Memasak adalah kegiatan yang jarang dilakukan Tunanetra, karena alasan keamanan. Tunanetra tidak akan semudah orang melihat pada umumnya ketika menggunakan piranti memasak. Salah satu yang dikhawatirkan, tunanetra memegang piranti yang panas atau tajam. Tunanetra tentunya tidak dapat meraba piranti memasak pada ordinat yang tepat. Sehingga, tunanetra berisiko terluka yang lebih besar ketika memasak.
Pada Selasa malam, 8 Mei 2017, para tunanetra diajak memasak bersama oleh Komunitas Inklusif, Saae, di Gudang Sarinah Ekosistem, Pancoran Timur, Jakarta Selatan. Dua chef yang tergabung dalam komunitas makanan, Geng Nikmat, bertugas mengajarkan para tunanetra di dalam kelas tersebut. Dua menu yang diajarkan adalah Sup Pangsit dan Singkong Manis Santan. Kedua menu tersebut dibuat dalam suatu ruangan yang cukup besar dan tersedia meja-meja dengan kompor dan piranti memasak di atasnya.
Awalnya, beberapa tunanetra ragu untuk mengikuti kegiatan tersebut, termasuk saya. Sebagian dari mereka mengaku belum pernah memasak di dapur. Ada pula yang takut mendekati kompor karena takut terpajan api atau minyak panas. Reaksi berbeda timbul dari kelompok tunanetra perempuan dan kelompok yang mengalami ketunanetraan ketika dewasa. Dua kelompok itu seolah bertemu teman lama dan mengobati kerinduan mereka akan kegiatan memasak.
Mekanisme memasak yang diajarkan hampir sama dengan kelas memasak pada umumnya. Salah satu chef bernama Reza, memberikan perintah dengan dibantu pendamping dari Komunitas Saae. Agar lebih efektif, tunanetra terbagi dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari satu pendamping dan dua tunanetra. Pendamping tidak diperkenankan membantu kegiatan memasak para tunanetra, kecuali menunjukkan bahan dan mengarahkan tunanetra menaruh bahan masakan pada ordinat yang tepat.
Dalam kesempatan itu, dua chef juga mengajarkan tehnik memperkirakan takaran bahan makanan. Salah satu cara yang digunakan untuk memperkirakan takaran air adalah cangkir atau botol air mineral. Kedua piranti ini memiliki ukuran baku. Untuk menakar bumbu, chef menggunakan ibu jari. Semisal penggunaan bumbu seperti jahe, kunyit atau lengkuas.
Salah satu materi yang juga diangggap penting oleh peserta adalah tehnik memotong atau menakar kematangan masakan. Bagi orang melihat pada umumnya, tingkat kematangan ditakar melalui warna. Tunanetra tentu tidak menakar kematangan dengan cara itu. Cara lain adalah menggunakan patokan waktu.
Tunanetra harus disiplin mengamati waktu mulai dari menaruh sampai meniriskan bahan makanan. Menakar tingkat kematangan juga dapat dilakukan melalui rabaan atau penciuman. Tapi, tunanetra harus hati hati ketika melakukan kegiatan ini. Ada beberapa langkah yang harus dipatuhi. Pertama, mengambil sedikit bahan makanan dari dalam wajan atau panci, kemudian meletakkannya dalam wadah kecil. Kedua, menusuk bahan makanan yang digoreng atau direbus dengan garpu, untuk mengenali tingkat kematangan berdasarkan tekstur. Kedua cara tersebut harus dilakukan tunanetra dengan memakai pelindung tangan.
Sementara itu, untuk teknik memotong, Chef Reza mengajarkan bahwa jari yang digunakan untuk memegang bahan makanan harus terlipat ke dalam. Antara ibu jari, telunjuk, jari manis dan kelingking harus menekuk bersama ke arah telapak tangan. Dengan kata lain, makanan yang akan dipotong tidak digenggam, melainkan hanya ditahan dengan ruas pertama, bagian terluar dari jari. Agar lebih mudah membayangkannya, bentuk tangan ketika memegang makanan,seperti sedang mencakar.
Jenis piranti memasak yang digunakan juga harus memiliki pegangan anti panas. Piranti seperti wajan, panci dan sutil harus memiliki pegangan dari kayu. Pegangan ini digunakan sebagai patokan letak bahan makanan selain untuk mengamankan. Panci atau wajan yangdigunakan juga sebaiknya berbentuk persegi, agar Tunanetra mudah memperkirakan letak makanan yang sudah dibalik.
Ikuti tulisan menarik cheta nilawaty lainnya di sini.