x

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Keberpihakan Intelektual ~ Seno Gumira Ajidarma

Baik dari menara gading maupun dari angin, jika turun ke bumi, kaum intelektual itu dianggap berkhianat terhadap diri mereka sendiri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seno Gumira Ajidarma

Panajournal.com

Isu keterlibatan kaum intelektual dalam politik praktis adalah juga isu keberpihakan cendekiawan di bawah mitos bahwa tempat intelektual di menara gading. Dalam istilah tersebut terdapat dua pembebanan makna oposisional: (1) kaum intelektual terasing dari khalayak dan berasyik-masyuk dalam dunia sendiri, (2) justru kaum intelektual sebagai golongan pemikir mesti memisahkan diri dari khalayak agar bebas dari segala kepentingan, dari politik sampai bisnis.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam rumusan klasik: "Yang saya maksudkan ialah kelas manusia yang akan saya namakan kaum cendekiawan, dan dengan nama itu saya maksudkan semua orang yang kegiatannya pada intinya bukanlah mengejar tujuan-tujuan yang praktis, tetapi yang mencari kegembiraannya dalam mengolah seni atau ilmu atau renungan metafisik--pendeknya dalam memiliki suatu harta yang bukan duniawi" (Benda, 1997 [1927]: 25-6).

Di Indonesia, dalam narasi lain, melalui pidato Rendra pada 1975 saat menerima penghargaan Akademi Jakarta, cendekiawan disebut sebagai empu yang berumah di angin: "Sekarang saya ambil hadiah dari Akademi Jakarta. Terima kasih. Saya akan kembali ke angin." (Rendra, 1985: 85).

Baik dari menara gading maupun dari angin, jika turun ke bumi, kaum intelektual itu dianggap berkhianat terhadap diri mereka sendiri. Dalam Pengkhianatan Kaum Cendekiawan yang terbit pada 1927 di Prancis, Julien Benda mengecam "kaum cendekiawan yang telah memasuki gelanggang politik untuk menggerakkan kebencian politik dengan menjadikan diri mereka ideolog" (Soekito dalam Benda: xiv). Betapa pun, kaum intelektual Prancis turun ke jalan demi kebebasan akademik pada Mei 1968 di Paris.

Tiga puluh tahun kemudian, para mahasiswa sebagai representasi intelektual muda juga turun ke jalan, menjadi ujung tombak Reformasi 1998 yang menggulingkan Orde Baru di Jakarta. Rendra dan Semsar Siahaan, yang ikut berdemonstrasi, mengalami sendiri kekerasan negara. Dengan kata lain, pada akhirnya kaum intelektual itu--menggerakkan maupun tidak menggerakkan--terkondisikan untuk berpihak.

Kondisi ini mendapat antisipasi Antonio Gramsci ketika merenung dalam penjara fasis Mussolini di Italia masa 1929-1935: "Stabilitas kebudayaan dan kualitas organik pemikiran dimungkinkan, jika kesatuan antara kaum intelektual dan awam sama mengada bagaikan teori dan praktik. Itulah yang terjadi jika kaum intelektual secara organis merupakan intelektual dari massa, dan jika mereka mengerjakan serta membuat koheren prinsip maupun masalah massa dalam kegiatan praktis, yakni membangun sekutu sosial budaya" (Gramsci, 1971 [1947]: 330).

Intelektual organik. Istilah itu kini populer, tapi maknanya terkorupsi sampai kepada profesional yang bekerja bagi konglomerasi global. Termasuk dalam korupsi pemahaman ini adalah intelektual yang mengabdi kepada politikus, kepada partai, kepada tujuan-tujuan berskala sempit, seperti memenangi pemilihan umum.

Jika orientasi Gramsci adalah keberpihakan kepada massa petani (baca: yang lemah), paham ini suka terbelokkan untuk mengesahkan keberpihakan kepada siapa saja, dengan agenda pribadi yang selalu tersembunyi. Meski kemudian, dalam bahasa Benda, kaum cendekiawan yang disewa oleh kaum awam itu, "Sudah menjadi sama awamnya seperti kaum awam" (Benda, op.cit., 94).

Kita pun sampai pada dua paham: (1) seorang cendekiawan kehilangan status kecendekiawanan--bukan kecendekiaan--ketika berpihak; (2) seorang cendekiawan tetap sahih disebut cendekiawan ketika berpihak, tapi penilaian atas kecendekiaannya ditentukan oleh tanggung jawab etis keberpihakannya itu.

Jika konsep ini diterapkan kepada oposisi biner Pandawa dan Kurawa dalam Mahabharata, ternyata keberpihakan tidak membuat posisi kecendekiawanan menjadi sama-sama hitam atau putih. Ini dapat disaksikan terhadap tokoh-tokoh "cendekiawan" di pihak Kurawa, yang dalam layar wayang kulit berposisi di sebelah kiri--yang bermakna "jahat" atau "salah".

Dapat ditengok posisi etis empat tokoh berikut ini. (1) Bhisma, mencurahkan segenap tenaga dan pikiran untuk Astina, tempat Kurawa berkuasa, karena Astina adalah negerinya, tanah tumpah darahnya. (2) Durna, mengabdikan ilmu kewiraannya secara eksklusif kepada Pandawa dan Kurawa, tapi berpihak kepada Kurawa karena mereka memberinya kesejahteraan duniawi.

(3) Sangkuni, memihak Kurawa, selalu berusaha mencelakai Pandawa karena Kurawa adalah anak-anak kakaknya, Permaisuri Gandhari. Hanya karena Gandhari, maka Sangkuni menjadi patih. (4) Widura, adik tiri Destarastra, raja tua Astina, berada di Astina, dengan kecerdasannya selalu berusaha melindungi Pandawa dari jebakan politis Sangkuni karena menganggap Pandawa berada di jalan yang benar.

Kiranya cukup perbandingan ini untuk menilai aktivisme para intelektual dalam Pilkada DKI 2017.

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler