Judul: Ahangkara
Penulis: Makinuddin Samin
Tahun Terbit: 2017
Penerbit: Javanica
Tebal: 496
ISBN: 978-602-6799-13-5
Novel berjudul “Ahangkara” adalah novel pertama Makinnuddin Samin (Makin). Sebelumnya ia telah melahirkan buku kumpulan cerpen berjudul “Pemabuk”. Novel yang menggunakan masa kehancuran Majapahit sampai dengan masa akhir Kerajaan Demak sebagai wadah cerita ini terbagi dalam dua bagian. Bagian pertama yaitu “Kupu-kupu Di Atas Candi” yang berkisah tentang penyerangan Demak terhadap sisa-sisa Majapahit. Sedangkan bagian kedua yaitu “Kunang-kunang Di Atas Kubah Masjid” berkisah tentang runtuhnya Kerajaan Demak.
Pada bagian pertama kisah dibangun dari keresahan penduduk Wanua Ambulu, sebuah desa di Kerajaan Tuban karena mendengar rencana serangan Demak kepada sisa-sisa Majapahit di Dahanapura. Serangan ke Majapahit dan wilayah Brang Wetan dilakukan oleh Sultan (dalam novel ini disebut Panembahan) Trenggono untuk menyatukan Jawa. Penyatuan Jawa ini sangat penting supaya Kerajaan Demak bisa mencegah pengaruh perdagangan asing. Serangan ini akan melewati Ambulu. Para pemimpin Wanua Ambulu berupaya untuk menghindarkan peperangan di desa mereka dengan berbagai cara. Mereka memakai koneksi keluarga yang menjadi pejabat di Kerajaan Tuban maupun di Kerajaan Demak.
Sedangkan bagian kedua berkisah tentang pergantian kepemimpinan di Demak yang penuh intrik. Kerabat Trenggono saling berebut pengaruh untuk menduduki tahta. Trenggono yang terbunuh dalam penyerbuan sisa-sisa laskar Majapahit di Panarukan menyebabkan pergantian tampuk pimpinan Demak harus dilakukan secara tiba-tiba. Pergantian yang tidak lancar ini ditumpangi dengan kelompok Majapahit yang ingin balas dendam.
Seperti halnya kumpulan cerpennya yang disatukan dalam buku kumpulan cerpen berjudul “Pemabuk,” Ahangkara menunjukkan kecintaan Makin kepada Islam Nusantara dan kegalauan hatinya akan munculnya gerakan-gerakan radikal yang mulai menggerogoti indahnya Islam Nusantara. Makin dibesarkan dalam lingkungan nelayan. Pendidikan sampai setara SMA yang dilaluinya di pesantren membuat ia paham tentang Islam. Bagi Makin agama (Islam) haruslah disebarkan dalam suasana yang menghargai budaya lokal. Penyebaran agama (Islam) haruslah tidak dilakukan dengan pemaksaan apalagi dengan kekerasan. Makin menggunakan ajaran Sunan Kalijaga dan pembangunan Masjid Agung Kudus sebagai sarana untuk menjelaskan Islam yang dia pahami. Dalam sebuah dialog Makin menyampaikan bahwa "Jalan perang tidak pernah bisa mengubah keyakinan seseorang karena keyakinan tidak bisa dipaksakan melalui kekerasan. Para penyiar agama Rasul di tanah Jawa sejak generasi pertama sampai sekarang selalu menggunakan jalan damai, jalan persaudaraan" (hal. 56). Di tempat lain Makin menyampaikan bahwa: “yang kita warisi dari Kanjeng Rasullulah adalah ajarannya, isi kebenaran di dalamnya, bukan budaya dan rancang bangunnya” (hal. 282).
Namun Makin juga menyadari bahwa dalam penyebaran agama selalu ada kelompok-kelompok radikal yang ingin “memurnikan” ajaran agama. Ada kelompok yang merasa bahwa ajaran yang sudah menyebar dan berpadu dengan budaya lokal adalah ajaran yang sesat. Dalam upayanya memurnikan ajaran tersebut, kelompok radikal ini sering menggunakan segala cara. Termasuk menumpang pada tujuan pemerintah yang sah dalam menyatukan negeri. Mereka membina preman untuk tujuan penyebaran agama (hal. 71). Dalam kisah penyerbuan tentara Demak ke Tuban demi menyatukan Jawa, Makin memasukkan cerita tentang kelompok yang mempunyai tujuan lain, yaitu tujuan pemurnian agama. Mereka berupaya membelokkan arah perang dari tujuan menyatukan Jawa menjadi perang antar agama. Kelompok yang berbasis di Prawata ini menyusup dalam pasukan sandi dan pasukan angkatan darat (pasukan berkuda). Tujuan utama mereka adalah menghancurkan simbol-simbol agama lama (Siwa Sogata) seperti candi, merampas dan membakar karya tulis (lontar) dan memaksa masyarakat untuk mengikuti ritual yang “murni”.
Mutu sebuah novel sejarah bisa dilihat pada sedetail apa fakta-fakta sejarah dipakai dalam novel tersebut. Selain dari detail sejarah, mutu novel sejarah juga bisa dilihat dari imajinasi penulisnya terhadap fakta-fakta sejarah tersebut sehingga bisa terangkai menjadi sebuah kisah yang utuh. Satu hal lagi yang membuat novel sejarah enak untuk dinikmati adalah pemilihan tokoh, bangunan konflik dan pemilihan diksi yang dipakai untuk menjadi perangkai kisah.
Makin menggunakan versi sejarah Majapahit karya Slamet Mujana yang berbasis naskah Sam Po Kong sebagai pijakan. Ia juga melengkapi pandangan Slamet Mujana ini dengan berbagai rujukan sejarah, termasuk karya-karya dari wilayah Pajajaran, yang jarang sekali dipakai sebagai acuan dalam membahas sejarah Majapahit. Dalam Ahangkara, fakta-fakta sejarah yang selama ini belum dibahas secara umum bermunculan. Meski fakta-fakta ini belum terbahas secara umum, namun fakta-fakta ini bukanlah fakta yang tanpa bukti. Misalnya tentang Raja Majapahit bernama Nyo Lay Wa yang didudukkan oleh Raja Demak di Trowulan. Atau fakta tentang candi Siwa di Ambulu – Tuban yang belum terungkap.
Fakta-fakta yang berserakan dan seakan-akan tidak berhubungan tersebut dirangkai oleh Makin menjadi sebuah cerita yang utuh. Dengan menggunakan kisah intelejen dan kontra intelejen yang intens dan mencekam, Makin berhasil menghubungkan fakta-fakta sejarah tersebut menjadi sebuah rangkaian cerita yang sangat menarik.
Makin membumbui ceritanya dengan taktik dan strategi perang ala Jawa. Sesungguhnya kemenangan sebuah peperangan bukanlah hanya karena jumlah tentara dan kemampuan peralatan perang. Keberhasilan sebuah peperangan sangat tergantung pada kemampuan pasukan sandi dalam mengatur strategi peperangan. Strategi dan taktik perang ala Jawa dikisahkan dengan sangat menarik. Kita dikenalkan dengan siasat Wijaya yang dipakai oleh Raden Wijaya mengalahkan pasukan Tartar, siasat s?ma-bheda-da??a yang sering dipakai oleh para penguasa Jawa untuk menaklukkan musuh. Makin juga mengenalkan taktik perang Supit Urang, Cakra dan sebagainya. Strategi dan taktik perang Jawa ini tak kalah hebatnya dengan strategi dan taktik perang Sun Tzu di daratan China.
Makin memilih tokohnya dari kalangan masyarakat biasa. Cara ini lebih menarik daripada menggunakan tokoh sejarah sebagai tokoh utama dalam novel. Penggunaan tokoh orang biasa juga pernah digunakan oleh Pramodya dalam novelnya “Arus Balik”. Dengan cara ini, Makin bisa leluasa menggunakan tokoh-tokohnya untuk merangkai fakta-fakta sejarah. Tokoh utama dalam novel ini adalah satu keluarga dalam empat generasi asal Ambulu. Sebuah keluarga yang memiliki talenta sebagai intelejen. Kisah yang penuh intrik, pengkhianatan, kesetiaan dan ketegangan psikologis antar tokoh yang berkerabat tetapi berbeda pihak membuat cerita enak untuk dinikmati.
Menilik cerita dalam novel Ahangkara ini saya curiga Makin tidak sedang berkisah tentang sejarah masa lalu. Saya berprasangka bahwa sesungguhnya Makin sedang menuliskan sejarah masa kini dengan meminjam kisah dari masa lalu. Ontran-ontran negara yang berupaya menjaga keutuhan wilayah dan diganggu oleh sekelompok orang radikal yang menyusup sangatlah mirip dengan situasi terkini NKRI. Pertarungan intelejen dan kontra intelejen yang digambarkan oleh Makin seakan muncul sebagai kisah dalam cermin dari situasi saat ini. Bukankah seorang sastrawan sesungguhnya adalah orang yang mampu menyatukan jaman untuk memberi sebuah peringatan? Benarkah demikian?
Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.