadapi kondisi ini, perlu ada terobosan untuk mensukseskan program penempatan 4,3 juta KK transmigran pada 9 juta ha lahan obyek reforma agraria sesuai visi Presiden Joko Widodo.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pengalaman transmigrasi masa lalu

Baik kolonisasi yang dilaksanakan Pemerintah Belanda, maupun program transmigrasi sesungguhnya tidak banyak mengubah komposisi dan persebaran penduduk. Profil penduduk 2010 menunjukkan 58 % masih di Jawa dan Madura, kemudian Sumatera 21 %, Kalimantan 6 %, Sulawesi 7 %, lainnya 8 %. Relatif tidak banyak berubah dibandingkan 1971, Jawa dan Madura 64 %, Sumatera 18 %, Sulawesi 7 %, Kalimantan 4 %, sisanya 7 % di pulau-pulau lain.

Pada masa lalu, transmigrasi diselenggarakan dengan misi utama memindahkan penduduk dari daerah-daerah berpenduduk padat ke daerah-daerah yang perpenduduk jarang. Jangan dibayangkan,lokasi pemukiman transmigrasi sudah memiliki bioskop dan warung internet, apalagi mall dan pusat hiburan malam. Pemerintah hanya memberikan bantuan fasilitas wayang, gamelan dan radio-televisi sebagai sarana hiburan hingga beberapa tahun yang lalu.

Lahan yang ditempati tidak jarang juga bermasalah dan sulit ditanami. Ada rawa-rawa yang tergenang air hampir sepanjang tahun, ada lagi yang ditempatkan pada lahan kering. Pada transmigrasi pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) Sawit, para petani praktis hanya mengandalkan hasil tanaman pangan dan hortikultura di lahan pekarangan dan jatah biaya hidup (jadup) yang tidak seberapa.selama kebun mereka belum menghasilkan. Selama masa menunggu panen, sebagian transmigran kadang bekerja serabutan sebagai buruh perusahaan yang ada di sekitar lokasi, baik pertambangan, penggergajian kayu (sawmill), hutan tanaman industri maupun industri dan perkebunan lain demi bertahan menutup defisit kebutuhan hidup.

Sebagian lagi, yang tidak kuat bertahan, kemudian memilih meninggalkan lokasi. Asset berupa rumah dan lahan yang dijual dengan harga murah kepada spekulan local. Selain kondisi yang sepi jauh dari kampung halaman, lingkungan transmigrasi seperti tidak memberi harapan dan statis bagi sebagian anak muda. Perekonomian domestik seakan tidak berjalan karena penduduknya yang masih sedikit dan yang ada hanya sesama petani, profesi lain belum kelihatan ketika pemukiman baru dibangun.

Membangun pemukiman seperti Jakarta

UU Nomor 29 tahun 2009 telah mendorong dilakukannya perubahan. Penyelenggaraan transmigrasi diarahkan pada pembangunan daerah dan pengembangan wilayah. Konsep pembangunan transmigrasi berbasis kawasan ini dikenal sebagai Kota Terpadu Mandiri (KTM).

Pada 2015, ada 48 kawasan yang didorong berkembang sebagai KTM dengan kondisi yang sangat variatif. Ada KTM Telang yang dianggap berkembang pesat sebagai sentra perberasan dan menjadi model pengembangan kawasan transmigrasi. Sebaliknya, ada KTM Senggi di Kabupaten Keerom yang masih sulit berkembang karena jumlah penduduknya sangat jarang. Sedangkan KTM Cahaya Hati di Kabupaten Barito Kuala memiliki kampung Inggris sebagai lokasi wisata dan memperdalam kemampuan bahasa secara praktis. Secara umum, mayoritas KTM belum mampu menjadi daya tarik datangnya transmigran swakarsa. Bahkan, mungkin belum mampu menahan laju migrasi keluar.

Ada tantangan, bagaimana membangun kawasan transmigrasi yang berkembang seperti Jababeka atau Bumi Serpong Damai. Atau lebih revolusioner lagi, membuatnya seperti Jakarta. Jababeka dimulai pembangunannya 27 tahun yang lalu, sekarang sudah dihuni 1 juta orang. Konsorsium 21 pengusaha membangun untuk mewujudkan visi membangun kota bertarap internasional seperti Singapura.

Sejumlah negara telah melakukan pemindahan ibukota negara atau pembagian peran pemerintahan ke beberapa kota sebagai langkah strategis penataan persebaran penduduk agar tidak memusat di lokasi tertentu. Brazil telah mendesain dan memindahkan ibukotanya dari Rio Janeiro ke Brasilia yang terletak di tengah-tengah negara yang sangat luas tersebut. Sedangkan Malaysia memilih pembagian peran, Kuala Lumpur tetap sebagai ibukota negara, namun pusat pemerintahan berada di Putrajaya.

Berdasarkan hasil identifikasi, ada peluang redistribusi lahan seluas 4,5 juta hektar untuk transmigrasi di 26 Provinsi. Perhitungan kasar berdasarkan pengalaman selama ini, membutuhkan sekitar Rp 850 trilyun dengan rincian Rp 350 trilyyun untuk penyiapan kawasan dan pembangunan permukiman transmigrasi dan Rp 500 trilyun untuk pembangunan dan pengembangan kawasan. Sementara anggaran yang dialokasikan untuk 2 direktorat jenderal yang mengurus transmigrasi di Kemendesa hanya sekitar Rp 600 milyar pada 2017 ini.

Mendorong perpindahan penduduk secara alami dari pulau Jawa, khususnya Jabodetabek ke luar Jawa, sebaiknya tidak dengan membangun kawasan KTM yang menyebar ke 26 propinsi. Lebih baik anggaran terbatas dipusatkan pada satu atau 2 lokasi di pulau yang berbeda. Salah satunya bisa diselaraskan dengan upaya menghidupkan kembali rencana perpindahan ibukota negara ke pulau Kalimantan sebagaimana yang pernah direncanakan Presiden Soekarno.

Anggaran transmigrasi yang kecil tentu tidak akan cukup untuk keperluan ini. Perlu ada proyek prioritas nasional atau badan khusus yang dapat mengkoordinasi berbagai kementerian dan lembaga agar dapat berkontribusi dalam mewujudkan pengembangan kawasan transmigrasi sebagai sebuah metropolitan. Kita berharap, siapa pun yang terpilih sebagai gubernur DKI Jakarta bisa mendorong warga DKI bertransmigrasi sekaligus mengalokasikan anggaran dari APBD DKI Jakarta untuk pembangunan kawasan transmigrasi yang bernuansa metropolitan.

Insentif perlu diberikan kepada para profesional dari berbagai bidang agar ikut bertransmigrasi sehingga kawasan tersebut tidak hanya dihuni para petani. Insentif dalam bentuk lain juga diberikan kepada para investor, entrepreneur dan lembaga pembiayaan. Pengakuan atas inovasi dan kreasi yang dibawa ke sana. Bila insentif ini tidak juga mampu merangsang para profesional mau merantau ke pelosok, jangan salahkan bila professional dari negara lain yang akan mengisinya.

Jakarta, 13 Februari 2017

Anggota Pokja Khusus Dewan Ketahanan Pangan, saat ini bekerja di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa)

Ikuti tulisan menarik M Noor Azas Ahsan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB