x

Iklan

Ema Salimah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ikhtiar Puan Menghindari 'Pengangguran Baru'

Esai Ema Salimah

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Orientasi pendidikan tinggi di negara kita perlu ditata kembali”, tulis sebuah surat kabar online, VIVA.co.id, yang naik posting tertanggal, 27 Februari 2016.

“Di Indonesia diduga sekitar 75-85 persen lulusan perguruan tinggi berasal dari bidang non-teknik. Hal yang sebaliknya terjadi di Korea Selatan, dengan lulusan sarjana sebagian besar di bidang teknik”.

Kemudian kita tahu, tuturan itu berasal dari Puan Maharani, seorang Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK). Surat kabar itu merekam tuturan Puan Maharani yang disampaikan olehnya dalam salah satu acara Wisuda Sarjana ke-79 Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur, Sabtu, 27 Februari 2016.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

***

Apa yang penting dari tuturan dari seorang menteri koordinator, Puan Maharani?

Tuturan yang singkat dan hanya sekian menit. Tentu Puan Menyampaikan sesuatu yang pokok-pokok dan tak menyentuh secara detail lebih dalam. Tapi justru karena itu, pidato sambutan Puan menggelitik kedalaman kita untuk berfikir – menggali demi menemukan kedalaman alasan-alasan dari pidato itu.

Meskipun singkat, ada sesuatu yang sempat disinggung dalam pidato itu. Perlunya penataan kembali merupakan respon atas tantangan zaman. Zaman yang tak diam, melainkan terus mengalir dan laju geraknya kian cepat didorong pertumbuhan teknologi memang menuntut manusia – kita semua – bisa mengimbangi lebih cepat. Pendidikan – yang di dalamnya mengandung orientasi dan tata yang lain – tentu sangat penting untuk bisa menjawab tantangan-tantangan zaman.

Puan secara tegas menunjukkan mengapa perlu penataan kembali orientasi kita, jelas terkait dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Apa yang dibutuhkan dalam masyarakat hari ini adalah bidang-bidang tertentu yang mengarah pada kemampuan teknis bukan sekedar kemampuan di luar teknis. Ketertinggalan Indonesia dari negara-negara lain dalam aspek pendidikan tinggi tak dapat dilepaskan dari persoalan ini: minimnya lulusan yang memiliki kompetensi teknik. Itu yang disinggung oleh Puan Maharani.

Di zaman yang dibutuhkan adalah kemampuan teknik, justru lulusan perguruan tinggi adalah sederet sarjana yang justru minus kompetensi teknik yang memadai. Sebagian besar lulusan PT adalah sarjana non-teknik. Lulusan di bidang non-teknik, bagi Puan, dipandang tidak terlalu kondusif untuk mendukung penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dan peningkatan daya saing.

Daya saing adalah kata kunci penting di era globalisasi ini. Dengan minimnya kemampuan teknik atau lemahnya daya saing dalam menghadapi, misalnya, Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), masyarakat Indonesia berpotensi menjadi penonton atau konsumen. Padahal ada rencana pemerintah untuk mengalokasikan lebih dari Rp. 5.000 triliun untuk pembangunan infrastruktur. Apa artinya pembangunan infrastruktur ini jika mentalitas atau sumber daya manusianya lemah?

Puan menegaskan bahwa di era masyarakat global ini, “...membutuhkan banyak tenaga kerja dari bidang teknik. Jangan sampai peluang ini nantinya hanya dinikmati oleh pekerja asing.”

Pernyataan Puan merupakan sinyal kuat betapa pentingnya kemampuan teknik di era persaingan global ini. Lengahnya pendidikan tinggi nasional dalam mengantisipasi persoalan ini bisa jadi hanya akan melahirkan lulusan sebagai angka (kuantitas) tanpa kedalaman kemampuan (kualitas). Bila demikian yang terjadi, sarjana sebagai jenis ‘pengangguran baru’ bakal semakin tinggi angkanya.

Sebab itu, penting membaca pidato yang singkat ini sebagai bahan kajian dan pertimbangan untuk menata kembali orientasi pendidikan tinggi nasional kita.

Terima kasih, Puan, atas pidatonya yang sikat.

Ikuti tulisan menarik Ema Salimah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler