Surat untuk Karyawan Freeport yang Dirumahkan

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Surat untuk karyawan freeport yang dirumahkan

Saudaraku,

Sebelumnya, saya ucapkan simpati dan empati pada penderitaanmu karena Freeport memutuskan merumahkanmu untuk sementara. Sungguh, sesuatu yang tak terbayangkan bagaimana penderitaan itu akan menjalari seluruh tubuh dan jiwa. Mengenang kenyamanan, tentu sebuah penderitaan tiada bertepi dan menyakiti, seperti halnya derita Adam yang terusir dari nikmat surgawi.

Saudaraku, ketahuilah,

Aku menulis ini ketika makan siangku bersama orang-orang yang tak beruntung lainnya di jalan-jalan kota adalah sebuah perjalanan panjang untuk mencapainya. Sesuap nasi yang sering membutuhkan ketekatan hati agar sampai di mulut dan perut. Dengan demikian, kehidupan terus bisa berjalan sampai akhir. Tetapi diantara kami, rasa lapar adalah pesona dari misteri tuhan. Knut Hamsun, novelis Norwegia, bahkan menuliskannya dengan indah perjalanan rasa lapar itu dalam novelnya yang mendapatkan Nobel, Hunger (Lapar).

Lapar, adalah keniscayaan dalam kehidupan dan senantiasa menjadi problem manusia, bahkan kerabat di tengah-tengah kita. Di jalanan, di setiap kota-kota kita, seperti yang kita tahu, setiap sudutnya adalah tempat dimana banyak harapan tercecer dan berkarat akibat terik matahari dan hujan yang tak terpayungi. Mereka lapar bersama jutaan orang Indonesia lainnya. Sementara mall-mall dipenuhi dengan makanan serta minuman laris manis, meskipun dengan harga yang menggelikan dan membuat kami segan untuk memikirkan. Sebuah paradoks sosial di tengah-tengah kita.

Saudaraku,

Merenungkan kemalanaganmu, saya jadi ingat kejadian di sebuah sebuah desa, di lereng Monoreh, Magelang. Ada seorang pria yang selalu lapar dan menanggung hutang akibat kemiskinannya. Ia lantas memutuskan bunuh diri. Dia pikir semua akan selesai dengan mati. Sayangnya, ia justru sukses menambah daftar beban hutang yang kelak harus ia bayar setelah perawatan rumah sakit karena ia gagal membunuh dirinya dengan benar. Maka, ia harus menjalani takdir nestapanya lebih panjang. Semoga tuhan menjaganya dan semoga pria itu bernasib baik sekarang.

Saudaraku,

Sungguh, aku terharu dengan jiwa nasionalismu yang tak mau menjadi antek asing, meskipun bekerja di sebuah perusahaan yang dinilai banyak orang hanya mengeruk keuntungan semata. Dimana, nasionalisme hanya perkara basa-basi saat ini. Tentu saja, karena cinta tanah air bukanlah pragmatisme. Cinta tanah air adalah sebuah tindakan dan rela berkorban untuk bangsanya. Tetapi, tentu saja itu hanya romantisme utopi, mengingat apa yang dikatakan Marc Blecher bagaimana hegemoni pasar telah menjadi pola yang menggantikan pola kompetisi sosial menjadi pribadi diantara kita. Pikirkan saja diri sendiri. Itu lebih realistis.

Ceritamu tentang kontribusi Freeport sungguh menyentuh dan melegakan. Senang rasanya saudara Papua kita telah makmur karena Freeport ada di sana. Tentu mereka juga bangga berdiri di atas bukit-bukit dengan kotekanya, memandang dan merasa memiliki bandara internasional yang dibagun Freeport. CSR yang recehan itu benar-benar sungguh berarti. Ini menunjukkan betapa dermawannya perusahaan itu pada bangsa papa ini. Kita harus ingat bagaimana perjuangang Freeport mendapatkan kontrak di tahun 1967 lalu. Semua tahu itu (mungkin), tentu sungguh berat dan layak dipertahankan, setidaknya hinggan 2021.

Saudaraku,

Sekali lagi aku dan banyak teman-teman di Indonesia yang belum sempat beruntung bersimpati dan berempati dengan penderitaanmu. Meskipun hatimu sedih, tentramkan hatimu, karena Anda tidak sendiri. Semoga tuhan menjagamu dan tetaplah bernasib baik.

Salam.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Ranang Aji SP

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Kalimat Pendek dan Panjang dalam Sastra

Selasa, 18 Juli 2023 12:24 WIB
img-content

Setan Rumah B2A

Rabu, 1 Desember 2021 13:40 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler