x

Wali Kota Bandung Ridwan Kamil hadir pada acara Deklarasi Komunitas Pesantren se-Jawa Barat yang mendukung dirinya dalam pencalonan Gubernur Jawa Barat, di pesantren Pagelaran 3 Kecamatan Cisalak, Subang, 23 April 2017.TEMPO/Nanang Sutisna

Iklan

Hersubeno Arief

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menimbang Ahok Effect Pada Pilkada Jabar 2018

Ahok effect di Jabar sangat besar

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh : Hersubeno Arief

Konsultan Media dan Politik.

Ahok effect adalah  terminologi baru dalam kamus politik Indonesia.  Lahir dari Pilkada DKI 2017, Ahok effect  adalah dampak penurunan elektoral pada partai-partai yang mendukung Ahok sebagai cagub DKI Jakarta.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ada enam partai yang mendukung Ahok.  Pendukung pada putaran pertama adalah Nasdem, Golkar, Hanura, PDIP dan PPP kubu Djan Faridz. Kemudian  PKB dan PPP kubu Romahurmuzy bergabung pada putaran kedua.

Ketika  Pilkada DKI usai muncul gerakan boikot  terhadap partai-partai pendukung Ahok yang  massif di media sosial. Jajak pendapat yang dilakukan sejumlah lembaga mengkonfirmasi ada penurunan elektoral  yang signifikan pada  partai-partai pendukung Ahok.

Dampak elektoral yang sangat terasa  terutama partai yang berbasis Islam seperti PKB dan PPP, serta Golkar  yang punya irisan dengan pemilih Islam cukup besar.

Sebaliknya ada kenaikan elektoral yang signifikan pula terhadap partai-partai yang dinilai secara konsisten menentang Ahok, seperti PKS dan Gerindra. Jadilah kemudian muncul istilah Ahok effect.

Dampak Ahok effect ternyata tidak hanya berhenti sampai disitu saja. Sentimen negatifnya juga langsung berdampak kepada figur-figur yang akan maju pilkada dan diusung oleh partai pendukung Ahok. Yang langsung terkena adalah Walikota Bandung Ridwan Kamil (RK) yang dicalonkan oleh Nasdem untuk maju dalam Pilkada Jabar 2018.

 Banyak follower RK yang langsung un-follow. Meme dan seruan boikot juga bergema sangat kencang. Faktor pilihan partai yang mengusung RK agaknya yang menjadi sebab munculnya fenomena tersebut.

Ahok effect sangat tinggi

Jajak pendapat  terbaru yang dilakukan oleh lembaga survei Median (25 April-3 Mei) bisa menjadi gambaran betapa besarnya Ahok effect di Jabar.

88.14 persen warga Jabar mengaku mengetahui kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok. 50.20 persen menilai Ahok bersalah, tidak menjawab 41.50 persen. Sementara yang menyatakan tidak bersalah hanya 8.30 persen.

Ketika ditanya apakah Ahok/Jakarta effect berpengaruh terhadap pilihan mereka terhadap seorang calon gubernur?  Mayoritas menjawab terpengaruh.

Sebanyak 34.33 persen menyatakan tidak suka dengan calon yang diusung partai pendukung Ahok. 33.4 persen menyatakan tidak terpengaruh. 29.9 persen tidak menjawab. Sementara yang menyatakan suka angkanya sangat-sangat kecil, hanya 2.4 persen.

Data itu menunjukkan tanda bahaya menyala  bagi calon-calon yang akan maju dan diusung oleh partai pendukung Ahok. Artinya Ahok effect  menjadi faktor sangat dominan dalam Pilkada Jabar.

Kuda pacu Ridwan Kamil, Deddy Mizwar, Dede Yusuf dan Dedi Mulyadi

Survei Median  menunjukkan setidaknya ada empat kandidat yang berpotensi bakal  adu pacu di Pilkada Jabar. Di lintasan satu ada RK dan tiga lintasan lainnya ada tiga D (Deddy Mizwar, Dede Yusuf dan Dedi Mulyadi).  Jadi untuk singkatnya kita bisa menyebut RK vs 3D  dalam kontestasi Pilkada Jabar 2018.  Namun bila melihat tingkat elektabilitas maka persaingan bisa disederhanakan menjadi RK vs Demiz.

RK sebagai kandidat paling awal berada di jalur pacu paling cepat. Dia telah mencuri start  lebih awal. Sementara tiga nama lainnya di lintasan lain baru melakukan persiapan. Belum ada yang benar-benar start. Bagaimana peluang keterpilihan mereka? Mari kita analisa satu persatu.

RK paling berpeluang?

Jika mencermati jajak pendapat dari sejumlah lembaga survei, maka peluang RK paling besar. Dia selalu merajai berbagai survei. Posisinya sebagai walikota Bandung dan kemampuannya mengelola isu melalui media terutama media sosial menjadi faktor kompetitifnya.

Di Survei Median, RK berada di peringkat pertama dengan perolehan suara sebanyak 24.4 persen. Posisi yang sama juga ditempati RK di beberapa survei sebelumnya.

Dilihat dari sisi popularitas yang masih rendah 69.2 persen,  juga menunjukkan bahwa potensi elektabilitas RK masih bisa didongkrak. Dia tinggal menaikkan level popularitasnya dan kemudian dikonversi menjadi elektabilitas. Maka dipastikan dalam waktu yang tersisa dia akan terus melaju.

Yang menjadi  masalah adalah keputusan RK memilih partai pengusung  dan posisioning yang selama ini dipilihnya. RK diketahui selama ini mencoba membuat posisioning sebagai tokoh pluralis. RK juga  selalu mencoba mengasosiasikan dirinya dengan Ahok yang dinilai sebagai tokoh yang “tegas” dan “anti korupsi”, sama seperti dirinya.

RK tetap memuji-muji Ahok sekalipun Pilkada DKI Jakarta telah usai dan Ahok kalah telak. Dia sepertinya tidak menyadari badai besar yang tengah mengancamnya akibat pilihan posisioningnya. Tapi melihat sekuen yang dia bangun sikap RK sangat konsisten.

RK mencoba membangun citra pluralis dengan menyatakan telah memberi izin pendirian 300 bangunan ibadah nonmuslim selama menjabat. Pernyataan yang kemudian dia bantah. RK  memilih maju bersama Nasdem ketika isu sentimen negatif terhadap partai-partai pendukung Ahok sudah sangat tinggi.  Dan kemudian secara naif  RK  mengasosiasikan dirinya dengan Ahok.

Dampak pilihan posisioningnya langsung terasa. Walaupun RK mencoba mengubah dengan rebranding “mendadak santri”,  namun sejauh ini tidak cukup menolong. Coba perhatikan berbagai data jajak pendapat berikut ini.

Survei Instrat (24-28 November 2016)  elektabilitas RK tertinggi 35.1 persen. Indo Riset konsultan  (19-25 Desember  2016) 37. 5 persen.  Instrat (24-28 Desember 2016) RK 33.1 persen. Sampai bulan Desember RK masih merajai survei dengan perolehan suara di atas 30 persen.

Namun setelah ada tanda-tanda RK mau mencalonkan diri dan meninggalkan partai pengusungnya sebagai Walikota Bandung (PKS dan Gerindra) dan Pilkada DKI sudah memanas, suara RK langsung drop.

Survei 24.8 persen Indo Barometer (27 Februari- 7 Maret 2017)  elektabilitas RK turun menjadi 22 persen. Survei PPS UIN Gunung Jati, Bandung ( 20 Maret-1 April 2017) 24.28 persen.    

Jadi rentang elektabilitas RK saat ini antara 22-24.28 persen. Sementara sebelumnya antara 33.1 persen-37.5 persen. Ada penurunan suara sebesar 13-15 persen. Ini sebuah alarm tanda bahaya yang sangat keras.

Ahok effect yang sangat tinggi tampak secara langsung berkolerasi dengan terus menurunnya suara RK. Padahal  pengaruh negatif itu belum dikelola secara serius oleh lawan-lawan politiknya. Sebagian besar combatant politik masih terfokus di Jakarta mengamati  aksi-aksi para Ahokers yang tengah dimanfaatkan penunggang bebas (the free riders)  dan para pencipta badai/puting beliung (the storm/hurricane maker).

Bila kemudian partai-partai pendukung Ahok seperti PDIP dan Golkar bergabung dengan Nasdem bisa dipastikan badai besar akan melibas elektabilitas RK. Ini merupakan pilihan sulit bagi RK. Seperti makan buah simalakama. Sebab bila hanya mengandalkan Nasdem yang perolehan kursinya di di DPR Jabar sebanyak 5 kursi, maka masih jauh dari syarat sebanyak 20 kursi. Dia harus berjuang meraih dukungan dari partai lainnya.

Masalahnya kongsi RK dengan Nasdem bisa terancam bubar atau setidaknya menjadi terganggu ketika rekaman pidato RK tentang alasan memilih Nasdem beredar luas di media dan medsos.  

Ketika berbicara di depan sejumlah ulama,  RK menyebut alasannya menerima Nasdem, karena partai tersebut memiliki media (Metro TV) dan punya kejaksaan. Jaksa Agung Prasetyo adalah adalah politisi Nasdem.

Isu tentang media sebenarnya sangat logis. Untuk mendongkrak elektabilitas seorang kandidat sangat memerlukan media. Yang menjadi masalah adalah alasan posisi kejaksaan.   RK mengatakan “Jadi sebenarnya, ini rahasia kita ya. Saya menerima itu menyelamatkan agar pembangunan kota Bandung tidak terganggu. Karena kalau saya tolak, mohon maaf pak, hari ini orang yang tidak salah bisa disalahkan. Bisa Tiba-tiba TSK (tersangka).”

RK mengaku sampai harus  mencari petunjuk dengan melakukan salat istikharah.  Kalau saya terima, ada dinamika. Kalau tidak diterima, lebih banyak lagi bahayanya,” sambungnya. Ucapan ini bisa dinilai mendiskreditkan Nasdem.   

Dengan berbagai catatan itu perlu kerja keras bagi RK untuk memdongkrak elektabilitasnya atau setidaknya mempertahankan elektabilitas. Dalam berbagai kontestasi Pilpres maupun pilkada,  agak sulit bagi seorang kandidat untuk menahan laju penurunan suara. Diperlukan berbagai jurus akrobat yang maut dan  kepiawaian level para manajer jagoan yang dikenal sebagai turn around artist.

Peluang Demiz

Bagaimana peluang Wagub Deddy Mizwar (Demiz)? Elektabilitas Demiz secara konsisten selalu berada di bawah RK. Suara tertingginya 29.17 persen (Indo Riset Konsultan) dan terendah 14.1 persen (Indobarometer).

Tingkat popularitasnya sangat  tinggi 92.1 persen (Median), lebih tinggi dibandingkan dengan ulama kondang Abdullah Gymnastiar 90.9 persen.

Dengan modal popularitasnya yang sangat tinggi maka Demiz tinggal berjuang menaikkan level elektabilitasnya. Jauhnya level elektabilitas dengan angka popularitas ini mungkin bisa dijelaskan dengan profil Demiz yang cenderung rendah hati dan tidak menunjukkan ambisi politik.

 Demiz tampaknya masuk dalam kelompok orang yang menjunjung tinggi ajaran agama, bahwa jabatan itu tidak boleh dikejar. Namun kalau diberi amanah tidak boleh menolak. Sikap ini sangat terlihat pada Pilkada 2013 ketika tim Ahmad Heryawan harus bekerja keras untuk meyakinkan Demiz agar bersedia berpasangan sebagai cagub/cawagub.

Sikap Gerindra Jabar yang sudah menyatakan akan mendukungnya  maju sebagai cagub tampaknya mulai membuat Demiz bersedia terbuka bicara pencalonan. Tinggal dipikirkan siapa pasangannya dan partai apa saja yang akan menjadi pengusungnya.

Bila melihat suskesnya duet PKS-Gerindra di Jakarta, maka Demiz akan diusung kembali oleh “dua sejoli” ini. Gabungan the dream team ini akan semakin dahsyat karena ada faktor Gubernur Ahmad Heryawan yang punya jaringan tokoh-tokoh penting dan akar rumput yang kuat.

PKS juga dikenal mempunyai pasukan cyber army (medsos) yang sangat kuat dan bisa mengimbangi kekuatan RK yang selama ini sangat mengandalkan medsos. Jadi bila Demiz juga diusung oleh PKS maka dia akan memperoleh setidaknya tiga keuntungan.

Pertama, mesin politik yang kuat. Kedua, jaringan ke tokoh-tokoh kunci dan akar rumput yang sangat kuat. Ketiga, pasukan medsos yang besar dan militan.

Keuntungan lain dari Demiz adalah figurnya sebagai aktor nasional yang dekat dengan semua kalangan. Sikapnya yang rendah hati dan tawadhu, membuat dia sangat disukai para kyai dan alim ulama. Demiz akan menjadi ancaman utama bagi RK bila mesin politiknya telah mulai bergerak.

Peluang Duo D

Bagaimana peluang Dede Yusuf dan Dedi Mulyadi (Duo D)? Mantan Wagub Dede Yusuf masih merupakan figur yang populer. Kader Partai Demokrat ini popularitasnya 89.7 persen. Sayangnya elektabilitasnya hanya 11.6 persen.

Dedi Mulyadi Bupati Purwakarta dan Ketua DPD Golkar Jabar popularitasnya masih rendah 40.5 persen,  di bawah kader Golkar Nurul Arifin 49.8 persen. Elektabilitasnya juga baru mencapai 7.1 persen.

Perlu kerja keras bagi Duo D untuk ikut dalam adu pacu bersama RK dan Demiz. Pilihan lain, mereka bisa bergabung dengan RK atau Demiz. Siapa yang akan menjadi pemenang?  Masih ada 13 bulan waktu yang tersisa.             

Ikuti tulisan menarik Hersubeno Arief lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler