x

Iklan

Edward Theodorus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sistem Pendidikan Kita Disusupi Paham Garis Keras

Keterampilan penting penangkal paham garis keras: refleksi dan empati.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Nelson Mandela pernah mengatakan bahwa pendidikan adalah senjata paling kuat untuk mengubah dunia. Di satu sisi, kita dapat mengamati bahwa dunia pendidikan memang mengubah keadaan menjadi lebih baik. Para pejuang pra-kemerdekaan yang berorientasi pendidikan, seperti Kartini, Eduard Douwes Dekker, Dr. Tjipto Mangunkusumo, terus menginspirasi generasi penerus Indonesia. Para perintis kemerdekaan yang berpendidikan tinggi, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hadjar Dewantara, berhasil memerdekakan Indonesia.

Namun, di sisi lain kita juga mengernyitkan dahi karena banyak orang berpendidikan tinggi justru berpikiran sempit, merusak akal sehat, dan  merongrong rasa kebangsaan kita. Para koruptor umumnya berpendidikan tinggi. Kaum garis keras beranggotakan para cendekiawan. Azahari, doktor lulusan Inggris, menjadi salah satu tokoh besar terorisme. Prof. Dr. Nugroho Notosusanto merekayasa sejarah Indonesia. Marwah Daud Ibrahim, Ph.D., doktor lulusan Amerika Serikat, menjadi ketua yayasan yang terkait penipuan penggandaan uang.

Melihat itu kita jadi bertanya-tanya, apa yang salah dalam dunia pendidikan?

Jika menilik rencana-rencana strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, juga Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi 2015-2019, terlihat bahwa konsep kunci yang melandasi pendidikan nasional di antaranya adalah “kecerdasan” dan “daya saing”. Penulis berargumen bahwa ada dua konsep kunci lain yang hilang atau terabaikan dalam dunia pendidikan saat ini, terutama di Indonesia. Yaitu “refleksi” dan “empati”.

Berefleksi berarti merenungkan, belajar dari pengalaman, dan berpikir secara mendalam. Refleksi menuntut kita untuk memahami, mempertimbangkan, dan menghargai berbagai sudut pandang, selain sudut pandang kita sendiri. Empati berarti kemampuan memahami pemikiran orang lain dan merasakan apa yang dirasakan orang lain, yang bisa jadi sangat jauh berbeda dengan pikiran dan perasaan kita sendiri.

Dengan menggunakan pengertian tersebut, kita dapat menilai bahwa kaum intelektual yang destruktif itu kurang mampu berefleksi dan berempati meskipun mereka cerdas dan berdaya saing. Kaum cendekiawan garis keras kurang mampu memahami secara akurat dan menghargai sudut pandang keyakinan lain. Mereka terlalu fanatik dan terobsesi dengan sudut pandangnya sendiri.

Orang-orang berpendidikan tinggi yang terlalu mencintai dan mendukung salah satu tokoh politik kurang mampu melihat kebaikan dalam rekam jejak tokoh politik kubu pesaing. Koruptor terdidik melecehkan etika, cita-cita pendiri bangsa, dan nurani rakyat Indonesia.

Pendidikan nasional hendaknya secara masif, sistematis, dan terstruktur menciptakan lulusan-lulusan yang tidak hanya cerdas, kompeten, dan berdaya saing, namun juga manusiawi serta terampil berefleksi dan berempati. Apa pun bidang ilmunya. Tokoh-tokoh yang disebutkan di awal tulisan ini dapat menjadi tolok ukur keluaran sistem pendidikan yang terbarui tersebut.

Tidak akan ada yang meragukan kecerdasan dan kompetensi Kartini, Eduard Douwes Dekker, Dr. Tjipto Mangunkusumo, Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hadjar Dewantara. Namun, di luar itu, mereka juga mampu merefleksikan amanat penderitaan rakyat, mampu merumuskan sudut pandang pihak Belanda dan menanggapinya dengan bijak. Mereka mengalami jatuh bangunnya perjuangan dan dapat belajar dari pengalaman tersebut. Mereka menonjolkan akal sehat, etika, dan cita-cita mulia yang mengatasi golongan sendiri.

Empati dan refleksi bukanlah bakat alamiah maupun sesuatu yang ada dalam diri orang-orang istimewa saja. Kedua hal itu merupakan keterampilan yang dapat ditingkatkan dan dilatihkan bagi kebanyakan orang. Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa keterampilan berefleksi dan berempati perlu ditingkatkan, dimasyarakatkan, dan dijadikan sebagai bagian yang integral dari sistem pendidikan.

Empat cara dapat diusulkan. Pertama, peningkatan kapasitas tenaga pendidik. Kementerian yang terkait sistem pendidikan mulai dari dasar sampai tinggi perlu memfasilitasi kegiatan ini.

Kedua, penugasan makalah reflektif pada peserta didik. Guru dan dosen yang terampil dalam berefleksi dan berempati perlu mementori peserta didiknya dalam proses belajar mengajar. Jadikanlah refleksi sebagai kebiasaan sehari-hari.

Ketiga, lokakarya bagi masyarakat awam. Rakyat dapat secara mandiri dan swadaya mengadakan lokakarya-lokakarya keterampilan reflektif, baik di tingkat RT/RW, kelurahan maupun kecamatan. Lokakarya ini dapat dipandang sebagai materi tambahan untuk Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang berada di bawah Dinas Pendidikan. Tidak menutup kemungkinan juga bagi sekolah, perguruan tinggi, maupun LSM untuk mengadakan lokakarya ini.

Keempat, jajaran penyelenggara dan aparat pemerintah perlu lebih aktif secara reflektif di media sosial. Aktivitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) di facebook dan youtube dapat dijadikan model. Beliau aktif mempublikasikan kegiatan-kegiatan dan pencapaiannya di media sosial beserta pemaknaan dan refleksinya dengan cara yang sejuk. Berbagai pribadi yang duduk dalam pemerintahan sebaiknya mengadopsi strategi media sosial Jokowi.

Demikianlah sedikit sumbang saran penulis sebagai bahan renungan tentang pendidikan di Indonesia. Mari kita tingkatkan kemampuan empati dan refleksi kita untuk menangkal penyusupan paham garis keras!

 

Sumber gambar:

https://books.google.co.id/books?id=JhBJAgAAQBAJ&dq=roots+of+terrorism+in+indonesia&source=gbs_navlinks_s

https://books.google.co.id/books?id=TczZCgAAQBAJ&dq=islam+democracy+indonesia&source=gbs_navlinks_s

https://books.google.co.id/books?id=vmKNAgAAQBAJ&dq=khilafah&source=gbs_navlinks_s

Ikuti tulisan menarik Edward Theodorus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB