Memahami Teori Konsumsi 'Sederhana' Melalui Ekonomi Pancasila

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Iklan

Part Kedua : Perilaku “Memanusiakan Manusia” sebagai Landasan Teori Konsumsi “Sederhana”

 Part Kedua : Perilaku "Memanusiakan Manusia" sebagai Landasan Teori Konsumsi "Sederhana"

Puji syukur kehadirat Tuhan YME, penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan tulisan dari artikel sebelumnya dengan judul “Manusia Indonesia Berkualitas Lewat Kesederhanaan Hidup”.  Inti dari tulisan tersebut ingin memberikan gambaran ciri manusia Indonesia berkualitas yang mampu menerapkan Ekonomi Pancasila adalah manusia Indonesia yang hidup dengan kesederhanaan.  Dalam hal ini penulis mencoba menterjemahkan  hakiki pola hidup sederhana melalui teori konsumsi “sederhana”  dari sudut pandang Ekonomi Pancasila.  Adapun syarat yang dibutuhkan dalam teori konsumsi sederhana yaitu perlunya memandang dan memperlakukan manusia sebagai makhluk paling mulia di muka bumi dengan cara “Memanusiakan Manusia”.  Selanjutnya penulis juga mencoba untuk menjabarkan pandangan secara sederhana akan makna “Memanusiakan Manusia” dalam teori konsumsi sederhana menggunakan pendekatan Ekonomi Pancasila.

Seperti telah dijelaskan di tulisan sebelumnya, bahwa manusia terdiri dari unsur jasmaniah dan rohaniah.  Unsur yang paling menentukan tingkah laku manusia adalah unsur rohaniah.  Disitulah sumber terwujudnya  cipta, rasa dan karsa yang mempengaruhi tingkah laku manusia. Pentingnya memasukkan unsur rohani dalam ilmu ekonomi untuk mempelajari perilaku manusia telah diungkapkan sebelumnya oleh  tokoh ekonom Indonesia di era 80-an melalui konsep Ekonomi Pancasila, diantaranya : Mubyarto, Ace Partadiredja, Sarina Mangunpranoto, Hidayat Nataatmadja, dan Soetrisno P.H.  Berdasarkan hasil olah pikir dari kedua unsur dalam diri manusia tersebut, maka dapat digaris bawahi bahwa “Ketuhanan” dan “Kemanusiaan” merupakan titik penting yang melandasi Ekonomi Pancasila.  Kedua unsur tersebut hendaknya perlu kita sadari bersama dalam mewujudkan perilaku “Memanusiakan Manusia”.  Karena orang-orang yang menyadari akan unsur keyakinan dan ketaatan kepada Tuhan YME serta memiliki jiwa kemanusiaan akan mampu memahami makna “Memanusiakan Manusia”. 

Unsur Pertama : Ketuhanan

Mengapa Ketuhanan menjadi sila pertama dalam Pancasila?  Hal ini tidak terlepas dari sejarah lahirnya Indonesia.   Indonesia terlahir dari cita-cita seluruh rakyat dari Sabang hingga Merauke yang menginginkan kemerdekaan.  Walaupun berbeda-beda suku, agama dan budaya, tetapi memiliki tujuan yang sama untuk merdeka.  Tujuan yang sama inilah yang membuat lahirnya negara kesatuan Republik Indonesia di tahun 1945.  Hakikat dari kemerdekaan ini menggambarkan kepada kita bahwa setiap manusia menginginkan kebebasan dalam hidupnya, baik bebas dalam menentukan sikap maupun cara berpikir.  Sehingga pada dasarnya di dalam diri manusia akan melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan yang sifatnya membelenggu dan mengekang kebebasan dirinya.  Ini merupakan ciri utama dari unsur rohani yang ada di  dalam diri manusia. 

Kemerdekaan yang telah kita capai tidak terlepas dari perjuangan putra-putri terbaik bangsa, yakni generasi muda Indonesia yang memiliki tekad kuat untuk merdeka.  Kita hendaknya sangat bersyukur pada saat itu memiliki generasi muda yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk mengantarkan Indonesia merdeka.  Kisah pemuda-pemuda Indonesia di zamannya, yakni mulai dari R.A Kartini hingga pemuda di zaman Bung Karno, mengajarkan pada kita bahwa masa depan bangsa ditentukan oleh buah pikir generasi muda.  Hasil buah pikir mereka selama menjalani masa penjajahan serta interaksi dengan masyarakat yang memiliki adat-istiadat yang beragam dalam kurun waktu panjang, diwujudkan dalam ideologi yang kita anut hingga sekarang ini yakni Pancasila.    

Mereka menyadari sepenuhnya bahwa dengan keterbatasan yang dimiliki, mustahil Indonesia dapat meraih kemerdekaan.  Namun tekad dan keyakinan tinggi kepada Tuhan Yang Maha Esalah yang menyebabkan kemerdekaan Indonesia bisa diraih.  Oleh karena itu, sudah menjadi suatu keharusan untuk menempatkan Ketuhanan berada di urutan paling atas sebagai pondasi ideologi bangsa ini.  Proses lahirnya ideologi Pancasila ini tidak terlepas dari latar belakang cara pandang masyarakat Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa.  Terdapat kesamaan dari masing-masing suku bangsa tersebut dalam menjalankan kehidupannya, baik dalam kehidupan bermasyarakat, mencari nafkah hingga pola hidupnya sehari-hari tidak terlepas dari keyakinannya kepada Tuhan YME.  Terlepas dari agama apa yang dianut, namun terdapat kesamaan akan keyakinan dan kepatuhan kepada Tuhan YME.  Mereka meyakini bahwa alam semesta dan seisinya ini adalah milik Tuhan, sehingga setiap langkah kehidupan yang dipilih haruslah meminta izin dan petunjuk dari sang pemilik alam.  Tidak ada kekuasaan yang tertinggi selain Tuhan, sehingga seharusnya tidak ada kekuasaan manusia atas manusia lainnya.  Karena manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama dihadapan Tuhan.  

Ditinjau dari aspek kebudayaan, unsur “Ketuhanan” menjadi pedoman dalam menjalankan hidup bagi masyarakat Indonesia.  Hal ini ditunjukkan dari tradisi daerah yang sifatnya simbolis, yakni sebagai wujud kepercayaan terhadap Tuhan YME.  Contohnya di daerah Kalimantan Tengah terdapat ritual tiwah dari suku dayak.  Tujuan ritual tiwah adalah sebagai wujud kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,ritual untuk orang yang sudah meninggal agar dapat mencapai surga. Tradisi adat kebo-keboan dari desa Alasmalang dan Aliyan-Banyuwangi bertujuan untuk meminta hujan kepada Tuhan YME saat musim kemarau.   Masih di pulau Jawa, terdapat tradisi kasada, yang merupakan ritual masyarakat Bromo.  Bertujuan untuk penyembahan sesajen kepada Sang Widhi sebagai bentuk rasa syukur atas kesehatan dan hasil panen yang melimpah.  Di masyarakat Sumba juga terdapat tradisi  Pasola, bertujuan untuk memohon restu kepada para dewa agar panen pada tahun tersebut berhasil.   Di pulau Sulawesi tepatnya Sulawesi Selatan terdapat tradisi adu betis, bertujuan untuk mensyukuri musim panen.  Ritual lain yang menggambarkan keyakinan masyarakat setempat juga terdapat di Bali, yang sering disebut acara Ngaben.  Merupakan acara kremasi atau pembakaran jenazah umat Hindu, yang dipercaya dapat melepaskan segala ikatan keduniawian dari jenazah sehingga dapat  melihat kebenaran, keabadian dan kesucian ilahi di alam sana.  Ritual lainnya sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan YME atas anugerah yang telah diberikan berupa hasil tangkapan ikan di Pelabuhan Ratu-Jawa Barat diwujudkan dengan tradisi pesta laut.  Keseluruhan adat-istiadat yang ada di Indonesia menunjukkan betapa penting dan utamanya aspek ketuhanan dalam kehidupan masyarakat Indonesia.  Hal ini tidak terlepas dari apa yang telah mereka rasakan dan buktikan sendiri didalam menjalani kehidupan.  Begitupun bagi masyarakat perkotaan, kegiatan ritual keagamaan juga telah menjadi rutinitas sehari-hari, seperti melakukan kebiasaan berdoa sebelum melakukan aktivitas. Inilah sumber kekuatan dan jati diri bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pancasila.  Hendaknya kita bangga akan ideologi yang kita miliki, tidak ada negara didunia yang mempunyai jati diri seperti Indonesia.  Ciri khas ini merupakan modal utama bagi bangsa kita agar mampu menggunakan cara pandang sendiri dalam mengatur negaranya.   

Ditinjau dari aspek teologi.  “Ketuhanan” yang dimaksud  bukan perihal ritual keagamaan dari masing-masing agama, melainkan kepercayaan dan keyakinan akan adanya Tuhan yang maha pengasih dan penyayang.  Sehingga kunci “Ketuhanan” yang dimaksud adalah mengutamakan “cinta kasih” kepada seluruh umat manusia tanpa kecuali dari bangsa atau agama apapun.  Karena semua agama selalu mengajarkan nilai-nilai kebaikan, kemanusiaan dan cinta kasih untuk memperbaiki dan membentuk akhlak manusia menjadi mulia.  Oleh karena itu cinta kasih yang dimaksud adalah bersifat universal, artinya spirit yang harus dimiliki oleh seluruh manusia beragama agar saling menghormati, mengasihi dan saling tolong-menolong tanpa pamrih.  Dengan demikian ideology Pancasila secara implisit mengakui hukum tertinggi adalah “Hukum Tuhan”.  Seperti pepatah mengatakan “apa yang kau tanam itu yang kau petik”.  Artinya jika menanam keburukan lambat laun akan menuai kegagalan, begitupun sebaliknya jika yang ditanam adalah kebaikan maka akan dipetik buahnya keberhasilan.  Ungkapan tersebut merupakan pepatah yang sering kita dengar dari nenek moyang kita, yang menunjukkan kepercayaan bahwa Tuhan Maha Adil dan Maha Melihat atas apa yang kita lakukan.  Mereka mempercayai bahwa Tuhan Yang Maha Esalah yang mengatur rezeki masing-masing orang. Kita bisa membohongi orang lain atas perbuatan yang telah kita lakukan, namun kita tidak bisa membohongi diri sendiri karena Tuhan Maha Melihat.  Sehingga balasan bagi orang-orang yang berperilaku buruk juga akan dirasakan sendiri.  Inilah pembuktian Hukum Tuhan itu ada.  Jika prinsip ini bisa dipegang teguh, maka tidak akan ada lagi tindakan orang yang merugikan sesamanya.  Kebaikan orang akan murni karena mengharap keridhoan Tuhan YME, bukan kebaikan karena mengharapkan imbalan manusia.    

Memandang manusia dari unsur rohaniah terkadang jauh berbeda dengan tampilan jasmaniahnya.  Jika kita menggunakan unsur rohaniah,  maka panca indera yang digunakan akan semakin dalam melebihi apa yang terlihat secara lahiriah.  Artinya yang digunakan untuk melihat adalah pancaindera batin yang lebih jujur dan murni.  Tidak terpesona dengan tampilan luar yang sering disebut casing, melainkan tajam tiliknya dalam menilai orang lain.  Salah satu contoh yang dapat kita pelajari dari adat-istiadat di daerah Banten (Cipta Gelar Banten), yakni dalam memaknai kegiatan “menanam padi” merupakan ibadah.  Dalam hal ini mereka memandang padi bukan hanya sebagai komoditas pemenuhan kebutuhan fisik semata, melainkan suatu wujud rasa syukur terhadap karunia Tuhan YME atas ciptaannya berupa tumbuhan padi sebagai sumber kehidupan manusia di dunia.  Mereka meyakini padi sebagai sumber kehidupan haruslah dipergunakan dan dinikmati oleh seluruh rakyat, bukan untuk diperjualbelikan.  Secara ekonomi dengan prinsip yang mereka pegang teguh tersebut, membuat masyarakatnya  tidak pernah kekurangan pangan.  Bahkan mereka mampu mempersiapkan hasil panennya  untuk generasi yang akan datang (anak-cucu).

Unsur Kedua : Kemanusiaan

Unsur kedua dari ekonomi Pancasila adalah “Kemanusiaan”.  Setelah memahami pentingnya unsur pertama yang mempengaruhi perilaku manusia.  Selanjutnya penulis mencoba menjabarkan makna kemanusiaan yang dimaksud di dalam ekonomi Pancasila.  Dalam hal ini manusia dipandang sebagai makhluk yang paling sempurna dibanding makhluk lain ciptaan Tuhan YME.  Sempurnanya manusia karena diberi “akal” yang membedakan dengan makhluk lainnya.  Sehingga nilai kesempurnaan manusia tidak bisa dinilai dari sekedar materi, melainkan dari cara pandang dan pola pikir dalam menghadapi segala permasalahan atau kondisi yang dihadapi.  Jika diukur sebatas materi maka tidak akan bisa dilihat perbedaannya dengan makhluk lainnya yang tidak ber”akal”.  Hal ini bisa dibuktikan dari cara masyarakat Indonesia dalam menjalani kehidupannya, contohnya anak petani bisa menempuh pendidikan hingga sarjana, tukang gorengan bisa menyelesaikan sarjananya dengan berjualan, nenek usia tua bisa menyelesaikan pendidikan sarjana bahkan hingga tingkat doctoral.  Keberhasilan yang mereka raih merupakan salah satu contoh dan teladan dalam menjalani hidup secara benar.  Artinya dengan keterbatasan materi yang mereka miliki, namun mereka menyadarinya dan mampu beradaptasi dengan kondisi tersebut.  Dengan akal yang dimiliki, setiap orang akan berusaha mencapai tujuan atau cita-cita dengan sekuat tenaga, baik menggunakan pikiran maupun fisiknya.  Kunci keberhasilan yang mereka raih adalah tekad yang kuat diikuti dengan cara hidup sederhana,  atau dalam budaya Jawa disebut  “nrimo ing pandum”.  Artinya mensyukuri apa saja yang diterima dari Tuhan YME dengan wujud mengelola dan menggunakannya sesuai peruntukannya.  Hal ini juga ditunjang oleh sikap dan perilaku mereka yang bisa menempatkan diri pada lingkungan sekitar, seperti membangun komunikasi yang baik dengan sesama, belajar dengan sungguh-sungguh dan tidak malu bertanya, ringan tangan dan dapat mengisi waktu dengan tepat dan bermanfaat.  Dengan perilaku yang baik, tidak jarang orang lain menolong mereka dari kesusahan dan keterbatasan yang mereka hadapi.  Nilai-nilai kebaikan inilah yang dapat menolong mereka untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. 

Disatu sisi manusia diberi akal, namun disisi lain terdapat kelemahan dalam diri manusia, karena memiliki jasmani.  Sifat jasmani adalah kekurangan, dalam arti manusia membutuhkan sandang, pangan dan papan dalam memenuhi kebutuhan fisiknya.  Manusia juga tidak bisa hidup sendiri, karena apa yang dikonsumsi tidak bisa dibuat sendiri, ada peran orang lain dalam terwujudnya sesuatu.  Contohnya petani yang tinggal didesa mengolah sawahnya untuk menghasilkan berbagai macam tanaman, seperti padi, jagung, kedelai dll, yang kesemuanya itu merupakan kebutuhan masyarakat kota.  Terbentuknya suatu bangunan tidak hanya ditentukan pemilik modal, namun terdapat  andil buruh bangunan yang rela bekerja dari pagi hingga petang, dan masih banyak lagi contoh yang lainnya.  Artinya materi yang dimiliki seseorang tidak murni menjadi milik sendiri, namun terdapat hak orang lain dalam proses mendapatkannya.  Hal ini hendaknya menjadikan kita sadar bahwa harta atau kekayaan materi yang kita dapat tidaklah murni hak kita.  Dan tidak ada yang bisa membuktikan hak seseorang atas materi lebih besar dibanding yang lainnya.  Karena tanpa peran satu pihak tidak mungkin materi tersebut bisa terwujud. 

Hakiki Memanusiakan Manusia

Hakikat dari perilaku memanusiakan manusia bisa terwujud dengan syarat menyadari bahwa unsur Ketuhanan dan Kemanusiaan ada didalam diri seseorang dan menentukan tujuan hidupnya.  Kepatuhan kepada perintah Tuhan YME menimbulkan rasa cinta kasih terhadap sesama, sehingga mampu memperlakukan manusia secara terhormat dengan cara menghargai, melindungi, menghormati dan saling tolong- menolong. Pentingnya perilaku memanusiakan manusia juga dikemukakan oleh  K.H Hasyim Muzadi sebagai wasiat keilmuwan yang diamanahkan kepada para santrinya (www.tempo.co. 16 Maret 2017).

Manusia yang menyadari akan pola hidup sederhana serta memandang bahwa materi yang  dimiliki bukan sepenuhnya haknya, akan memperlakukan orang lain sama dengan perlakuan terhadap dirinya sendiri.  Hal ini bisa terjadi karena telah menyadari terdapat unsur Ketuhanan dan Kemanusiaan didalam dirinya, sehingga bisa merasakan apa yang orang lain rasakan.  Wujud dari pengertian dan memahami apa yang dirasakan orang lain terlihat dari cara memandang orang lain bukan karena status, seperti status pekerjaan, status sosial atau kekayaan semata.  Melainkan dari ketulusan dan kesungguhan hati seseorang untuk berbuat baik kepada sesama.  Satu ciri khusus dari perilaku memanusiakan manusia adalah dapat memberi manfaat bagi sekitar, seperti menolong orang yang kesusahan materi untuk bisa mandiri dan berkecukupan, mengajari orang yang bodoh menjadi pintar dan membebaskan perbudakan.

Perilaku memanusiakan manusia tidak membutuhkan pendidikan formal yang tinggi, tidak pula membutuhkan harta yang melimpah, cukup dibutuhkan kesadaran diri bahwa manusia sebagai makhluk yang mulia haruslah bermanfaat minimal bagi dirinya sendiri, keluarga, orang lain,  lingkungan dan bangsa.   Sehingga apa yang dilakukan selalu mempertimbangkan dan memikirkan dampaknya tidak hanya bagi diri sendiri, namun juga mempertimbangkan dampaknya bagi keluarga, masyarakat dan lingkungan.  Dengan memupuk cara pandang seperti ini, lambat laun akan menumbuhkan jiwa membela yang lemah dan tidak memandang orang sebelah mata.  Sehingga  pada akhirnya akan tumbuh sikap keberanian untuk mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah.  Inilah karakter positif yang diharapkan dari manusia Indonesia yang berkualitas.  Jika semakin banyak masyarakat Indonesia yang memiliki karakter positif, maka kesejahteraan dan kedamaian akan segera terwujud bagi seluruh rakyat di negeri ini.

Teori Konsumsi “Sederhana”

Seiring perkembangan zaman yang terus berubah diikuti pula dengan berbagai macam permasalahan yang dihadapi, termasuk masalah ekonomi dan sosial.  Jika sebelum kemerdekaan kebutuhan materi menjadi pokok utama permasalahan rakyat.  Bentuk permasalahan ekonomi yang dihadapi saat ini relative lebih kompleks dibanding zaman dahulu. Hal ini ditunjukkan dengan baragam kasus-kasus tindakan diluar nalar logis seorang manusia, seperti :  kejahatan terhadap anak, tindakan asusila, KDRT, narkoba, korupsi dan masih banyak lagi yang lainnya.  Beragam kasus tersebut tidak hanya bersumber dari permasalahan materi semata, tindakan penyimpangan dari kasus tersebut menunjukkan pada kita terdapat kurangnya pemenuhan kebutuhan batiniah, sehingga terjadi ketidakseimbangan di  dalam diri manusia.  Artinya dengan kelebihan materi sekalipun, tidak menjamin tindakan seseorang menjadi baik dan tidak merugikan orang lain.  Hal ini terlihat dari kasus korupsi dilakukan oleh orang yang memiliki materi berlebih.  Sehingga bukan hanya permasalahan materi yang dihadapi, namun terdapat masalah batin yang membuat seseorang selalu merasa kekurangan.   Akibatnya permasalahan tersebut selalu ada dari tahun ke tahun.

 Merujuk pada kondisi yang tengah kita hadapi, dibutuhkan peran penting akademisi untuk memberikan sumbangsih pemikiran dalam merumuskan pengambilan kebijakan ekonomi sesuai perkembangan  zaman.  Dalam hal ini penulis memandang kebutuhan batiniah sudah semestinya menjadi pertimbangan yang sama pentingnya dengan kebutuhan jasmaniah sebagai kebutuhan ekonomi manusia.  Karena segala tindakan manusia merupakan wujud dari olah pikir dan rasa (unsur batiniah).  Dengan pemahaman yang mendalam terhadap kedua unsur tersebut, akan memudahkan kita dalam melihat akar permasalahan ekonomi secara utuh.  Implikasi dari dua unsur kebutuhan manusia dalam teori konsumsi sederhana dapat tercapai jika tindakan setiap individu dapat memanusiakan manusia.

Rumusan teori konsumsi berlandaskan jiwa memanusiakan manusia mengandung arti bahwa manusia tidak hanya sekedar mencukupi kebutuhan jasmani saja, namun juga menyadari akan pentingnya memenuhi kebutuhan rohani.  Dalam hal ini tercermin dari kepedulian dan kepekaan untuk memberi manfaat bagi orang lain.  Inilah esensi teori konsumsi sederhana, dimana tujuan hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan lahir dan batin.  Keseimbangan kebutuhan  lahir dan batin juga menjadi hal utama dalam mewujudkan Indonesia yang sejahtera dan bahagia.  Pentingnya kedua kebutuhan tersebut juga terkandung  dalam lirik  lagu kebangsaan Indonesia Raya yang berbunyi “…. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya…”.  Lirik tersebut  pada hakikatnya menjelaskan secara lugas bahwa untuk mencapai Indonesia Raya (sejahtera dan bahagia), terlebih dahulu perlu membangun jiwa atau karakter manusia Indonesia.  Kemudian barulah membangun sarana dan prasarana sebagai penunjang kebutuhan manusia secara adil dan merata.  Dengan demikian para pendahulu kita menyadari bahwasanya keberhasilan pembangunan ekonomi bisa terwujud bila manusianya memiliki karakter mulia.  

Di era teknologi seperti sekarang  ini, kecenderungan negara-negara di dunia mulai mempertimbangkan tujuan hidup yang lebih luas.  Dalam arti tidak hanya mempertimbangkan  kuantitas namun juga mempertimbangkan kualitas hidup, karena keduanya tidak dapat dipisahkan.  Mereka berpandangan bahwa tidak hanya materi semata sebagai tujuan hidup, namun kebahagiaan merupakan tujuan hidup yang lebih penting.  Adapun indikator kebahagiaan yang digunakan sebagai ukuran kebahagiaan, diantaranya kepedulian, kebebasan, kemurahan hati, kejujuran, kesehatan, pendapatan dan tata kelola yang baik.  Berdasarkan indikator tersebut, terdapat empat negara yang termasuk kedalam kategori negara paling bahagia, yaitu : Norwegia, Denmark, Islandia, dan Swiss.  Indikator tersebut merupakan salah satu cerminan nilai-nilai dari perilaku memanusiakan manusia.

Dengan demikian cukup jelaslah hal yang melatarbelakangi teori konsumsi sederhana berlandaskan Ekonomi Pancasila adalah bertujuan untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin.  Hal ini dapat dijelaskan secara matematis, dimana tingkat kepuasan (Utility) seseorang tidak hanya berarti  memuaskan kebutuhan jasmani diri semata, melainkan diukur dengan tingkat kebahagiaan yang seimbang KSi(KSj) = KSi(Xi(Xori)).  Fungsi matematis tersebut menjelaskan bagaimana kebahagiaan yang seimbang dari individu (KSi) direpresentasikan dari setiap pengambilan keputusan konsumsi (Xi) selalu memikirkan orang lain yang membutuhkan (Xori).  Dalam hal ini setiap individu bertanggung jawab atas kehidupan individu lainnya.  Artinya untuk mencapai tingkat keseimbangan tersebut, tindakan individu akan dipengaruhi tidak hanya kebutuhan diri sendiri namun juga memikirkan kebutuhan orang lain. 

Kebutuhan materi sifatnya dapat diukur dengan pendekatan kuantitatif.  Sifat dari materi yang dimaksud dalam teori konsumsi sederhana adalah  cukup.  Karena selama akal memimpin individu dalam setiap pengambilan keputusan konsumsi, maka dengan materi sedikit sekalipun, manusia tidak akan pernah kekurangan.  Artinya manusia mampu menggunakan akalnya untuk mengontrol nafsu (konsumtif).  Sebaliknya jika materi mengontrol keputusan individu, maka sebesar apapun jumlah materi yang dimiliki tidak akan pernah cukup bagi individu tersebut.  Maksud dari materi mengontrol keputusan artinya pengambilan keputusan didasari oleh nafsu (sifatnya rakus, tidak pernah puas) bukan akal yang jernih.    

Oleh karena itu, prinsip pengelolaan keuangan dalam teori konsumsi sederhana pun akan mengedepankan prinsip sederhana dan bertanggung jawab.  Hal ini sesuai dengan pandangan pendahulu kita dalam pepatah yang mengatakan bahwa “ tidak boleh besar pasak daripada tiang”.  Artinya tidak boleh pengeluaran melebihi pendapatan, implikasinya  hidup sederhana tanpa hutang dengan cara selalu mensyukuri apa yang diberikan Tuhan YME, menikmati dan memanfaatkan apa yang dimiliki dengan tepat dan bermanfaat.  Dengan prinsip tersebut menunjukkan bahwa dalam teori konsumsi sederhana pengeluaran individu selalu akan lebih kecil dari pendapatannya  (I > Pi(Xi+aXi)). Hal ini dikarenakan orang yang sederhana akan mengkonsumsi barang secukupnya saja (Xi), sebagian akan diberikan kepada yang membutuhkan (aXi) dan sisanya akan ditabung untuk kehidupan yang akan datang.  Artinya pengeluaran konsumsi setiap individu akan mempertimbangkan pengeluaran individu lain yang membutuhkan.   Mereka juga  menyadari bahwa setiap orang perlu mempersiapkan kebutuhan hidupnya untuk hari yang akan datang.  Inilah wujud sikap  tolong-menolong, bertanggung jawab dan tidak mudah terlena akan materi. 

Dari uraian tentang teori konsumsi sederhana dapat disimpulkan bahwa materi bukanlah hambatan bagi individu dalam memenuhi kebutuhannya.  Karena setiap manusia memiliki akal yang dapat digunakan untuk menyelesaikan segala permasalahan.  Namun tidak cukup akal saja, dibutuhkan kesadaran dari diri setiap individu bahwa Tuhan YME adalah segalanya, tempat meminta pertolongan setiap manusia.  Sehingga hambatan utama dari seseorang untuk meraih kebahagiaan lahir dan batin adalah sifat negative  yang ada didalam diri sendiri.  Sifat negative yang dimaksud diantaranya sirik, ria, dengki, sombong dan rakus.  Ciri-ciri sifat tersebut merupakan sifat hewani yang menghambat terwujudkan kebahagiaan seimbang. 

Pelajaran yang dapat penulis dapatkan dari uraian di atas adalah untuk meraih cita-cita bangsa dalam mewujudkan masyarakat sejahtera, adil dan makmur diperlukan kepedulian antar sesama.  Jiwa dan tekad untuk saling peduli, memiliki kepekaan antar sesama, serta tolong-menolong dengan tulus.  Semua itu hanya bisa tumbuh dari unsur batiniah yang sehat dan bersih.  Oleh sebab itu, implikasi kebijakan bagi pemerintah adalah perlunya mempertimbangkan unsur batiniah didalam setiap pengambilan keputusan publik.   Hal ini dinilai penting karena permasalahan manusia tidak bisa diatasi hanya dari sisi jasmaniah saja, dibutuhkan pemahaman dari sisi batiniah untuk mengetahui akar permasalahan ekonomi secara utuh.   Oleh karena itu, marilah kita semua sebangsa dan setanah air bahu-membahu untuk membangun Indonesia menjadi negara yang berkualitas, yakni negara yang memanusiakan warganya secara utuh, beradab dan berakhlak mulia.  Sehingga terwujud kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh rakyat tanpa kecuali.  Akhir kata, semoga ulasan di atas dapat memberikan sedikit sumbangsih pemikiran bagi perkembangan teori ekonomi di Indonesia.         

 

 

 

 

 

Oleh : Dr. Palupi Lindiasari S, SPi,MM

           Dosen FEB-Universitas Indonesia

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
upie palupi

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler