x

Bahagia (tertawa) saat bekerja. shutterstock.com

Iklan

ahmadsahidah Lecturer

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Merealisasikan Rumus Bahagia ~ Ahmad Sahidah

Apa yang dicari oleh manusia dalam kehidupannya? Betapapun jawabannya beranekaragam, ia bisa diringkas pada satu kata: kebahagiaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ahmad Sahidah

Dosen Senior Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia

Apa yang dicari oleh manusia dalam kehidupannya? Betapapun jawabannya beranekaragam, ia bisa diringkas pada satu kata: kebahagiaan. Meskipun kata terakhir ini hanya terdiri dari 11 huruf, Darrin M. McMahon memerlukan 544 halaman untuk menguraikannya dalam buku berjudul A History of Happiness (2006). Karya ini menelusuri isu tersebut sejak zaman Yunani kuno hingga Barat modern tentang arti dan mendapatkan kebahagiaan. Sejauh ini, pernyataan Aristoteles tentang eudaimon hampir menjadi maksim, yaitu kebajikan (virtue) membuat Anda bahagia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menariknya, jika dalam pemikiran filsafat amal atau virtue merupakan jalan kebahagiaan, Al-Quran menyuguhkan dengan bahasa serupa, yakni seseorang yang mengerjakan amal saleh akan mendapatkan kehidupan yang baik (Al-Nahl: 97). Malangnya Friedrich Hegel, filsuf Jerman, berujar bahwa seseorang mungkin merenungkan sejarah dari sudut pandang kebahagiaan, tetapi sejarah bukan tanah di mana kebahagiaan tumbuh. Periode kebahagiaan dalam sejarah adalah halaman-halaman kosong. Tampaknya, dunia ide dan kenyataan senantiasa berseberangan. Dunia ini adalah kubangan kemurungan dan penderitaan, seperti diungkap oleh Schopenhauer, sang pesimis dari Jerman.

Tentu, untuk tidak terperangkap pada pesimisme Hegel tentang kebahagiaan, kita bisa menghadirkan pikiran Paul Dolan, Happiness by Design (2014), yang merumuskan kebahagiaan secara ringkas sebagai keseimbangan antara kesenangan (pleasure) dan tujuan atau makna hidup (purpose of life). Buku tipis ini menyentuh ide besar tersebut dalam praktik keseharian, seperti naik bus, berkebun, dan menonton televisi. Dalam sebuah kajian, seseorang yang menghabiskan waktu berjam-jam dalam komuter ke tempat kerja terpapar pada stres, yang secara otomatis membuatnya tak bahagia. Jadi, carilah tempat kerja yang berdekatan dengan rumah tinggal.

Dua indeks

Meskipun secara teoretik kebahagiaan diungkapkan secara abstrak, tetapi ia bisa diukur secara ketat. Menurut The World Happiness Report (2016), dari 156 negara yang diteliti, 10 negara yang menempati peringkat teratas adalah negara-negara maju, seperti Denmark, Swiss, Islandia, Norwegia, Filandia, Kanada, Belanda, Selandia Baru, Australia, dan Swedia. Variable (ukuran yang digunakan) meliputi pendapatan perkapita, dukungan sosial, usia harapan hidup, kebebasan, kedermawanan, dan persepsi rasuah. Dalam pemeringkatan WHR, Indonesia menempati kedudukan ke-79.

Namun, Happy Planet Index menyuguhkan cara yang berbeda melihat kebahagiaan. Kesejahteraan (well-being), padanan kata yang acapkali digunakan secara silih berganti, didapatkan dari kesejahteraan dan angka harapan hidup dan dibagi dengan jejak karbon yang digunakan. Ternyata, dari 140 negara yang disurvei, 10 tangga teratas diduduki oleh negara-negara berkembang, seperti Costa Rica, Meksiko, Colombia, Vanuatu, Vietnam, Panama, Nicaragua, Bangladesh, Thailand dan Ecuador. Dengan bertumpu pada isu kelestarian, HPI melihat bagaimana manusia mesti menjalani hidupnya yang tak melulu memuaskan kebutuhan, tetapi sekaligus tidak merusak alam sekitar.

Dari dua indeks ini kita bisa melahirkan sintesis bahwa betapapun kesejahteraan menjamin kebahagian, namun ada nilai yang juga perlu ditegakkan yakni menjaga agar alam tetap lestari. Menggunakan banyak energi bumi yang tak dapat diperbaharui untuk meraih hidup sehat tentu bukan jalan yang baik karena pada waktu yang sama ia menghamburkan jejak karbon yang akan menyumbang pada kehancuran lingkungan. Tak pelak, meskipun negara-negara Barat yang kaya mempunyai skor yang tinggi untuk kesejahteraan dan angka harapan hidup, tetapi boros energi yang menyumbang pada pemanasan global.

Evaluasi

Jelas, variabel rasuah telah menempatkan negara-negara berkembang pada senarai terbawah. Sayangnya, produksi jejak karbon yang dikeluarkan oleh warga "miskin" tidak sepenuhnya bertolak dari kesadaran terhadap kelestarian lingkungan, tetapi keterpaksaan, sehingga temuan HPI tidak menaikkan kepercayaan diri negara belum maju: miskin tapi bahagia. Andai disodori banyak duit, tentu serta-merta mereka akan membelanjakan uangnya untuk kebutuhan konsumtif. Bagaimanapun, selagi konsep kesenangan disandera oleh pesan media yang membayangkan pemenuhan kebutuhan mewah mendatangkan citra kaya, status, dan kehormatan, maka prilaku manusia akan cenderung membeli barang untuk riang.

Untuk itu, soal kuesioner Oxford Happiness Questionaire layak ditimbang. Dari seluruh 29 pertanyaan, tidak satupun pertanyaan yang menanyakan pendapat tentang kepemilikan dan kedudukan, tetapi bagaimana subjek (I) melihat orang lain (Others) dan memahami kehadiran benda (things). Pertanyaan pertama, I don't feel particularly pleased with the way I am, jelas menunjukkan bahwa kenyamanan bermula dari diri sendiri. Kegagalan memahami "diri" akan menyebabkan seseorang ditundukkan oleh kenginan orang lain dan benda. Ia hidup untuk memenuhi citraan yang dibayangkan oleh orang lain dengan menghadirkan benda yang menempel pada dirinya.

Sementara, John Haidt (2006) dalam The Happiness Hypothesis, mengungkapkan bahwa kebahagiaan yang dibayangkan oleh filsuf klasik dan orang suci, seperti Buddha, bahwa kesejahteraan diri berasal dari dalam diri itu sendiri. Sementara, temuan psikologi modern menunjukkan bahwa hal dari luar, seperti lingkungan dan stimulasi benda, turut mempengaruhi keadaan kejiwaan seseorang. Oleh karena itu, ahli psikologi sosial membuat hipotesis bahwa kebahagiaan itu bersumber dari antara faktor dalam dan luar. Karya ini, betapapun merujuk pada banyak sumber, dari filsafat, psikologi, dan agama, layak ditimbang oleh khalayak karena disampaikan dalam bahasa populer.

Akhirnya, dengan keyakinan yang kuat pada diri sendiri, sejatinya kekayaan bukan terletak pada penampilan megah, tetapi bermanfaat bagi orang lain. Meme Bill Gates, pemilik Microsoft, dan Mark Zuckenberg, pendiri Facebook, yang disertai dengan pesan "the goal is to be rich, not to look rich!" jelas menafikan kebahagian terletak pada Gucci, Armani, D&G, dan Rolex. Betapapun instropeksi diri itu penting, tetapi kata Krzanaric, dalam Empathy: A Handbook of Revolution (2014) outropeksi, melihat keluar dengan berempati pada liyan, jauh lebih penting. Jadi mewujudkan bahagia itu mudah dan murah, yakni kehadiran kita menyenangkan orang lain dan menyuburkan prilaku ramah lingkungan.

Ikuti tulisan menarik ahmadsahidah Lecturer lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB