Romantisme Pagi Apolitis Menentang Ahok dan Anies
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBNgobrolin politik sesungguhnya bagi saya agak membuat tak nyaman. Entah, kadang saya berpikir politik itu omong kosong yang menguras emosi.
Ngobrolin politik sesungguhnya bagi saya agak membuat tak nyaman. Entah, kadang saya berpikir politik itu omong kosong yang menguras emosi. Menghambur-hamburkan waktu yang seharusnya bisa dinikmati setiap detiknya. Melintasi sawah, menyapa orang-orang di pematang atau bergulingan di pantai.
Politik, bagi saya, seperti menapaki sendiri di tengah gurun Gobi dan tergoda untuk berharap keajaiban. Bertemu Kwa Sin Liong si Bukek Siamsu dari Pulau Es dan tiba-tiba diajarin jurus-jurus sakti agar bisa menjadi pendekar di dunia kangow. Setidaknya rasa haus, rasa lapar dan retaknya tulang-tulang akibat perjalanan panjang membuat kita hidup dalam hiper-realitas tanpa mengutip yang dimaksud Jean Baudrillard. Berhalusinasi.
Hidup begitu indah, ketika kita sadar dan terbangun di pagi hari. Matahari bersinar hangat. Biasanya, di tempat saya, pagi dimulai dengan suara adzan subuh dan dlanjutkan suara lonceng gereja belakang rumah pukul enam tepat. Di pagi yang dipenuhi udara bersih dan begitu murni, para tetangga saling menyapa. Mereka mengobrol pelan dan antri bubur tahu pedas atau ketan cincau untuk sarapan diantara kabut tipis di warung ujung desa. Dunia sungguh damai.
Setelah menikmati secangkir teh panas atau kopi, udara berangsur menjadi panas. Persoalan merambat ke tingkat yang lebih kompleks ketika teman-teman mulai datang berkunjung. Obrolan bisa saja dimulai dari sastra. Menggosip karya-karya cerpen yang dimuat di koran. Ide-ide yang aneh atau bentuk yang selalu sulit dinikmati tetapi digandrungi karena dinilai mewakili kelas kreatif.
Kenapa tidak ada yang seperti John Steinbeck? Gugat salah satu teman. Tidak ada yang memperkarakan persoalan kehidupan di lingkungannya seperti Steinbeck mengangkat kehidupan sosialnya. Ada banyak persoalan kemanusiaan di sana. Ada banyak humor yang getir dan ada banyak tragedi yang bisa diungkap. Membacanya, tidak saja membuat kita terhibur,namun juga menemukan sesuatu yang disebut keadaan manusia. Realisme dan realitas menjadi integral. Manusia sebagai inividu dan manusia sebagai sosial. Apakah John Steinbeck tidak humanis? Apakah yang humanis universal yang bercerita bentuk dan dunia individual?
Tapi, menyebut Borges menjadi kecualian untuk dicela. Bukan karena ia mudah dipahami. Tapi justru kerumitannya di belantara kata dan pengetahuannya membuat orang terpesona. Apakah orang mendapatkan sesuatu? Tentu. Setidaknya orang menjadi giat membaca dan berhenti sekolah.
Ngobrol politik memang benar-benar sia-sia. Itu terjadi setelah makan siang bersama yang sepertinya sangat dinikmati teman-teman saya yang kebanyakan memang menyatakan diri sebagai penganggur. Pada prinsipnya begitu dan tak perlu dijelaskan mengapa.
Semua dipicu dari facebook yang dibuka salah satu teman yang mengabarkan status seseorang yang menyerang Ahok dan kemudian ia memaki-maki orang tersebut berikut Anis lawan politik Ahok. Padahal ia orang Jogja yang tak mungkin menambah suara di pemilihan DKI. Ia marah karena Ahok dibilang jagonya para Taipan, tangan panjangnya Cina. Tiongkok itu, komunis, kata teman saya menyanggah temen yang marah itu. Tapi sistem ekonominya neoliberal, lanjutnya. Itu kombinasi yang mematikan. Semua jadi dikendalikan sama modal. Lihat saja, katanya, pejabat politik kita semua pengusaha dan punya media. Materialisme Historisnya Karl Marx terbukti, bahwa negara dibuat bukan untuk kepentingan rakyat, tapi kapitalis.
Semua sudah pada kehilangan akal sehat tampaknya dan semakin hiperbolais. Setelah FPI, sekarang ancaman sepertinya diwakilkan Anis Baswedan yang keturunan Arab dan mencari suara di basis FPI. Status FB yang menyertainya: Lucu Mana Panda sama Onta! Katanya, penting untuk mempertahankan NKRI dari ekstrimis radikalis. Sejak kapan lulusan Amerika, teman dekat Amerika menjadi radikalis ekstrimis? Tanya temen saya bermaksud beretorika. Istilah itu mengingatkan sama kompeni VOC dulu kala yang sering memaki dan menuduh maling sama pemilik tanah yang dia maling. EkstrimisEkstrimis Inlander! Semua orang sekarang menjadi pengikut siapa, tapi bukan bangsanya. Perdebatan pun berhenti.
Tiba-tiba udara semakin panas dan membuat teman-teman menjadi lelah dan merindukan pagi yang murni. Sejuk dan menentramkan. Shi Nai-an, penulis novel Batas Air di masa Dinasti Ming yang bercerita tentang 108 pendekar Liang Shan juga merasakan hal yang sama.Capek dengan politik. Katanya, politik, intrik dan korupsi di masanya membuat lelah untuk dipikirkan. Waktu, begitu cepat berlalu dan sayang dilewatkan. Lebih baik menikmati hidup. Ada teman berkumpul, minum arak, ngobrolin atau menulis sastra tanpa tendensi dan obsesi. Toh,kalau mati kita juga tidak tahu bermanfaat atau tidak. Jadi, jalani saja hidup dan nikmati.[] -Foto milik soendoel Blog-
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Kalimat Pendek dan Panjang dalam Sastra
Selasa, 18 Juli 2023 12:24 WIBSetan Rumah B2A
Rabu, 1 Desember 2021 13:40 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler