MENTAWAI. Memiliki hambatan berjalan, dan harus berjalan kaki naik turun bukit selama empat jam, tidak dijadikan alasan oleh Afrizal (37), untuk tidak berbagi pengalaman pelatihan kebencanaan yang pernah ia dapatkan.
Afrizal berasal dari Dusun Simalegi Tengah, Kecamatan Siberut Barat, Kepulauan Mentawai. Akses darat untuk kendaraan, belum ada. Hanya ada dua opsi dari dusun terdekat untuk menuju Dusun Simalegi Tengah. Opsi pertama, menyisir sungai dengan menggunakan Pompong (perahu kecil), atau, berjalan kaki selama 4 jam. Jarak dan medan yang penuh tantangan ini, seolah tidak menjadi halangan bagi mantan Regu Penyuluh Kebencanaan yang pernah dilatih oleh Lembaga Arbeiter Samariter Bund (ASB) Jerman.
Afrizal, bapak yang telah dikaruniai tiga orang putra ini, memang terkenal sangat gigih oleh warga di dusunnya. Ia tidak akan begitu saja meminta bantuan orang lain, jika bisa dikerjakan sendiri, Ia akan memilih melakukan tanpa bantuan orang lain. Contohnya ketika hendak menaiki boat yang akan membawa kami ke Tuapeijat, Mentawai, dengan enteng Ia menolak bantuan yang saya tawarkan. Lalu dengan mudah ia bisa menaiki boat yang memang belum ada akses khusus bagi disabilitas.
Hambatan berjalan tidak alasan bagi Afrizal ( foto Adi Prima)
Menarik jika diselidiki perkenalan pertama Afrizal dengan kegiatan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dan Tim ASB yang datang ke Dusun Simalegi Tengah untuk mensosisialisasikan kegiatan. “Dengan hambatan yang saya miliki, tidak mungkin rasanya akan dilibatkan oleh siapapun untuk setiap kegiatan-kegiatan yang ada di dusun, apalagi tampil untuk menjadi penyuluh kebencanaan, namun setelah diberi pemahaman oleh rekan-rekan ASB, saya akhirnya berani untuk mencoba” ujar Afrizal.
Afrizal berhasil membuktikan, disabilitas bukanlah halangan untuk berkarya dan mencari ilmu. “Jika kita mau dan berani mencoba, sepertinya tidak ada yang tidak mungkin” lanjut Afrizal.
Ikuti tulisan menarik Adi Prima lainnya di sini.